10 Februari 2015

Pengalaman Pertama: Berkenalan dengan Mikrofon

Dalam hidup kita membangun sebuah cerita. Ketika cerita itu berlalu ia berubah nama menjadi kenangan. Masing-masing kita memilikinya. Namun tidak semua kenangan dapat dibagikan. Ada yang menyimpannya dalam ingantan untuk dirinya sendiri, ada pula yang mengisahkannya lewat lisan atau tulisan. Hari ini aku ingin berbagi tentang pengalaman pertamaku berkenalan dengan mikrofon. Mengenai kesannya nanti, aku juga tidak tahu bagaimana. Yang pasti aku hanya ingin menceritakannya kembali kepadamu.  

Ramadhan dua ribu dua lalu aku sedang menikmati masa kanak-kanakku. Orang-orang desakku mengenalku sebagai anak perempuan yang berjiwa maskulin, gampangnya mereka menyebutku tomboy. Bukan karena kampungku melahirkan banyak anak laki-laki dan sedikit anak perempuan. Bukan. Tetapi entah mengapa rasa nyaman dengan gaya dan tingkah kelelakian sulit kutepis. Ditambah lagi teman-teman sepermainanku memiliki kemiripan denganku seperti, Beng Nu Jaim dan Bak Rofida Arifin. Kami sudah biasa memanjat pepohonan ketika pulang sekolah. Atau sesekali bersepeda ke bukit Pangelen. Masa-masa itu begitu jelas dalam ingatanku.

Ketika itu aku baru kelas tiga SD (Sekolah Dasar). Siang harinya aku belajar ilmu agama di MI (Madrasah Ibtidaiyah) Matla'ul Ulum. Anak-anak kampung masa dulu rata-rata bersekolah dua kali sehari. Jadi wajar saja jika aku begitu bergembira menyambut bulan puasa yang berarti aku akan menikmati liburan panjang. Ternyata tidak seperti yang kubayangkan. Untuk mengisi kekosongan siswa, guru-guru MI memanfaatkannya dengan mengadakan kegiatan pondok Ramadhan. Panitinya terdiri dari guru dan alumni yang berstatus santri.  

Para siswa bermalam di sekolah selama tiga hari untuk mengikuti kursus kilat bahasa Arab, Nahwu, dan pengajian kitab Dalilun Nisa'. Empat hari berikutnya diisi dengan acara lomba dan malam puncak. Salah satunya adalah karaoke cinta Rasul. Diberi nama cinta Rasul karena yang tengah populer saat itu adalah album Haddad Alwi dan Sulis yang bertajuk Cinta Rasul.  

Aku benar-benar ngeri dan sama sekali tidak berminat untuk mengikutinya. Aku lebih tertarik menyemarakkan lomba puisi, lari kelereng, atau sepeda pelan. Tetapi kakakku memaksaku untuk ikut. Sementara aku tetap bersikukuh untuk tidak ikut. Titik.  

Sifat keras kepalaku dilaporkan kakak kepada ibu. Ibu membujukku dengan berbagai hal. Aku tetap menolak. Tapi ayah tiba-tiba ikut-ikutan merayuku dengan iming-iming baju baru saat tampil. Ia berpesan kepadaku untuk membuang rasa malu dengan menganggap penonton seumpama bongkahan batu. Aku tersenyum. Betapa hatiku bermekaran saat membayangkan baju baru. Tak pedulikan apapun rintangannya. Akhirnya aku sepakat.  

Minggu pagi aku dibonceng ayah ke pasar Pakong, Pamekasan untuk memilih baju yang dijanjikannya. Ayah memilihkanku busana muslim atas bawahan berwarna hijau dengan motif Telettubies. Semakin bulat tekadku untuk berlomba saat hal yang kuincar telah resmi dalam genggaman.  

Kakak memilihkan lagu berjudul Ummi. Ia menuliskan liriknya untuk kuhafal. Aku begitu bersemangat untuk tampil. Diam-diam aku berlatih lebih giat dari yang kakak tahu. Bahkan kuhafal lirik lagunya sebelum tidur sampai terlelap. Entah apa yang kumimpikan setelahnya.  

Hingga tiba di hari inti. Rasa percaya diriku semakin mantap ketika menyaksikan yang lain tampil dengan bagus. Pastilah aku bisa tampil lebih baik dari mereka, batinku menyemangati. Sampai tiba giliran namaku dipanggil. Usai riuh tepuk tangan penonton, terjadi debaran yang begitu dahsyat di jantungku. Kulangkahkan kaki dengan wajah pucat dan kepala yang libung seperti orang mengalami tekanan darah rendah. Pikiranku gamang. Wajah ayah, ibu, kakak, dan teman-temanku membayang jelas dalam ingatan. batinku kembali berbisik; kamu pasti bisa!

Dengan sekujur tubuh yang terasa dingin, kuraih mikrofon di hadapanku. Penonton bertepuk tangan kembali. Aku semakin tidak bisa berkonsentrasi. Pikiranku ke mana-mana. Dan yang paling parah badanku seperti mengapung di antara langit dan bumi.

Ketika kuucapkan kata pertama ummi Tangan kiriku yang menggenggam mikrofon bergetar hebat. Sementara yang lain kuangkat tinggi seperti orang berdoa. Empat kali kuucapkan kata ummi, empat kali pula tangan dan suaraku saling berebut untuk gemetar. Sungguh aku sudah tidak tahan lagi saat penonton mulai menertawakanku. Tetapi tidak, aku tidak boleh turun. Aku berdiri dengan gerakan khas penari latar Sulis dalam video klipnya. Ya, aku berhasil menuntaskan lagunya. Usai mengucapkan salam kuturuni tangga panggung dengan pikiran dan perasaan yang berkecamuk. Kupikir tidak ada hal memalukan yang lebih besar dari pada itu.  

Sesampainya di rumah, kakak beserta orang tuaku tampak gembira. Mereka membesarkan hatiku dengan berkomentar bahwa penampilanku bagus. Aku tahu itu hanya gombal. Bahkan aku sendiri tidak selera mengungkit kejadian itu lagi.  

Kini keadaannya sudah berbeda. Pantasnya aku harus bangga saat mengingatnya: satu, karena tidak mengecewakan keluargaku. Dua, karena tidak meninggalkan panggung sebelum lagu selesai. Tiga, karena pengalaman itulah aku merasa terbiasa ketika berhadapan dengan mikrofon. Dan yang terakhir, aku merasa bangga karena bisa berbagi denganmu, dengan kemampuan menulisku yang kupikir sangatlah sederhana.  

Tambuko, 7 Februari 2015.  

3 komentar:

M. Faizi mengatakan...

muncul lagi, horai

Ummul Corn mengatakan...

Terima kasih, Ra... :D saya senang meski pengunjung setianya hanya satu orang. xixixii....

Unknown mengatakan...

Lanjut.....