27 November 2018

Mempelai Pria yang Kehujanan

Hari ini 6 tahun yang lalu, tanpa memberitahuku, dia menemui ibu. Setelah cukup lama mereka berbicara serius, ibu mengabarkan hal yang sungguh mengejutkan. Besok keluarganya akan datang melamar. Kabar itu begitu mendadak hingga sulit bagiku untuk mengartikan perasaan, apakah senang yang keterlaluan ataukah gugup yang berlebihan?

Benar saja, pagi hari, rombongan lamaran dari rumahnya datang membawa hantaran dan nampan berisi kue-kue tradisional, ponar (ketan kuning), sekarung beras berikut daging dan bumbu renpah mentah. Tanpa persiapan yang matang, dalam semalam keluargaku hanya bisa menyiapkan suguhan seadanya. Sangat berbeda dengan momen pertunangan pada umumnya, keluargaku lebih banyak menghidangkan kue kering.

Mengenakan abaya merah muda aku memenuhi panggilan ibu untuk sungkeman dengan calon mertua. Kebetulan saat itu aku sakit perut bulanan yang bahkan kadang pernah membuatku setengah pingsan. Jadi bisa dibayangkan gaya dudukku sangat tidak nyaman dan sebentar-sebentar ganti posisi, serta muka pucat mirip hantu begadang tiada artinya semalaman. Aku menyadari itu adalah kesan pertama yang cukup buruk.

Tak ada mendung, hujan tiba-tiba turun sangat lebat. Kami sekeluarga mencemaskan atap emper yang bocor. Rumah kami juga berada di bawah jalan sehingga ketika ada kendaraan melintas kadang genangan air terciprat ke teras. Tamu pria lalu dipindahkan ke dalam ruangan.

Belum hilang kecemasan tadi, calon tunangan saya membawa penghulu. Ini murni inisiatifnya yang belakangan kuketahui bekerja sama dengan keponakanku. Aku mengenalnya sebagai sosok yang jenaka, hangat, dan penuh kebaikan. Tak hanya kepadaku, bahkan juga semua orang yang dia kenal.  Dia selalu memberi banyak kejutan. Termasuk hari itu. Yang paling terkejut tentu saja keluarganya.

Dua pihak berunding dan memutuskan hari itu adalah tanggal baik. Namun di luar seperti ada keributan kecil. Aku sadar tak ada ayah di sampingku. Kakek juga telah tiada ketika ayah masih kecil. Ayah tak punya saudara laki-laki. Adik kandung lelakiku meninggal dunia sejak dilahirkan. Mendadak dadaku sesak memikirkan betapa aku tak punya siapa-siapa. Meski genangan air di mataku mendesak tumpah, tapi aku tidak melakukannya. Aku tidak boleh menangis.

Aku mencoba menata perasaan tak menentu. Semua kenangan tentang ayah datang memenuhi pikiranku. Saat itu aku menyadari betapa pentingnya peran ayah  di momen paling sakral dalam hidup putrinya. Bukan sekedar untuk menjadi wali nikah, melainkan juga menjadi penguat dengan kasihnya yang hangat.

Sangat disayangkan gadis-gadis yang memilih kawin lari dan mengabaikan peran ayah mereka. Selagi ayahmu masih ada, hormati beliau. Sebab engkau adalah setitik makhluk kecil yang berasal dari tubuhnya. Engkau adalah tuan putri di hatinya.

Paman dari ibu memanggilku ke kamar. Aku diminta untuk mengakad wali hakim. Kiai Fahri menuntunku mengucapkan niatnya. Usai menentukan mahar, diakadlah mempelai pria yang sangat berani dengan mengundang dan membawa penghulu sendiri ke rumahku itu.

Dalam pikiran yang gamang aku masih belum menyadari sepenuhnya bahwa hari itu aku adalah pengantin. Dia datang untuk membaca doa lalu menyerahkan secarik tulisan tangan, "mungkin saya adalah satu-satunya pria yang kehujanan sebelum diakad". Kalimat itu adalah mantra yang memadamkan kegelisahan.

Hari itu 6 tahun lalu, bersamaan dengan hujan yang rintiknya menyerupai biji jagung, Tuhan juga mengirimkan kebahagiaan. Kebahagiaan yang sangat berkah hingga detik ini pun rasa itu kian bertambah. Semoga Allah senantiasa melimpahi keluarga kami dengan kedamaian, cinta, kasih, dan kesabaran dalam menjalani setiap ujian. Amien.

27 November 2018