30 Januari 2018

King Kong Jadi-Jadian di Rumah Tetanggaku

Percaya atau tidak, salah seorang tetanggaku sering diganggu makhluk halus. Tubuhnya menyerupai gerandong dalam serial Misteri Gunung Merapi. Makhluk itu tidak berbulu, melainkan berkulit kasar seperti sisik reptil. Badannya sebesar king kong dewasa.

Saban malam makhluk itu muncul di jam yang sama, saat jarum jam mengarah angka 03.00 WIB dini hari. Kehadirannya selalu dibarengi dengan bunyi burung perkutut. Bunyi itu bagai alarm agar si pemilik rumah siaga.

Mula-mula ibu D dikagetkan dengan suara hentakan orang dewasa bernada sumbang. Ia membangunkan suaminya, mengira ada maling. Saat diperiksa, di luar ada bayangan tiga kali lebih besar dari tubuh manusia. Bayangan itu mendekat menembus pintu ruang utama. Ia berubah wujud menjadi king kong. Wajahnya seperti bingung mengendus benda-benda.

Ibu D gemetar di balik pintu kamarnya saat merasa makhluk itu mencari dirinya. Sementara pak F, suaminya, tetap berusaha tenang meski si istri tahu di balik sikapnya, ia memiliki kecemasan yang sama. Keduanya berusaha tak bersuara.

Makhluk itu menyembulkan taring tajam ketika menganga. Seperti telah menemukan mangsa ia mengangguk-angguk berjalan gontai menuju sasaran. Dalam sekejap tubuh ibu D dan bapak F  tak bisa digerakkan. Hanya saja mereka berdua sadar bagaimana makhluk berkulit kasar itu meraba tubuh mereka. 

Bapak F teringat untuk membaca ayat kursi. Badannya bergetar seperti kena setrum. Saat tubuhnya kembali normal, ia mengambil sapu lidi dan memukulkannya ke tubuh makhluk itu. Namun tindakannya tak berpengaruh. Bahkan si genderuwo mesum itu terus meraba tubuh ibu D.

Merasa kesal, dalam kondisinya yang tak punya wudhu, bapak F memberanikan diri menyentuh al-Quran dan membacanya secara acak. Tentu saja genderuwo itu semakin tertawa-tawa karena bacaaanya yang belepotan. Pak F tak kehilangan cara. Ia membaca amalan dzikir yang ia tahu sebagai pengusir makhluk halus. Namun seperti anak nakal, sosok besar menjulang di hadapan pak F itu terus dan terus saja berkasi. Tubuhnya berguling-guling riang. Sesekali tangannya menampilkan gerakan tari.

Barulah setelah subuh tiba, makhluk itu sirna. Ia ketakutan mendengar suara adzan dari corongan TOA.  Pak F sadar satu-satunya cara yang lupa ia coba adalah adzan. Kini ia lega mendapati istrinya tak terluka sedikit pun. Meski tak dapat dipungkiri, kondisi psikis mereka kini tidaklah baik-baik saja.

Pada malam-malam berikutnya makluk itu datang dengan cara-cara yang tidak sama. Pernah secara tak terduga tubuh pak F diangkat tinggi-tinggi. Istrinya heran dan akhirnya ia percaya bahwa adegan-adegan aneh dalam sinetron misteri di televisi itu bukanlah karangan tapi hasil pengalaman. Tersebab bu D tahu kelemahan makhluk itu adalah adzan, maka ia mencobanya. Benar saja, makhluk itu mengempes seperti balon bocor dan menghilang bersama angin.

Selama hampir setahun pak F dan bu D mengalami penyiksaan mental. Mereka merahasiakan kejadian itu dari para tetangga. Tetapi dari cara mereka menghuni langgar bambu di samping rumahnya mengundang tanya orang-orang. Dari kecurigaan itu, terkuaklah rahasia besar yang membuat seluruh warga simpati.

Mengikuti saran dari tetangga, pak F dan bu D mencari orang sakti untuk mengusir makhluk jahat itu. Betapa herannya mereka saat mbah dukun menyatakan bahwa sosok yang mengganggu mereka adalah makhluk jadi-jadian. Seseorang yang jahat telah menaruh guna-guna dengan mengganti satu gentingnya dengan genting atap keranda.

Seingat mereka, selama hidup belum pernah punya musuh. Ada orang iri pun rasa-rasanya tidak mungkin, mengingat hidup mereka jauh dari kata sejahtera. Mereka berdua hidup apa adanya.

Rumah yang mereka huni tidaklah mewah. Hanya bangunan tua, sempit dan memiliki dua kamar. Anak sulung mereka ikut istrinya dan si bungsu merantau ke pulau Dewata. Hanya ketika lebaran saja mereka punya kesempatan berkumpul. Maka jika ada yang dengki dengan keluarga mereka, kemungkinan besar karena kesuksesan atas usaha anak gadis mereka di Bali. 

Maka untuk mengatasi masalah yang meninpa keluarga pak F dan bu D, didatangkanlah orang sakti ke lokasi. Secara rahasia, genting itu diambil oleh orang yang ahli mengambil guna-guna. Rumah mereka kembali aman. Tetapi, trauma yang menyiksa selama ratusan hari membuat pak F dan bu D tak nyaman lagi tinggal di rumah itu.

Dibuatkanlah rumah untuk mereka oleh anaknya bungsunya. Pada masa pembangunannya, Pak F dipanggil oleh Yang Kuasa. Penyakit liver yang dideritanya mengantarnya pada ajal. Kini bu D tinggal bersama cucunya yang berusia tiga tahun.

Dalam kesepiannya ia merasa takut jika secara tiba-tiba makhluk jadi-jadian itu  kembali menganggunya yang kini kehilangan pelindung. Ia bahkan sering menanangis sendirian saat mengenang masa-masa menyedihkan bersama suaminya. Terpancar raut yang lebih dalam dari luka di matanya ketika ia menceritakan secara rinci kepadaku, waktu itu. 

29 Januari 2018

Jadi Hantu Gara-Gara Nyabung Ayam

Selain karena mati penasaran, amal hidup sesorang ternyata dapat menentukan apakah setelah dia mati akan jadi hantu atau tidak. Jika ada orang shaleh mati, jangan takut, arwahnya tidak akan gentayangan. Tapi jika yg mampus adalah penjudi, pezina dan semasa hidupnya suka nyabung ayam, maka hati-hatilah!

Seperti kisah nyata di kampungku yang geger masalah hantu, bertahun lalu. Sejak kematian bapak M yang tak bisa saya sebutkan namanya terkait kondisinya di alam barzah, hampir tidak ada warga yang berani keluar rumah menjelang magrib. Tak terkecuali Yadi, manusia antik seantero kampung.

Yadi dikenal sebagai pawang kuntilanak. Pendengarannya sangat tajam untuk membedakan suara-suara dari alam ghaib. Banyak orang datang ke rumahnya meminta bantuan mengusir arwah jahat.
Baginya dunia perhantuan seremeh mengunyah tahu. Tapi kali itu, ia bagaikan Wiro Sableng kehilangan kapaknya, tak berarti apa-apa.

Setelah seseorang bertanya kepada Yadi, ia mulai bersuara. Ceritanya, setelah tujuh hari kematian bapak M, ia berjalan di malam yang cukup larut, di tempat yang sepi, hendak mengunjungi rumah teman seperdukunannya. Ia sangat acuh pada cerita-cerita warga tentang keresahan mereka. Maksud hati, Yadi ingin menantang si hantu.

Dalam perjalanannya, ia tanpak santai dan sesekali bersiul. Tiba-tiba muncul seekor kucing hitam sebesar anjing di depannya. Kucing itu bermata besar seperti lampu senter. Tubuhnya menghembuskan bau bangkai yang mengoyak-ngoyak isi perut Yadi. Ia tersenyum tak merinding sedikitpun, karena baginya itu hal biasa. Yadi seperti sudah kawan akrab dengan hantu, seperti sudah famili. Jadi jika hanya bebaun macam itu, ia tak kan kabur. Ia hanya menutup hidungnya dan terus saja berjalan. Malah dalam hatinya ia berharap bisa berjumpa dengan sosok si gentayangan.

Tak lama, harapannya terkabul. Muncul makhluk besar di hadapannya dengan muka busuk seperti bekas gigitan ulat. Giginya lebih gelap dari gigi Mak Lemper. Matanya bolong sebelah, sebelahnya lagi meleleh ke pipi. Darah mengucur di sekujur tubuhnya. Yadi terkesiap. 

Ia membaca mantra andalannya, namun makhluk dua kali lebih besar dari badannya yang mungil itu semakin mendekat. Yadi mulai kehabisan cara  saat semua jurusnya telah ia coba. Makhluk itu menjulurkan tangannya seperti hendak meraihnya. Yadi berhasil melesat. Namun kali itu ia apes. Secara tak terduga lidahnya kaku. Sekujur tubuhnya bergetar hebat sebelum akhirnya tak mampu ia gerakkan. Persis seperti tengah memainkan mannequin challange.

Maka dengan sekali tangkap Yadi telah berhasil dijamah oleh makhluk di hadapannya. Kuku-kuku panjangnya mencakar pakaian Yadi sampai comopang camping. Setelah hampir setengah jam ia diuber-uber si hantu, barulah tubuhnya kembali normal. Makhluk halus yang menampakkan diri itu sirna ditelan angin. Yadi lari terkencing-kencing sembari bergumam jera tak ingin lagi berurusan dengan hantu, apapun wujudnya.

Kekalahan telaknya melawan hantu bapak M semakin meyakinkan warga agar lebih waspada. Pintu dan jendela di tutup rapat menjelan magrib. Seluruh warga seperti enggan keluar rumah, meski hanya untuk buang air kecil ke kamar mandi di halaman belakang.

Setiap malam, saya pun menyediakan seember air dan bak kosong untuk menjaga kemungkinan kepingin pipis di malam hari. Ember itu bukan hanya saya letakkan di ruang tamu, melainkan di dekat ranjang.  Namun seperti undian, tibalah giliran saya sebagai tuan rumah.

Waktu itu memang musim penghujan disertai angin kencang. Kata orang Madura "bharat kapettoh" angin putaran ketujuh, merupakan puncak tergilanya angin. Dari beranda rumah muncul suara seperti kursi di tarik-tatik. Makin lama tarikannya makin panjang. Saya terjaga dan mulai panik. Saya membangunkan seluruh keluarga. Mereka semua mengaku juga mendengar hal serupa.

Ibu mencoba menenangkan dengan berdalih kalau itu sepeda miko, keponakan saya, yang lupa ia masukkan ke rumah. Tapi jelas suara itu bukan roda sepeda, melainkan kursi. Tarikan demi tarikan terus berlanjut menambah ketegangan. Suara itu terhenti saat kami sekeluarga sepakat mengaji yasin tiga kali dikhususkan untuk arwah bapak M. 

Keluarga saya masih untung tidak menerima teror penampakan seperti tetangga sebelah. Mula-mula seperti ada yang melempari gentingnya dengan kerikil. Disusul lompatan mirip gerakan pocong di atap sengnya. Lalu ada tanah bekas langkah kaki memanjang. Dan terakhir ia menampakkan wajah busuknya di jendela. Si pemilik rumah pingsan berjam-jam. Setiap kali makan, isi perutnya selalu dimuntahkan.

Begitu juga dengan tetangga yang lain. Mereka semua mendapat giliran teror hantu si buruk rupa. Kadang hanya dalam bentuk bebauan, suara benda, atau sapaan hangat, "Heeemmm".

Kampung kami kembali aman saat keluarga bapak M menemukan dukun pengusir hantu paling profesional. Kabarnya di kuburannya dipasangi beras jagung, gumpalan jimat, dan ditanami bunga melati sebagai wujud lain dari harimau penjaga yg mampu mencengah bapak M keluyuran lagi.

Kejadian itu menjadi peristiwa teguran bagi seluruh warga. Jangan sekali-kali berjudi, berzina, dan nyabung ayam kalau tak ingin jadi hantu.

28 Januari 2018

Kenangan Paling Sedih

Kenangan paling menyedihkan di masa kecilku yang jika diingat sekarang aku masih tetap menangis adalah mendengarkan murottal syeik Abdul Rahman Al-Sudais, surat An-Naba'. Waktu itu, dalam perjalanan menuju pertunjukan gajah di Lapangan Guluk-Guluk aku numpang mobil salah satu kerabat dekat yg kebetulan memutar murottal surat-surat pendek. Kira-kira usiaku masih sembilan tahunan.

Kesedihanku bukan karena paham dengan makna surat Al-Qur'an tadi, melainkan karena tak mengantongi uang sepeserpun. Aku beragkat memenuhi ajakan teman sepulang sekolah saat ayah dan ibu sedang tidak di rumah.

Sepanjang perjalanan aku membayangkan teman-teman yang lain membawa uang jajan yang banyak dan bisa membeli apa yang mereka suka. Sementara aku tak tahu harus menjawab apa ketika mereka mengajakku belanja.

Di lokasi pertunjukan, kami berkumpul di balik pagar bambu yang disediakan panitia. Kulihat ada perempuan maju ke tengah lapangan untuk dicium sang gajah. Suasana tegang sejenak, lalu kembali ramai oleh tepuk tangan para penonton ketika sang gajah menunduk dan menciumnya seperti pangeran dalam dongen si buruk rupa. 

Dalam keseruan aku bersyukur tak ada seorang pun teman rombonganku yang pergi beli-beli. Namun ketika acara resmi bubar, mereka semua berhamburan menuju stan bazar penjual makanan dan mainan. Mereka tak menyadari aku mematung di kejauhan sembari meneteskan satu dua air mata. 

Dadaku sesak oleh perasaan ingin yang tak mampu kugapai. Tubuhku bergetar menjalarkan kekeluan. Tungkaiku seperti tak bisa digerakkan. Dengan perlahan aku berusaha menuju mobil untuk masuk duluan.

Saat paman membuka pintu, kupilih kursi pojok paling belakang untuk mengatur napas. Paman curiga mendengar suara sesenggukan. Ia bertanya mengapa aku menangis. Aku menjawab pusing dan sakit perut. Ia menyuruhku berbaring.

Kututup mataku rapat-rapat. Dalam pejamku yang paling pedih, aku mendengar lantunan surat An-Naba'. Ayat-ayat itu perlahan mengurangi beban di dadaku tapi tidak dengan air mataku.

Teman-teman kembali ke mobil dengan belanjaan yang banyak dan sebagian menikmatinya di jalan. Mereka heran melihatku. Panman menjelaskan alasanku. Aku lega mereka tak curiga. 

Mobil melaju dengan cepat. Dari kaca yang terbuka aku melihat langit suram. Udara dingin. Alam seperti kompromi mendukung kesedihanku. Juga irama Al-Qur'an yang mendayu lewat sound kecil di belakang kursi tempatku berbaring. 

28 Januari 2018

Si Buta dari Gua Payudan

Kamis sore minggu lalu, aku terjebak hujan di lokasi pembuangan mayat korban carok. Waktu itu aku jalan kaki karena ban motor suami kempes. Aku memilih tidak membonceng karena takut kasus kempes tadi merambah pada rusaknya velg.

Suamiku berkali-kali menawari agar aku ikut. Aku masih bersikukuh menolak. Opsi lainnya, seperti barang, aku dititip di rumah temannya. Ia akan menjemputku saat motornya sudah pulih. Aku setuju.

Diam-diam aku memilih meneruskan perjalanan saat suamiku sudah berangkat. Pikirku agar ia tak jauh-jauh menjemputku karena hari sudah mulai petang. Aku ingin cepat sampai di rumah.

Bengkel masih jauh, kata orang yang kutanya di pinggir jalan. Alamak! Sandal baru yang kebetulan pertama kali kupakai  alamat tipis dimakan aspal. Aku menyesal tak memakai sandal yang lama.

Kecamuk batinku reda saat langit tiba-tiba mendung dan hari seperti beringsut lebih cepat. Suasana petang dan angin kencang mempercepat langkahku. Tak kupedulikan lagi sandal dan ransel sesak di pundakku. 

Rute yang dipilih suamiku kali ini benar-benar menantang. Dari Ambunten kami memilih  jalur Cempaka-Sa'im menuju rumahku, Tambuko. Karenanya angan-anganku semakin kusut membayangkan hal yang tidak-tidak. Bibirku tak hentinya membaca doa-doa keselamatan dalam perjalanan.

Kata guru ngajiku, ada satu amalan doa yang jika dibaca maka tubuh kita tidak akan terlihat oleh orang jahat. Doa itu kurapalkan berkali-kali sampai lidahku terasa kaku. Bacaanku terhenti oleh gerimis yang mula-mula jatuh sangat tipis. Kemudian dilanjut dengan rintik hujan sebesar biji jagung.

Aku menyesal tidak patuh pada suamiku. Jika tadi aku tidak ceroboh maka saat hujan ini datang aku bisa numpang berteduh di rumah orang. Rumah warga tampaknya masih jauh. Untuk putar balik aku merasa perjalanan yang kupilih akan sia-sia.

Dalam kondisi bingung dan cemas aku menyadari empat hal. Satu, Sa'im sejak dulu kala dikenal dengan lokasi aksi para perampok. Dua, ternyata aku akan melewati tempat pembuangan mayat korban carok. Tiga, ponselku kuletakkan di tas suami sehingga aku tak punya kesempatan berkomunikasi. Dan empat, merupakan yang paling parah, kala itu adalah malam Jum'at!

Di kanan kiriku hanya semak belukar dan pohon-pohon jati merindangi jalan. Kesialan ini telah berlapis-lapis kuterima. Sementara suamiku pasti merasa tenang karena mengira aku aman di rumah kenalannya. Entah bagaimana nasibnya.

Aku berhenti sejenak saat tiba di tanjakan curam karena lututku rasanya mau patah. Napasku tak dapat diatur. Dalam hati aku berdoa agar suamiku segera datang atau adanya keajaiban lain yang meringankan beban penderitaanku. Misalnya ada orang baik yg lewat dan menawari tumpangan. Namun seperti cobaan yang sangaja menantangku, tak ada satu pun kendaraan atau orang lewat.

Aku pasrah dengan keputusan Allah. Aku yakin Dia tengah menguji mentalku yang lemah. Kesadaranku itu mengurangi keresahanku perlahan-lahan.

Ketika aku menoleh, di kejauhan aku melihat lampu mobil searah dengan tujuanku. Bagaimana pun aku akan memohon pertolongan pada pemilik mobil itu. Harapan terbesarku semoga aku tidak dipertemukan dengan orang jahat yang akan mencelakakanku.

Mobil Carry semakin mendekat mewarkan harapan begitu kuat. Namun aku tak langsung menampakkan diri karena ingin memastikan pemilik mobil bukanlah preman. Begitu firasat baikku mendukung aku menyetop dengan melambaikan tangan beberapa kali.

Mobil itu berhenti. Sopirnya memakai peci. Pikiranku mulai terkendali.

Aku dipersilakan masuk dan duduk di kursi tengah bersama dua orang perempuan berjilbab. Aku menduga itu adalah mobil seorang kiai. Hatiku sungkan namun ikut bersama beliau adalah pilihan terbaik.

Di jalan, aku ditanya macam-macam. Aku menjawab seperlunya dengan sopan. Aku balik bertanya di mana alamat si pemilik mobil. Salah seorang di antara mereka menjawab dengan cepat, Karduluk.

Obrolan ringan tadi mencairkan suasana hatiku. Tak hentinya kuucap syukur di dalam hati. Bagaimana pun kejadian itu adalah pengalaman yang sangat mengerikan di dalam hidupku.

Hujan mulai reda. Di pertigaan jalan Ganding nanti aku akan meminta diturunkan karena arah pemilik mobil berlawanan dengan tujuanku.

Ganding hampir tiba, aku berpikir untuk meminjam ponsel pada pemilik mobil untuk menghubungi suamiku. Namun aneh, saat perempuan di samping kananku hendak memberikan ponselnya, tiba-tiba ia memasukkan lagi ke dalam sakunya setelah mendapat kode mata dari perempuan satunya. Aku mulai curiga.

Kuperhatikan baik-baik kabin mobil. Kursinya kusam dan bau apek. Dashboardnya juga remuk tak karuan.

Saat hatiku mendadak tidak tenang, kurasakan kakiku seperti basah oleh genangan air. Karena ruangan gelap aku mengira itu adalah air mineral yg tumpah di kursi belakang.

Kakiku mulai terasa gatal. Kugaruk dengan tangan kananku. Dan astaga! Secara tak terduga tiba-tiba menyeruak bau amis. Tak salah lagi, itu darah! Mataku terbelalak tegang.

Aku belum berani menoleh karena dua perempuan yang mengapitku memperhatikan gerak badanku. Aku pura-pura bingung akan keberadaan suamiku. Setelah aku berkesempatan menoleh, melalui remang cahaya lampu jalan, dalam sekali lirik aku melihat seorang lelaki disandarkan pada pojokan mobil dalam kondisi kepala penuh darah.

Degup jantungku sangat kencang seperti mampu didengar semua orang. Badanku menggigil oleh rasa dingin dan takut. Aku menelan ludah. Aku menyesal telah memilih berada di tempat yang salah.

Apa yang harus aku lakukan dalam kondisi yang begitu dekat dengan maut? Sementara kesempatan untuk mencelat sangatlah minim. Kalau aku berteriak minta tolong, itu berarti aku mempercepat ajalku. Kalau aku memilih melompat, aku harus melawan dua perempuan di sampingku, dan belum tentu aku selamat. 

Tubuhku bergetar hebat memilih dua opsi yang sama-sama membahayakan hidupku. Sesungguhnya rejeki, jodoh,  dan maut sudah diatur Tuhan. Jika kali ini adalah giliranku, maka aku siap. Tetapi jika tidak, Tuhan pasti menunjukkan jalan lain dengan cara rahasinya, apapun itu.

Suara perempuan di sampingku mengacaukan lamunanku. Aku kembali sadar dan mencoba bersikap tenang. Sekilas pintas berkelebatlah bayangan-bayangan mereka yang kusayang. Seperti diputar ingatan, gambar ibu, suamiku, kakak, Miko, Upik, Alya, dan Nia silih berganti memenuhi pikiran.

Sebelum tiba di pertigaan Ganding, mobil berhenti, tepat di bawah pohon siwalan tua bangka. Mungkin di sinilah mayatku akan disandarkan. Dua perempuan di sampingku memegang pergelangan tanganku. Pak Supir yang dari suaranya bersahaja berubah menjadi sangar. Ia menjulurkan tubuhnya dari kursi depan. Tangan kirinya meraih belati mungil dari bantalan sarungnya. Sialnya, tanpa sempat bertanya apa salahku, mulutku telah disumpal kerudung kecil.

Ketika belati itu siap mencongkel mataku, sebuah tangan kekar menutup mukaku. Aku tak bisa bernapas. Ternyata itu adalah tangan suamiku yg terbaring di sampingku. Alarm berbunyi menunjukkan pukul 03:30 dini hari. Seperti sapi tua, aku malas bangkit memikirkan jika kejadian tadi bukanlah mimpi, maka kini aku telah menjadi si buta dari gua Payudan.

25 Januari 2018

Sahabat Bukan Cuma Dia

Delapan tahun yang lalu ia berkunjung ke rumahku. Kedatangannya sangat tidak tepat karena waktu itu aku sedang tak enak badan. Aku tak bermaksud mengacuhkannya dengan terus berbaring dan merespon ceritanya hanya dengan senyum ringan. Tetapi memang sudah tiga hari badanku terasa lemas.

Dia paham aku periang dan cerewet. Namun saat itu kepalaku yg limbung seperti korban gempa tak bisa ditahan-tahan untuk sekedar duduk. Maka berbaringlah aku di sampingnya. Aku sangat menyayangkan keadaanku karena itu adalah kunjungan pertamanya ke rumahku.

Dalam salah satu obrolan kami di sekolah, ia pernah memberitahuku kalau telor mata sapi adalah makanan kesukaannya. Aneh sih. Setahuku sapi tak pernah bertelur. Bagaimana mungkin telur dikaitkan dengan mata sapi. Soal kuning telur yg bulat menyerupai mata sapi bagiku masih tidak masuk akal. Kuda, zebra, keledai dan banyak hewan lainnya juga punya mata bulat. Badut juga demikian. Kenapa tidak disebut telur mata badut?

Ia terkekeh mendengar ocehanku. Aku semakin memperpanjang urusan itu. Termasuk bertanya siapa orang yg pertama kali mengenalkan istilah mata sapi bagi telor ceplok.

Saat itu orang tuaku berternak bebek. Hampir setiap hari menu di rumah kami tak lepas dari telur. Telur asin, telur dadar, telur gulung, telur rebus, telur kuah santan, dan telur mata badut, eh sapi.

Maka ketika ia hadir di rumahku, mama menyajikan menu telur kesukaannya. Ia menikmatinya sendirian karena aku sariawan, bibir pecah-pecah, dan kata mama aku tidak harus minum larutan penyegar seperti yang nyanyikan Joshua dalam iklan masa lalu.

Aku merasa ia pulang dengan perasaan kecewa. Perjumpaan kami di hari libur tidak seperti yg ia duga. Tetapi aku tidak sengaja. Apa yang lebih menyiksa dari rasa sakit? Badan panas dingin, makanan terasa pahit, kepala nyut-nyutan, mata berkunang-kunang dan perasaan sedih sepanjang hari.

Berbeda dengan anak yang tak mau sekolah dan pura-pura sakit. Bagaimana orang tuanya tak percaya, panas badannya direkayasa dengan mengapit bawang putih di ketiak selama berjam-jam sampai menimbulkan demam. Sama juga saat aku tak mau ke surau dan mengarang sakit-sakitan menjelang sore. Mama sampai tak percaya karena rutinitas sakitku hanya ketika sore.  Karenanya aku rela memasukkan jari telunjuk ke mulut dalam-dalam untuk memuntahkan isi perut. Barulah aku dikerok seperti sakit parah.

Teman-teman di surau kalau mengaji kadang arisan bekal makanan. Padahal jarak antara surau dan rumah kami tidaklah jauh. Fitri membawa petis, Devi membawa ikan pindang, Nujai tahu tempe, Sipur telor dadar,  Sauki kerupuk, Hozai nasi jagung dan aku tukang numpang makan. Maka ketika aku dimusuhi ramai-ramai surau bagiku seperti penjara para blater.

Lalu kami tepecah menjadi dua kubu. Waktu itu kami saingan menanam pohon rambutan. Ketertarikan kami dimulai dari kejadian menakjubkan ketika dari sebuah biji menyembul batang dan daun. Kami rajin mengumpulkan biji buah-buahan untuk di tanam dan dilombakan antar kubu. Sauki, Devi dan Fitri di kubu barat, Nujai, Hozai, Sipur dan aku di kubu timur.

Di malam hari diam-diam aku mencuri tanaman milik musuh. Paginya kubu barat panik memeriksa tanaman kelompokku. Dan terjadilah ribut-ribut adu mulut. Karena dulu hanya Sauki yang punya teve, maka kubu timur dilarang keras nonton teve di rumahnya.

Kelucuan masa-masa itu sangat berkesan. Segala tingkah nakal tak pernah menjadi kisah yg memberatkan, bahkan asik untuk dikisahkan lagi. Tidak seperti saat aku dewasa. Segalanya berubah serius dan menegangkan. Satu tindakan salah kadang menjadi beban sepanjang hidup. Seperti kenangan saat sahabatku berkunjung ke rumahku ketika aku sakit.

Sekilas pintas, aku mengira dia akan memaafkanku. Namun sebaliknya, sejak kejadian itu ia mulai mengambail jarak dalam komunikasi kami. Aku maklum dan mulai membuka diri secara total pada keberadaan teman-teman lain yg juga tak kalah penting untuk diperhatikan. Artinya, sahabat tak hanya satu orang yg mengerti kita, tetapi mereka yg memberikan cinta dan perhatian pun dapat dianggap sebagai sahabat.

Saat pikiran dan batinku terkuras untuk memikirkan kesalahan-kesalahanku, ada banyak kawan yg peduli dan siaga di sampingku. Karenanya, bukan hanya kebahagiaan yg kurasakan, melainkan juga keharuan, merasa dicintai, dan dianggap sebagai salah satu bagian dari mereka. 

Ada banyak kawan yang bersedia mengubah telinganya menjadi telinga gajah untuk mendengarkan curhat sampah batin kita. Maka jika seorang kawan meninggalkanmu karena kesalahan kecil, jangan pernah takut. Ia khilaf dan suatu saat akan menyadari betapa persahabatan terlalu berharga untuk dihancurkan oleh rasa benci.

25 Januari 2018


23 Januari 2018

Kutu-Kutu di Kepalaku

Mungkin aku sudah sinting. Rambutku tak disisir dan dihuni kutu. Ekor telurnya kurasakan seperti jarum tumpul menggelitik kulit kepalaku. Kugaruk berkali-kali sampai luka, bahkan keluar darah.

Seperti apakah suasana di kepalaku? Kehidupan macam apa yg mereka jalani dengan numpang hidup dan menyakiti. Dasar tak tahu diri.

Kadang mereka berpindah-pindah dari kepala ke kepala yg lain untuk melanjutkan hidup dan membangun generasi. Seperti manusia tak betah tinggal di bumi dan mencari planet lain yg bisa menampung mereka. Atau dari negaranya ke negara lain demi menyambung hidup.

Manusia hampir mirip dengan kutu. Bedanya manusia makan nasi atau roti sedangkan kutu makan darah. Tidak,  tidak, manusia dan kutu tak ada bedanya. Mereka berdua sama-sama makan darah. Kutu makan darah manusia dan manusia makan darah saudaranya. 

Mungkin aku memang sudah setengah dua belas. Kemiringan-kemiringan aku rasakan saat aku berhadapan dengan ponselku dan aku lupa waktu. Aku berselancar di internet mencari kiat membasmi kutu. Saat kuketik kutu di mesin pencari, maka keluarlah laman-laman yg menampilkan sejarah lahirnya kehidupan kutu berikut cara mengusirnya. Aku tersenyum. Aku bersemangat.

Ketika aku klik link pertama muncullah  promosi iklan. Tak sengaja aku mengikutinya. Aku terpaut pada iklan-iklan berikutnya. Kujumpai krim pemutih kulit, baju-baju hits kostum artis, ramuan herbal pelangsing, mesin pemutih gigi, sepatu, sandal,  dan banyak lagi iklan lainnya tumpang tindih menawarkan produk unggulan. Aku terbuai.

Kali ini aku benar-benar gila. Kegilaanku bukan hanya karena intensitas dg ponsel cerdasku, melainkan kegiatan belanjanya. Tiada hari tanpa mengetik "yang ini ukuran apa aja, Sis? LDnya berapa? Warna hitam ada?“.  Lemariku penuh. Aku membeli lemari baru.

Apa aku manusia ataukah aku seekor kutu yang memburu segala yg kuinginkan seperti saat mereka menggigit kulit kepalaku? Gatal rasanya. Lebih akut dari rasa geli saat kutu-kutu berpindah dari garis belakang telinga ke cekung leher. 

Aku tak mengenali siapa diriku. Kadang-kadang aku menangisi diriku di cermin. Aku bersama teman-temanku tetapi jiwa kami tak terhubung. Aku acuh pada tugas-tugasku. Aku juga ingat pen dan catatan harianku sudah lama tak kusentuh. Duniaku sebatas genggaman dalam layar beberapa inci. Betapa menyedihkannya diri ini.  

Aku rindu diriku. Aku ingin waras dari kesintingan ini. Aku mulai menulis. Barangkali ini mampu menjadi obatnya. Semoga lekas sembuh, diriku.

Tamba Agung Ares,  23 Januari 2018