20 April 2013

Menekuni Proses Menulis



Memasuki dunia kampus, rasanya seperti akan mengasah kereativitas menulis dan memperluas wawasan dengan koleksi bahan kepustakaan kampus yang melimpah. Nyatanya tidak demikian. Buktinya, dalam hal menulils saya lebih produktif pada masa SMA. Jika dalam seminggu di SMA saya menghasilkan minimal enam tulisan, di kampus malah menurun menjadi satu sampai dua tulisan. Itu pun kualitasnya saya rasa lebih berisi tulisan semasa SMA. Suatu penurunan drastis yang membuat saya bertanya “ada apa” kepada diri sendiri.
                Saya mencoba mencari jawaban untuk pertanyaan itu. Ternyata hal mendasar yang saya rasakan adalah penurunan semangat. Motivasi memang tidak muncul dari diri orang lain melainkan dalam diri kita sendiri, tetapi lingkungan juga menjadi senjata untuk mempengaruhinya. Dan memang, SMA 3 Annuqayahlah yang telah mendorong saya untuk bergiat dalam hal kepenulisan. Di sana ada banyak kawan yang menjadi lawan saya untuk bertarung dari berburu berita, menulis laporan kegiatan, menulis catatan harian, cerpen, puisi, dan jenis tulisan lainnya.
                Di antara kawan-kawan yang saya maksud itu adalah Nujaimah, Eka, Izul, Anisah, Sakinah, Khazinah, dan masih banyak yang lainnya. Tetapi kini, muncul pertanyaan susulan yang kedua, ketiga, keempat, dan selanjutnya: di mana tulisan mereka saat ini? Apakah mereka masih menulis tetapi saya tidak mengetahuinya karena kini kami berbeda kampus? Ataukah karena memang tidak dipublikasikan? Bahkan jangan-jangan mereka sudah tidak menulis lagi?
                Hanya mereka yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Saya hanya ingin menerka jawaban untuk pertanyaan yang terakhir yang lebih mirip dugaan. Hanya ingin mengira-ngira saja barangkali jawabannya sama dengan masalah yang kini tengah saya perangi. Tetapi saya berharap, tanpa memedulikan jurusan yang dipilih, semangat menulis harus terus dipupuk sehingga prosesnya tak pernah putus.
                Sebenarnya tak hanya lingkungan saja yang menjadi alasan. Ada beberapa hal lain yang juga menjadi faktor menurunnya semangat menulis saya di dunia kampus, yaitu tingkat kerajinan saya dalam membaca. Perpustakaan Madaris III Annuqayah banyak menyuguhkan bacaan meranarik yang membuat saya merasa rugi jika tidak mengunjunginya. Di perpustakaan yang pembenahannya dimulai pada tahun pelajaran 2006/2007 itu juga mempunyai banyak program yang unik dan menarik. Di antaranya, Klub Menerjemah untuk siswa dan santri yang gemar menerjemah (kini klub tersebut menghasilkan karya berjudul “Nasruddin si Cerdik”, Book Club yaitu kegiatan mendiskusikan buku-buku baru, Pembacaan Cerpen atau Fragmen Novel, Apresiasi Film setiap hari Jum’at untuk mengisi waktu libur siswa dan santri, dan ada pula BUCUR (buku curhat) untuk berbagi tentang buku menarik yang pernah dibaca dan mengajak teman-teman lain untuk juga membacanya.
                Kegiatan-kegiatan itu tak lagi saya temukan di dunia kampus sekalipun saya menjadi pengurus UKM Lembaga Pers Mahasiswa (LPM). Dalam lembaga yang saya geluti itu, saya dan kawan-kawan hanya sibuk dengan kegiatan monoton yang diwariskan pengurus senior. Pada semester VI kali ini saya sudah tak seaktif semester awal. Ada beberapa kesibukan lain di rumah yang membuat saya jarang berada di kantor Keluarga Besar Mahasiswa (KBM). Dan saya semakin merasakan betapa perjalanan kepenulisan saya terkatung-katung.
                Karena menyadari kini saya jarang menulis, maka beberapa hari yang lalu saya mencoba membuka weblog saya untuk membaca tulisan-tulisan lawas. Mula-mula saya merasakan manfaat proses kreatif saya semasa SMA, selanjutnya ketika seorang kawan berkomentar menanyakan perihal postingan baru, ada perasaan malu yang membuat saya bertanya-tanya, “jika dulu saya bisa menulis sedemikian tekunnya, mengapa kini setelah saya kuliah saya malah semakin nakal?”. Kini saya mendapatkan jawabannya, “jangan membuat bejibun alasan untuk tidak menulis. Di sekolah atau di kampus sama saja. Tergantung seberapa gigih diri ini memerangi kemalasan dan menekuni proses”. Selamat menulis!
               
               
               

19 April 2013

Sumpah Zakiyah



Zakiyah akhirnya dibawa ke Puskesmas setelah sebelumnya tiga dukun beranak tak sanggup menangani proses persalinannya. Ia dibonceng suaminya dengan motor tua berwarna hitam polos tanpa nama. Yang tampak di bagian bawah lampu depannya adalah tulisan Honda. Tangan perempuan berbadan buncit itu gemetar berusaha menguatkan pegangannya ke pundak suaminya. Bibirnya pucat pasi menggumamkan rintihan di sepanjang perjalanan.
                Usia kandungan Zakiyah sudah satu tahun lima bulan dua puluh tiga hari. Kejadian di luar kebiasaan itu mengundang buah bibir segar para panduduk kampung. Obrolah-orolah kecil mengenainya bisa dijumpai di warung-warung kopi,
“Sebernarnya Zakiyah itu mengandung anak apa sih?”
“Mungkin... karena keburu punya anak, trus si Sulaiman tak kunjung berhasil, akhirnya dia mau ngawinin istrinya sama setan. Hiiiiiii... ngeri!”
“Hus! Sembarangan kamu, Mad! Sulaiman itu orangnya takwa. Istrinya perempuan saleha yang rajin ngaji. Mana mungkin dia bersekutu dengan setan!”
“Mungkin saja... ketimbang salah satunya dibilang mandul, iya kan?!”
Atau kau bisa menguping perkumpulan ibu-ibu arisan,
“Ayo, Bu... dikocok lotrenya. Jangan sampai gak keluar-keluar kayak jabang bayinya si Zakiyah, lho... hehe.”
“Ah iya, kalau saya sih yakinnya tu jabang bayi kena kutukan.”
“Bukan, saya kurang sependapat dengan situ, Jeng. Bukan si jabang bayi yang kena kutuk, tapi keluarganya Zakiyah tujuh turunan kali...”
“Eh ya? Kalau saya mengira, tu jabang bayi sudah mati dalam kandungan sebelum lahir ke dunia hihihi.”
“Ai... Bu Enda ini bisa aja!”
Atau barang kali kau tengah berjalan-jalan santai melewati got jembatan tempat para remaja nongkrong. Kau bisa mendengar tebakan macam ini,
“Apa isi perutnya Zakiyah?”
“Di dalam perut ada perut-perutan.”
“Hahaha... ya bisa diterima.”
“Ayo, apa lagi.”
“Kenapa jabang bayi alias perut-perutannya gak mau keluar?”
“Karena dia gak mau hidup melarat. Hahay.”
“Bisa, bisa, bisa!”
Begitulah Zakiyah dan suaminya, Sulaiman, harus menerima gunjingan dari seluruh penjuru kampung. Tentulah nasib yang demikian seperti sebuah seretan paksa untuk masuk ke dalam jurang yang petang dan dalam. Sungguh sangat menyedihkan.
 Mereka hanya tinggal berdua saja, karena sejak menikah keduanya sepakat untuk berpisah dari mertua. Keputusan itu atas dasar kesepakatan berdua, meski sebelumnya Zakiyah benar-benar tak mau dinikahkan dengan Sulaiman. Tetapi akhirnya ia tahu bahwa Sulaimanlah yang terbaik bagi hidupnya. Bukti bahwa suaminya bertanggung jawab, kini, Sulaiman tidak mau tergantung pada mertuanya. Mayoritas, mereka yang tak mau berpisah dengan orang tua, masih banyak bergantung untuk sekedar mengepulkan asap tungku.    
Untuk itu, dengan segenap keberaniannya Sulaiman membawa Zakiyah pada kehidupan yang sama sekali baru. Mereka membangun rumah di desa Rembulan, tepat di kaki bukit Pangilen. Di bukit itu, mereka benar-benar mendapatkan kehidupan baru yang menyatu dengan alam. Zakiyah bisa merasakan angin fajar mengalir lewat rumput selutut membelai mukenahnya usai melaksanakan shalat subuh berjemaah. Begitu pun Sulaiman yang memandang kebahagiaan adalah memiliki perempuan shaleha.
Sampai akhirnya Tuhan menunjukkan jalan takdir kehidupan rumah tangga mereka yang tak disangka-sangka. Tuhan menganugerahi mereka calon anak yang tak kunjung lahir ke dunia. Itu tak membuat keduanya gentar dan berputus asa atas karunia Tuhan. Meski seluruh kampung kini menghangatkan pembicaraan dengan kejadian itu, tetapi Sulaiman justru meneguhkan hati Zakiyah dan terus mengajaknya berdo’a agar Tuhan memberi jalan keluar.
“Tuhan adalah sebaik-baiknya jalan keluar. Teguhlah! Kau pasti mampu, Dik,” kata Sulaiman ketika menemui Zakiyah tersedu sepulang dari mencuci beras di sumber. Sumber itu biasa digunakan sebagai tempat penduduk mandi dan mencuci. Anak-anak kecil biasa berenang, bermain air, dan menangkap udang di sana. Barang kali telah ada seseorang yang menyentuh perasaan terdalamnya.
Untunglah di saat-saat Zakiyah butuh orang banyak untuk menguatkannya, orang tua dan mertuanya berkunjung ke rumahnya. Karena mertuanya seorang peracik jamu tradisional, dia tak jarang mendapatkan buah tangan jamu khusus ibu hamil. Orang tuanya pun tak kalah perhatiannya. Zakiyah selalu dibelikan susu penunjang kesehatan ibu hamil dan vitamin bagi jabang bayinya. Tetapi kebaikan mertua dan orang tuanya itu justru semakin membuatnya bersalah karena tak kunjung menganugerahi mereka cucu yang lucu dan menggemaskan.
“Mas, ibu pasti sudah rindu menggendong bayi,” katanya lirih. Matanya berkaca-kaca menahan bendungan air yang tak kunjung mengalir. Gurat merah di mukanya seperti menahan kesedihan mendalam yang berkepanjangan.
“Sudahlah. Yakinlah saja, bila saatnya tiba, bayi kita akan lahir dengan wajah kombinasi bibir mungilmu dan mata tajamku. Hmm...” mendengar suaminya menggombal, Zakiyah tak dapat menahan tawanya. Air mata yang tadinya mau tumpah, kini mengalir bersama garis senyum yang mengembang di mukanya.  Betapa hidup tak kan indah bila tak diselingi dengan sesekali canda untuk mengisi spasi dari waktu ke waktu.
©©©
Bukan tak pernah ada tanda-tanda kelahiran. Suatu malam, saat manusia dan jagat raya terlelap dalam dunia masing-masing, Zakiyah mengeluh kesakitan kepada suaminya. Kala itu, kandungannya masih berusia delapan bulan dua puluh hari. Sulaiman terlonjak dari tempat tidurnya, memegang erat tangan istrinya, mengusap rambut panjangnya, dan sesekali mengecup keningnya. Ia menguatkan istrinya untuk bertahan sebelum berangkat menjemput dukun yang berjarak sekitar satu kilometer dari rumahnya. Mak Sumaryam namanya.
Mak Sumaryam sudah kesohor kecakapannya membantu perempuan melahirkan dengan sukses. Tak hanya dari desa Rembulan saja yang mengandalkan tenaganya, tetapi dari desa tetangga juga kerap kali berkunjung ke kediamannya atau menjemputnya dengan hormat.
Malam itu pun Sulaiman tergopoh memakai sarung dan kopyah. Ia segera memanaskan mesin motor bututnya yang setia menemani perjalanannya dari masih muda sampai hampir menjadi seorang ayah. Suara knalpot motornya yang cukup cempreng itu berhasil memecah malam yang senyap. Sepanjang perjalanan, mulut Sulaiman komat-kamit membaca do’a untuk istrinya. Ia berharap sepulangnya dari rumah Mak Sumaryam nanti istrinya tetap sehat dan mampu melahirkan anaknya dengan selamat.
Lelaki berpeci hitam yang hatinya cukup gemetar itu menekan rem sesampainya di halaman rumah Mak Sumaryam. Beranda rumah itu hanya memakai lampu dengan kapasitas lima watt. Sorot cahaya lampu itu mengarah pada bunga mawar merah yang berjejer rapi memagari rumahnya. Sehingga bias komposisi keduanya menggambarkan suasana rumah-rumah pada masa lalu.
Ragu, Sulaiman mengetuk pintu. Dalam hatinya terlintas perasaan tak enak bila menganggu tidur Mak Sumaryam. Tetapi bayangan istrinya yang menjerit kesakitan meyakinkan tangannya untuk mengetuk pintu dan memaggil salam.
“Siapa?” suara tua dengan nada gemetar menyahut dari dalam.
“Saya, Mak Su...  Saya Sulaiman. Suaminya Zakiyah.”
“Ah, yayaya...” sebentar kemudian, terdengar suara kaki menggeser sandal.
“Zakiyah mengeluh kesakitan, Mak. Saya khawatir dia sudah sampai waktu melahirkan.”
“Tunggu. Saya siap-siap dulu,” jawab perempuan lanjut usia yang rambutnya telah sempurna berwarna putih itu. Ia memang tak pernah banyak kalau berkata-kata. Hanya sepatah-sepatah. Tetapi jelas, nadanya tampak ramah dan membuat semua lawan bicaranya merasakan keseganan. Selain tersohor menjadi dukun, ia memang mewarisi garis keturunan darah biru dari seorang raja. Sehingga keluarganya menjadi tokoh masyarakat yang dihormati.
Di luar, Sulaiman telah menunggu dengan perasaan campur aduk antara cemas dan bahagia membayangkan anak pertamanya lahir ke dunia. Mak Su keluar dengan menggenggam kresek hitam berisi alat-alatnya. Ia memberi aba-aba pada Sulaiman bahwa dia telah siap meluncur.
Sesampainya di tempat,  Mak Su diantar ke kamar Zakiyah.  Sebagaimana umumnya para dukun melahirkan, ia juga menanyai terlebih dahulu rasa sakit apa, seperti apa, dan di bagian mana gerangan rasa sakit yang dirasakan perempuan hamil itu. Zakiyah menjawab tak jelas, membuat Mak Su sedikit kebingungan.
Mak Su memijat-mijat Zakiyah. Mulai dari betis sampai semua titik yang membuat tubuh perempuan itu lentur. Mak Su sampai menguap ngantuk, tetap tak ada tanda-tanda si bayi mau keluar. Sampai akhirnya pagi menggelar subuh pun Zakiyah malah semakin nyaman-nyaman saja kelihatannya. Dengan perasaan malu, Sulaiman berterima kasih dan lalu mengantar Mak Su pulang selepas shalat subuh.
Dan begitulah berulang kali kejadian serupa itu berlangsung. Mak Su sudah tiga kali dijemput secara dadakan. Sampai Sulaiman tak nyaman sendiri, sehingga ia diam-diam mengundang dua dukun lain yang juga bernasib tak jauh berbeda dengan Mak Su. Tak jadi membantu melahirkan melainkan hanya memijat-mijat saja. Sampai akhirnya tak ada dukun yang bersedia untuk membantu kelahiran Zakiyah karena semua orang kini tahu gosip terbaru mengenai perempuan yang tak kunjung melahirkan itu.
Itu membuat keluarga Zakiyah dan Sulaiman harus menanggung malu yang luar biasa. Terlebih bagi pasangan suami-istri yang umur pernikahannya masih dua tahun itu. Sulaiman akhirnya memutuskan untuk membawa istrinya ke Puskesmas saja kalau-kalau secara dadakan ia mengeluh sakit perut lagi. Rasa cemas yang tampak di wajah Sulaiman membuat istrinya merasakan was-was akan kondisi anaknya yang kini masih dalam rahimnya.
 Begitukah perasaan seorang ibu bila buah hatinya tak kunjung menyapa dengan tangis? Ah, siapa pun ibu, yang jelas ia telah berusaha melewati masa-masa antara hidup dan matinya. Ia yang bersedia berjuang dengan segenap jiwa raganya demi melahirkan seorang generasi di muka bumi.
©©©
Hingga benar-benar datang masa itu. Setelah kandungan Zakiyah sampai di usia satu tahun enam bulan, akhrinya Sulaiman yakin bahwa anaknya akan lahir. Zakiyah terus berusaha menguatkan pegangannya yang gemetar. Seperti tak ada daya untuk memegang perut suaminya. Lelaki dengan badan tinggi tegap yang menyetir motor dengan sebelah tangannya itu  juga berusaha memegangi lengan istrinya dengan tangan yang satunya. Sekilas mereka tampak seperti lambang kekuatan yang mengentaskan kerapuhan. Mungkin itu yang dimaksud nilai setia yang kerap diperbincangkan oleh banyak orang. Mungkin juga bukan. Mungkin saja.
Tetapi lihatlah! Betapa Sulaiman setia menjaga dan mengenggam tangan istrinya di ruang persalinan. Hanya itu yang mampu menambah kekuatan seorang perempuan dalam menghadapi masa yang demikian bahayanya. Dan Sualiman seperti tercipta untuk selalu mengerti.
 Ia memejamkan mata menunggu kelahiran buah hati pertamanya. Suasana tiba-tiba menjadi pekat dan senyap. Suara tik-tak jam, erangan seorang perempuan dan kalimat dukungan seorang bidan. Dalam diam dia mengingat masa lalu yang mengundang rasa takutnya semakin jelas membayang. Malam, mengapa tiba-tiba berubah menjadi sedemikin jahatnya saat perasaan Sulaiman begitu galau.
Ia teringat sumpah Zakiyah pada saat melamar untuk dijadikan tunangan. Mula-mula Zakiyah tak memberi keputusan. Tetapi keluarga Zakiyah sudah terlanjur menerima. Maka secara tegas namun sembunyi dari kedua orang tuanya, Zakiyah meberikan jawaban berupa selembar surat. Beginilah kira-kira isi surat itu:
“Saya bersumpah! Jika sampai saya menikah dengan anda, maka semoga bayi pertama saya tidak keluar dan sulit untuk dilahirkan. Maka jangan coba memaksa saya lagi untuk menikah dengan anda.”
Dengan segenap perasaan getir Sulaiman bedo’a semoga sumpah itu tak menjadi do’a yang dikabulkan. Ia berharap anak dan istrinya sama-sama selamat. Tiba-tiba kepalanya limbung dengan napas naik-turun. Seolah hanya ia yang merasakan kiamat kecil, malam itu. Sebab hanya dialah yang tahu dan terus mengingat tentang sumpah Zakiyah.