26 Agustus 2019

Menjajaki Pasar Tradisional Ganding

Memasuki pasar tradisional Ganding di siang hari Senin, ternyata tidak sepadat pagi hari. Beberapa pedagang ada yg mulai berkemas pulang.  Ada pula yang memanggil menawarkan jualan mereka.


Di kejauhan penjual ikan cakalang melambai dengan berteriak sepuluh dapat tiga. Setelah kuhampiri ternyata itu strategi untuk menarik pelanggan. Hanya bualan ternyata. Saya terus melangkah mencari penjual rujak lontong. Karena tak melihat tanda-tanda penjual makanan dengan cowek besar akhirnya saya nekat bertanya kepada penjual sayur. Mereka menunjuk arah selatan.


Saya terus berjalan dan bertanya lagi pada pedagang bumbu rempah. Ia merekomendasikan rujak di dekat pintu masuk arah selatan. Meluncurlah saya ke sana.


Saya melihat dua orang tante tengah asyik menyantap rujak. Karena ragu tak banyak pelanggan, saya bertanya lagi pada pedagang ikan kira-kira di mana rujak lontong yang enak. Mereka tetap menunjuk nenek di dekat pintuk pintu masuk.


Saya duduk di lencak kecil dekat penjual dan memesan dua bungkus. Lalu tatapan saya bertemu dengan seorang ibu tuna netra yang sedang mengulek kacang di pojokan sana. Iba rasanya. Saya meralat pesanan menjadi satu bungkus karena berniat ingin membeli dagangan ibu di pojokan itu.


Saya pura-pura pamit hendak berbelanja keperluan lain kepada nenek penjual rujak lontong yang kelihatan cuek bebek. Secepat kilat saya menghampiri ibu tuna netra dan memesan rujak sebungkus.


Ia mulai mengulek kacang dan rempah lain bersama sepotong cabai hijau. Cabai itu selalu luput ia ulek. Membuat saya geli dan menyodorkan cabai itu ke dekat ulekan. Luput lagi tiga kali sebelum akhirnya bisa ia haluskan.


Pada saat ia membungkus rujak pesanan saya, seorang ibu paruh baya yang masih segar memanggil salam dan menadahkan tangan. Wajahnya tak asing karena setiap Senin tak absen ke konter saya. Setelah si ibu penjual rujak menjulurkan uang receh, ibu berkostum kebaya dan kerudung segi tiga berukuran kecil itu berlalu.


Pikiran saya ke mana-mana. Mengagumi etos kerja seorang tuna netra yang begitu rajin mengais rejeki dengan cara berniaga.  Sementara batin saya mengutuk ibu peminta-minta itu yang dari segi fisik sangat mampu bekerja tetapi bahkan ia tak memiliki nurani dengan meminta kepada si buta.


Setalah menyerahkan uang lima ribuan, saya beranjak menuju nenek penjual rujak lontong dekat pintu masuk. Tepat di samping kanannya ada beberapa penjual ikan segar. Mereka memanggil minta ditawar. Saya tak pintar menawar dan jujur saja kepada mereka uang saya tinggal lima ribu rupiah. Ibu yang begitu bersemangat mengobral dua tumpuk ikan kuning mencomot uang di tangan saya.  Aih aiiiihhh... padahal saya tidak minat. Tapi karena merasa itu humor maka ya sudahlah saya menerima bungkusan berisi sepuluh ikan kuning kecil-kecil.


Pasar tradisional Ganding dan pernak-pernik ceritanya menjadi lebih dekat dengan saya yg juga tengah membagun usaha jualan pulsa dan aksesoris hp di sana. Ada perasaan haru bahwa saya kini, menjadi bagian dari mereka. Menjadi teman seperjuangan dalam menjemput rejeki halal dari Tuhan semesta alam.

Ironi para Peminta-minta

Empat bulan sudah saya tinggal di Ganding merintis usaha konter sejak bulan April Lalu. Suka duka orang berniaga sudah saya cicipi satu persatu. Berusaha menjalani rumah tangga yang merdeka dan mandiri.


Pasar Ganding merupakan pasar terbesar dan teramai kedua setelah pasar Anom Sumenep, demikian komentar masyarakat. Letaknya yang strategis membuat pasar ini ramai pengunjung hampir setiap hari selain hari pasarannya yaitu Senin. Pengunjungnya bukan hanya dari kecamatan Guluk-Guluk dan Ganding saja, melainkan masyarakat dari kecamatan Pasongsongan yang lumayan jauh dengan pasar Pasongsongan dan Pasean juga memilih berbelanja ke pasar Ganding. Demikian pula masyarakat Lenteng Barat yang jaraknya lebih jauh ke pasar Lenteng.


Ramainya pengunjung di Pasar Ganding ternyata juga menjadi lahan empuk bagi para peminta-peminta. Terutama di hari pasarannya, Senin. Terhitung ada sekitar enam pengemis hari ini yang menadah uang di sekitar toko tingkat Ganding. Mulai dari orang tua setengah baya, sampai adik-adik yang usinya tak sampai sepuluh tahunan.


Miris sekali melihat mereka berpakaian kumuh dan kedodoran sembari memegang gayung dengan mimik memelas. Saya penuh tanya, kemana orang tua mereka? Dan siapa dalang yang menggerakkan mereka?


Ramainya pengemis di pasar Ganding seolah-olah menunjukkan bahwa meminta adalah bagian dari profesi. Pasalnya mayoritas dari mereka orang sehat secara jasmani yang jelas masih sangat sanggup untuk bekerja.


Pernah saya jumpai penjual nasi pecel menukar uang receh kepada mereka dengan juamlah yang cukup banyak. Pernah pula saya membeli rujak kepada seorang ibu tuna netra yang kebetulan saat itu ada pengemis memita kepada si buta. Dan hari ini saya dikejutkan dengan pengemis yang ditangan kirinya memegang es campur terbungkus gelas mika sementara tangan kanannya menadah meminta-minta. Ironi ini membuat saya membatin betapa meminta-minta adalah kejahatan yang halus dan serius.


Berapapun banyaknya pengemis yang memita-minta ke konter saya, sekecil apapun pasti diuluri, karena kata suami, kita tak mampu membedakan antara pengemis sungguhan dan malaikat yang sedang ditugas menguji kedermawanan. Yang terpenting adalah niat memberi, tanpa peduli motif yang melatarbelakangi. Namun jika kamu mampu liriklah mereka yang lebih berhak, anak-anak yatim dan orang yang lebih membutuhkan.