16 Mei 2011

Pertanyaan Ayah

Tak ada seorang pun di antara kita yang dapat memprediksi kapan kita akan mati. Karena maut adalah salah satu misteri yang akan selalu menjadi kejutan dalam hidup. Kejutan Tuhan sebagai bukti bahwa semua kita dan alam seisinya adalah materi yang hanya menunggu giliran untuk hancur lebur. Meski ada pula para sufi yang merasa bukan lagi materi karena telah mencapai jalan hakikat dan mampu untuk fana' fillah.

Kematian adalah satu titik proses perpisahan antara ruh dalam jasad dengan ruh-ruh lain yang masih melekat di tubuh makhluk hidup. Perpisahan itu begitu mengerikan bila membayangkan betapa takutnya tinggal sendirian di alam kubur. Tanpa orang tua, saudara, dan teman-teman yang biasanya mengahangatkan suasana sepi dalam kesendirian.

Kebersamaanlah yang sejatinya membuat kita tak pernah sadar bahwa kita selalu merasakan kesunyian. Bila kau tak percaya, cobalah renungkan perjalanan hidup yang merupakan bahasa kesendirian ini. Niscaya engkau akan sadar bahwa kita, sejak dulu telah terlatih menyendiri. Dalam rahim ibu kita sendiri, dalam kubur kita sendiri, dan nanti, di akhirat, kita akan meghadap Tuhan sendirian pula.

Dalam hidup mungkin kita merasa ramai, tetapi hari ini, jauh di kedalam hatiku, tiba-tiba aku merasa sepi. Kesepian yang kurasakan sendirian dan tak mampu kudefinisikan. Semacam perasaan getir yang tiba-tiba membuatku ingat kepada para leluhur yang telah wafat mendahuluiku.

Mereka (baca: para leluhur) yang tinggal di tempat antah-berantah telah membuatku berpikir bagaimana bila detik ini aku pun mati dan tak sempat berterima kasih kepada ayah dan ibu yang kasih sayang tulusnya senantiasa menyiramiku dengan penuh kesejukan, tak sempat berkata jujur tentang perasaanku kepada orang yang kucintai, tak sempat memohon maaf kepada mereka yang diam-diam mencintaiku dan tanpa sengaja aku menyakiti hatinya, tak sempat bertukar cerita tentang rahasia dengan sahabat-sahabat yang kusayangi, dan tak sempat bertaubat kepada Tuhan atas dosa-dosa yang semakin hari kian menggunung.

Mungkin aku melambung terlalu jauh, tetapi kalau pun tak mati detik ini, membayang tentang maut saja aku jadi berpikir tentang kejadian 50 tahun yang akan datang. Jika memang benar aku akan pulang ke rumah Tuhan dan jasadku akan dibungkus dengan kain kafan, lalu di tanah manakah jasadku ini akan dikebumikan? Di detik keberapakah ruhku akan melayang sebagai titik akhir menuju kepasrahan? Bila suatu saat nanti aku dibangkitkan kembali, masihkan aku bisa bertemu dengan orang-orang yang kusayangi?

Maut benar-benar menjadi suatu peristiwa yang harus selalu diingat, agar hati kita menjadi hangat dan bersemangat untuk terus beribadah demi membalas budi kepada Tuhan.
Ah! Aku jadi malu berbicara tentang ibadah, sebab aku adalah santri yang nakal beribadah. Shalat saja seperti capung mandi (hehehe… sering ketahuan). Betapa tak tahu berterima kasih diri ini kepada Tuhan yang telah mencurahkan segalanya secara cuma-cuma.

Qiraah dihidupkan dari mushalla Karang Jati putra melalui corongan TOA. Sejenak kemudian adzan subuh sayup-sayup terdengar dari kejauhan.


Aku masih sendiri. Sementara sebagian teman-teman masih ada yang baru bangun dari tidurnya. Lalu bergegas menuju kamar madi dengan membawa gayung berisi kotak sabun dan sikat yang telah diolesi pasta gigi. Ramailah kamar mandi oleh kecipuk air dan teriakan 'ganti' para santri. Ibu Nyai Thoyyibah melangkah dari barat dhalem menuju mushalla dan memandu para santri untuk berdzikir.

Aku masih sendiri. Terdiam untuk waktu yang panjang sembari memandangi puluhan santri yang beranjak menuju mushalla. Menyadari bahwa semua orang yang ada di sini tengah menabung amal untuk kemudian pergi bergiliran. Lalu aku teringat pertanyaan ayah saat aku hendak berangkat ke pesantren ini: "Ke mana akan kau bawa langkahmu, Nak?"

04:00 WIB
Menyusuri subuh, 08 Mei 2011