17 Maret 2019

Dilema Penulis Pincang

Barusan saya mendapat telpon dari pengurus OSIS bidang penerbitan SMA 3 Annuqayah Guluk-Guluk. Mereka meminta saya mengisi pelatihan kepenulisan. Jelas saja saya bingung dalam merespon permintaan tersebut.


Pasalnya, proses belajar menulis saya saja sudah mandek, macam nama pula saya harus mengajak banyak tangan untuk mengangkat pena. Sungguh saya berada dalam dilema yang mengenaskan. Seperti si pincang yang hendak mengajak si buta menyeberang.


Semangat menulis dalam hidup saya belumlah dapat divonis padam. Hanya redup seperti lampu lima watt. Saya hanya menulis mengikuti suasana hati yang kata anak-anak milenial disebut moody. Hal itu meluncurkan komentar pedas dari guru saya, kiai M Faizi. Beliau menyebut saya sudah hampir bukan penulis lagi, karena penulis adalah orang yang tekun menulis, bukan kadang-kadang menulis.


Saya mengaku kalah dalam perjudian di dunia kepenulisan. Saya kalah melawan kegemerlapan dunia sosial media yang menawarkan tulisan instan berupa copas (copy paste), atau sekedar status pendek sebagai keterangan foto. Maka ketika tawaran mengisi acara seminar kepenulisan itu datang, saya menjadi gundah.


Saya telentang di atas kasur sembari memamdang langit-langit kamar. Bergelimpang ke kanan dan ke kiri berharap menemukan kekuatan. Kepala saya penuh dengan pertanyaan: masih layakkah saya berbicara di hadapan mereka sementara proses menulis saya berada di ambang kekandasan? Apa yang bisa saya bagikan untuk mereka? Apakah saya  mampu mengajak banyak orang untuk semangat menulis seperti yang ditargetkan mereka? Ataukah saya harus menolak dan mati bersama-sama?