11 Januari 2011

Mencari Quraisyi

Akhirnya aku hanya bisa memberikan saran kepada Sri agar ia dapat melupakan cita-citanya untuk menikah dengan orang yang bernama Quraisyi. Ia hanya menarik bibirnya ke atas, memanjangkan senyum sekilas. Sebuah sandi tubuh yang berarti saranku tak berdaya guna.

Sri memang gadis desa yang lincah dan cerdas. Wajahnya selalu tampak pucat tanpa bedak. Pipinya yang lebar dan berisi membuatnya kelihatan bahwa badannya pun tak kurus. Meski tak cantik, dia memiliki beberapa kelebihan yang memikat pada siluet senyum dan binar hangat di matanya yang tajam.

Aku sangat menyukai pribadinya yang peka sosial dan selalu sopan memperlakukan orang lain. Namun ia begitu keras kepala, kritis, dan tak mau kalah. Siapa pun yang berani mengusik hidupnya dan keinginannya, maka siap-siaplah untuk menerima beberapa pertanyaan seperti ini darinya: apakah pernah Nabi Muhammad gentar dalam memperjuangkan Islam? Apakah ada rakyat Indonesia yang menyuruh agar Soekarno tidak membacakan teks proklamasi saat 17 Agustus 1945 lalu? Bukankah semua orang ingin menikmati kemerdekaan? dan lain sebagainya.

Setelah itu, barulah orang-orang tahu kalau Sri bukanlah perempuan desa sembarangan. Dalam dirinya tersimpan multi talenta yang kuat. Buktinya, selain cerdas, ia patuh pada orang tuanya. Selain berstatus sebagai mahasiswa, ia juga bisa membuka usaha dengan membangun toko kelontong sendiri. Namun berlebihan bila ia disebut sebagai perempuan keramat, meski seluruh misi dan gerak-geriknya selalu dipandang aneh oleh orang-orang di kampungku.

Kali ini, misinya dalam rangka mencari Quraisyi telah menyita seluruh sendi-sendi perhatianku. Aku juga tidak tahu apa yang melatarbelakangi keinginannya itu. Aku hanya bisa menduga-duga; mungkin nama Quraisyi telah dipercainya sebagai bentuk maskot. Atau barangkali nama Quraisyi mengandung makna magis nalurian bagi Sri. Ah, ia memang sahabatku yang susah diterjemah.

Kami telah menjadi sepasang sahabat sejak kecil. Saat umurku menginjak 6 tahun dan Sri baru berusia 4 tahun. Selain karena rumah kami yang hanya berbatas 4 petak sawah, Sri juga merupakan anak tunggal. Jadi aku merasa wajib melindunginya seperti seorang kakak kandung.

Suatu sore, Sri bertandang ke rumahku. Kudengar ia bersiul-siul memanggil angin. Tingkahnya memang selalu mendekati gaya lelaki. Mungkin kampung kami yang melahirkan banyak anak laki-laki dan sedikit anak perempuan telah mencetak kepribadian maskulin dalam dirinya. Hingga tak jarang ia mengajakku bermain bola dan kelereng ketimbang bermain boneka dan ‘jual-jualan’ semasa kami kecil dulu.

Aku mengerti maksud kedatangannya kali itu. Tidak biasanya aku mendengar rahasianya dari orang lain. Entah karena ia telat mengabariku atau karena aku terlalu sibuk mengerjakan tugas skripsiku.

“Apa skripsimu sudah kelar, Man?” tanyanya dengan nada paling rendah yang pernah kudengar darinya. Aku tak menjawab meski dari kemarin aku begitu ingin untuk segera mengabarinya tentang kelegaanku ini. Aku tahu pembuakaan dialognya kali ini hanyalah basa-basi.

“Aku bertemu di dalam mimpi, namanya Quraisyi…” katanya memulai cerita tanpa kuminta, “sebelum nenekku meninggal ia berbisik ditelingaku untuk mencari seseorang yang namanya sama persis seperti kakekku. Malam itu, aku benar-benar bermimpi bertemu dengan sesosok yang mengaku Quraisyi. Aku menumpang berteduh di bawah payungnya saat hujan deras. Selain itu aku tak ingat apa-apa lagi. Ketika bangun tidur, aku mendapati sebuah ketenangan yang kubawa dari dalam mimpi. Mimpi yang tak bisa, Man!” lanjutnya dengan mimik berapi-api dan berbicara cepat seolah tak perlu mengambil nafas.

Hening. Suara-suara langkah ayam menginjak daun-daun kering di halaman.

“Bagaimana mungkin kau akan mencari seorang pemuda bernama Quraisyi seperti wasiat almarhum nenekmu? Bukankah kau akan mempermalukan dirimu dan keluargamu pada masyarakat di tengah budaya kita yang innalillah bila perempuan mencari lelaki?”

“Okelah ini bukan persoalan yang mudah. Dan bahkan aku akan ditertawakan karena Quraisyi akan tampak seperti seorang mafia pajak yang diburu ke mana-mana. Tapi ini masalah kesetiaan. Nenekku bilang, orang yang bernama Quraisyi, kelak akan menjagaku dengan kemampuannya yang terus memberikan semangat untuk terus menjalani hidup. Bahkan ia akan mengajakku berlayar untuk melanjutkan tugas kenabian. Aku percaya nenekku, Man. Dan melalui misiku ini, aku akan katakan bahwa perempuan berhak memilih.”

“……”

“Mendengar alasanmu yang tampak kurang masuk akal ini, aku menjadi was-was, apakah kelak yang kau maksud itu bisa terbaca di masa ini? Apakah engkau tengah mengatakan kepadaku bahwa engkau telah meiliki kekuatan intuisi?” ujarku mencoba memecah keheningan.

“Tak ada yang mengerti––” katanya dengan penuh rasa sedih. Aku bisa menduga apa yang ada di balik kata-katanya. Kutatap ia dengan penuh rasa sayang.

“Tidak perlu kau bersedih hati. Aku akan selalu ada dan mendukungmu. Alasanmu yang kataku tak masuk akal tadi justru hanya pancingan apakah kau akan emosi atau tidak,” potongku.

“Sore ini aku menemukan jutaan oasis di matamu,” ucapnya mengisyaratkan kalimat pemungkas pada dialog kami. Aku pura-pura mengucek kedua mataku yang tak gatal. Ia menggeleng kenes. Tawa kami lepas bersama angin sore itu.

Setelah hari itu, kami memulai aksi mencari Quraisyi. Namun sebelumnya aku dan Sri menyusun rencana dan mendata seluruh tempat-tempat yang akan kami kunjungi, seperti, kampung-kampung di desa kami, pasar-pasar, tempat nongkrong para remaja dan tentunya, yang paling utama adalah sekolah tinggi di kampung kami. Selain itu kami juga menyiapkan beberapa rencana cadangan beserta kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Melihatku bekerja amat serius, Sri hanya manggut-manggut. Maklum, meski penampilannya serba sederhana, tapi dalam urusan proyek ia selalu memegang teguh prinsip profesionalisme dan perfeksionisme.

Langkah pertama kami mulai dari menjelajah kampung. Rencananya Sri mau menanyakan satu per satu pada para kepala rumah tangga. Bahkan ia berniat untuk mendaki bukit ke bukit demi menemukan nama yang ia cari. Namun aku mencegatnya. Menurutku lebih baik mendatangi balai desa dan meminta data penduduk pada aparat desa saja. Sri pun mengakui ideku kali itu lebih cemerlang.

Pelacakan yang kami lakukan ke balai desa rupanya membuat Sri bergelimang kecewa karena nama yang ia cari tidak ada. Alhasil ia tak henti berceloteh di dekatku. Dan aku tak lebih dari seorang pendengar setia dan tempat sampah.

Kurang lebih beginilah isi celotehnya: “Rupanya, kampung kita ini tlah terpengaruh arus kebarat-baratan juga, Man. Nama anak-anak kecil saja sudah serba gaya. Para orang tua tak lagi gemar menamai anak mereka menggunakan bahasa Arab dan atau mengambil dari al-Qur’an. Zaman sekarang, makin jarang saja kutemui nama Sulaiman, Ahmad Syafi’i, Fatimah, atau Ibrahim. Yang mudah dicari sekarang adalah Danil, Deni, Hendra, Fiki dan Fera. Ah, makin kacau saja dunia persilatan ini.”

Itulah potongan evaluasi bagi kampung kami. Padahal sebenarnya Sri tahu kalau yang ia cari bukan anak kecil, tapi dalam penyampaiannya ia menyinggung nama anak kecil. Kalau tidak aku yang memencet tombol stop dengan kalimat yang kulontarkan, tentu saja celoteh itu tidak akan berhenti sampai di situ saja.

“Sudahlah…. Ini baru langkah yang pertama. Kau sudah seperti anak ayam saja. Santai. Nikmatilah proses ini, Sri.”

“Tapi apa kau tidak lelah menemaniku yang tengah mencari sesuatu yang tak pasti?”
Aku diam pura-pura tak ingin menjawab. Akhirnya ia tengah menyadari bahwa misinya nampak konyol dan tak jelas.

“Rahman… kok diam?”

“Aku akan lelah kalau kau malah terus mengeluh. Jangan menyerah!” jawabku seraya menjitak kepalanya yang terbungkus kerudung segi tiga berwarna abu-abu.

Keesokan harinya Sri datang saat matahari belum menampakkan diri. Dingin masih sempurna menyelimuti pagi. Sebuah ketenangan di kampung kami yang begitu nyata dapat dirasakan saat pagi hari. Saat jalanan masih tampak lengang.

Wajah-wajah orang yang berlalu-lalang di jalanan masih belum dapat ditebak. Lain halnya dengan langkah Sri yang memiliki ciri khas. Aku begitu hafal geraknya. Tak sengaja kulihat dari dalam jendela saat aku hendak memberi makan dan minum burung di dalam sangkar yang digantung di beranda.

Sri memanggil salam seraya mengikutkan namaku di belakangnya. Ibu dan Bapak masih belum beranjak dari sajadahnya. Biasanya baru akan turun usai shalat duha. Begitulah rutinitas dalam keluargaku.

Aku segera menjawab salamnya. Kami lalu berbincang diiringi kicau burung di kejauhan. Pagi itu benar-benar terasa dingin.

Sekitar jam tujuh kami berjalan ke pasar yang berjarak 1 km dari rumahku. Kami melangkah menyusuri pagi yang cerah sambil sesekali tangan dan mulut Sri menyapa orang-orang yang berpapasan dengan kami. Sepanjang jalan mulutnya terus komat-kamit, berdo’a kepada Tuhan agar hari ini dipertemukan dengan makhluk-Nya yang bernama Quraisyi. Sebenarnya ia tidak percaya pada kebetulan, keberuntungan, dan kesialan. Baginya semua akan berjalan sesuai kontrak yang telah disepakati antar-roh bersama Tuhan sebelum ia terlahir menjadi daging. Tapi hari ini Sri acap kali berbisik di dekat daun telingaku bahwa ia telah menanam harapan besar dapat berjabat tangan dan orang itu berkata: Quraisyi.

Senyum Sri mengembang saat kami menerima kabar bahwa di desa seberang ada orang bernama Quraisyi. Sebuah petanda bagi Sri untuk mengakhiri pencariannya. Informasi ini kami dapat dari seorang nenek yang menjual cendol. Dari saking girangnya Sri sampai menghabiskan tiga mangkok cendol sekali duduk.

Tanpa banyak kata, rumah yang dimaksud langsung kami datangi. Namun lagi-lagi Sri pulang dengan membawa setumpuk kesedihan saat ia tahu bahwa pemuda itu bukanlah Quraisyi melainkan Qusyairi. Kabar selanjutnya yang kami terima adalah nenek penjual cendol di pasar tadi memang sudah agak pikun. Sebagian lagi mengatakan bahwa pendengarannya bermasalah. Bagi Sri, huruf R dan S harus sesuai pada tempatnya. Bila salah letak maka semua pastilah kacau. Seperti kasus yang ia alami hari ini.

Karena gagal lagi Sri lalu putuskan hari itu juga untuk mendatangi sekolah tinggi swasta di desa kami, Ganding . Kami berdua mengahadap TU kampus untuk mengecek nama-nama mahasiswa. Jam 17.02 WIB kami pulang dengan perasaan haru saat keberhasilah membentang di depan mata. Dari sederet nama yang kami terima ada seorang mahasiswa bernama Quraisyi semester I jurusan Tafsir Hadits yang berdomisili di desa Pagar Batu.

Besok kami akan melakukan survei lapangan. Dari air muka Sri mengalir sebuah kelegaan yang seolah berkata ‘akhirnya’ dan ketidaksabaran menunggu hari esok. Ia begitu antusias untuk menemui Quraisyi di desa Pagar Batu tanpa berpikir panjang apakah orang yang dimaksud telah beristri, bertunangan, atau barang kali sedang memadu asmara. Sri tak peduli. Lalu sebenarnya apa yang ia inginkan bila kenyatannya, besok, dugaan itu benar-benar telah dialami sang Quraisyi yang ia cari. Apakah Sri akan minta dimadu? Lalu bagaimana pula bila istri Quraisyi tidak mau? Ah, aku jadi tambah pusing memikirkan pertanyaan yang kurangkai-rangkai sendiri ini.

Besoknya kami berangkat menaiki motor Astreaku. Aku melajukannya dengan kecepatan yang luar biasa. Itu karena Sri yang meminta agar kami segera sampai tujuan.

Kami turun di depan rumah kecil berpotongan topi miring menghadap ke barat. Di halaman rumah itu tampak kubis, wortel, sawi dan mentimun berebut untuk meninggikan badan mereka masing-masing. Di samping dan belakang rumah tampak hamparan sawah yang membentang ditanamani padi. Rumah itu berada di deretan paling selatan. Petunjuk itu sesusai dengan yang kami peroleh dari TU kampus kemarin.

Suasananya amat sepi. Seperti tak berpenghuni. Sri segera mengucap salam dengan lembut. Yang menyahut adalah seorang perempuan bernada lirih. Lalu ia membuka daun pintu dan berdiri di sana. Perempuan setengah baya kira-kira telah berkepala empat itu menatap kami sebelum akhirnya mempersilakan kami untuk duduk di teras depan. Matanya kelihatan bengkak seperti habis menangis.

Saat Sri sampaikan maksud kedatangan kami, tiba-tiba ada cairan yang mengalir dari ekor matanya. Akhirnya kami tahu bahwa yang ia tangisi adalah kepergian anak tunggalnya 36 hari yang lalu. Anaknya tak menderita penyakit, tetapi mati secara wajar. Ia tampak semakin lara saat kami datang membangkitkan kenangan masa lalunya.

Jadilah Sri turut menangis sejadi-jadinya di dekat Ibu Quraisyi. Aku hanya mematung dan mengikat mata pada mereka yang seperti mertua dan menantu yang memiliki ikatan keluarga berpuluh tahun. Keduanya sama-sama tak mengacuhkanku.

Ketika beduk dzuhur ditabuh, barulah aku sadar kalau Sri telah tersedu-sedan selama berjam-jam. Aku memberi isyarat kepadanya agar segera berpamit dan kami bisa segera beranjak dari situ. Tangis Ibu Quraisyi pun semakin deras karena rumahnya akan sunyi lagi. Sebentar lagi ia akan terkungkung sendiri menangisi setiap inci waktu yang terus melaju dan tak kan pernah mundur. Ia tak sadar bahwa tak akan ada yang berubah setelah tetes air matanya berjatuhan. Dan ia tak mungkin lagi bertemu dengan anaknya yang tersayang. Sungguh malang nasib orang-orang yang tak siap untuk ditinggalkan.
***

Dalam perjalanan pulang aku memberi saran kepada Sri agar ia melupakan cita-citanya untuk menikah dengan Quraisyi. Ia tersenyum sekilas. Setelah itu aksi ‘mogok ngomongnya’ membuyarkan perbendaharaan kataku. Aku ikut diam dan tak berucap apa-apa lagi. Tidak kepadaku sendiri.

Sehari kemudian Sri tak berkabar. Lusanya aku mendengar bahwa ia terkena depresi. Ia tak hanya menjalankan kerja sesuai rencana, tapi kini ia mulai mencari Qusyiri di tempat-tempat yang mustahil dan itu di luar dugaan; ia terus mencari di kolong meja, kolong ranjang, dan semua benda yang mempunyai kolong. Karena tak ada ia beralih mencari di dalam seprai bantal, di bawah kasur, dan di sela-sela lipatan baju dalam lemari. Karena tetap tak ada ia lalu berlih menjelajahi bulu-bulu handuknya yang menggelantung di kawat jemuran seperti orang mencari kutu sambil berkata: di mana kamu Qusayiri? Menyingkap rumput-rumput liar di belakang rumahnya dan berteriak di pinggir sumur seperti ibu kehilangan anaknya.

Mendengar Sri sebegitu parah aku berkunjung ke rumahnya. Tidak untuk mewanti-wanti agar ia menghentikan aksinya. Tapi aku juga ikut-ikutan meniru tingkahnya. Kuikuti langkahnya menuju dapur untuk mencari Quraisyi di dalam panci, di dekat tungku, di sela-sela sumbu kompor, dan terakhir di rak piring.

Ironisnya, aku sadar sepenuhnya bahwa pekerjaan ini bodoh dan bahkan seperti mencari garam di puncak gunung. Aku hanya ingin tetap setia kawan. Sri tampak menyukainya. Dan kupikir dalam kondisi seperti itu ia butuh dihargai dan dimengerti. Sementara seluruh keluarganya malah memarahinya dan menyebutnya depresi. Namun lagi-lagi Sri tak peduli. Ia tetap teguh pada pendiriannya: berjabat tangan dengan orang yang bernama Quraisyi.

Tiba-tiba aktifitas kami terhenti karena di luar hujan panas. Kami berdua melangkah ke luar beriringan memandangi matahari dari balik rintik-rintik hujan. Reflek kubuka jaketku untuk melindungi kepalanya dari jarum air yang terasa menyengat manusuk kepala. Sri menoleh. Dari jarak yang amat dekat ia berucap pelan kepadaku.

“Selama ini aku telah mencari sesuatu yang salah. Harusnya aku tidak pusing memikirkan mimpi busuk itu. Karena yang kucari adalah sesosok seperti engkau, Man. Buka Quraisyi.”

Hening. Bunyi rintik hujan di atas seng kamar mandi. Keheningan kali itu bagai lagu merdu.

“Hari ini aku sadar bahwa jiwa tidaklah dibelah tapi bersua dengan jiwa lain yang searah. Maukah kau berlayar denganku, Man? ”

Aku tetap diam saat kata-kata Sri seperti suara meriam yang terus menghantam.

Gubuk Cerita, 04 Oktober 2010