07 Agustus 2023

Sekumit Refleksi Hidup


Tidak ada hidup yang instan. Semua berjalan mengikuti arus perjuangan. Langkah macam apa yang kita ambil turut menentukan hasilnya di masa depan. Bemalas-malasan di masa kini, suatu kelak akan kerepotan. Sementara brepayah-payah saat ini, pasti santainya belakangan. 


Dulu, ketika ke mana-mana masih bermotor, secara getol saya berdoa kepada Tuhan untuk diberi rejeki kendaraan roda empat berpintu dua agar ketika pulang ke rumah mertua tidak kehujanan atau kepanasan. Karena dalam doa itu saya lupa menyebutkan merk Lamborghini atau Toyota Supra, Tuhan memberi kami mobil Carry keluaran tahun 2000 berwarna putih. Memang benar berpintu dua, namun jenis pickup. Dananya kami peroleh dari laba berdagang di laman jual beli hp online. Sebuah perjuangan yang tidak akan pernah kami lupakan.  


Aneka rasa dalam jual beli online kami cicipi di tahun pertama pernikahan. Menjajaki jalanan di bawah terik siang hari, atau kehujanan bersamaan dengan perasaan kecewa saat barang yang kami buru tidak sesuai harapan sudah kami alami. Ditipu sesama pedagang juga sering. Semua rentetan kejadian itu adalah proses panjang yang kemudian mengantarkan pada kehidupan kami saat ini.


Memang hidup ini tidak mudah. Ujian datang seperti perputaran siang dan malam tak ada habisnya. Yang perlu ditanamkan dalam mindset kita adalah Tuhan tak akan membiarkan kita terpuruk sepanjang tahun. Dia menyaksikan perjuangan umat manusia sembari menilai kinerjanya apakah layak naik jabatan atau malah menerima demosi. 


Dalam sebuah percakapan ringan dengan suami, saya pernah mengutarakan kegelisahan. Apakah nasib kita akan terus seperti ini? Menyambung hidup dari jalan ke jalan secara tak menentu? Jawaban suami singkat saja, bahwa suatu saat para pejuang sejati akan meraih kemenangan. Nalar saya yang dangkal hanya mengiyakan ucapannya tanpa pikir panjang. 


Pengalaman penuh tantangan mengasah saya menjadi pribadi yang lebih kuat. Sampai takdir membawa saya tinggal di rumah mertua. Membantu usaha pabrik tahu tempe yang dikelola keluarga di sana.


Hidup tiba-tiba menjadi mudah. Tiga tahun lamanya hanya menjalani aktivitas pabrik-dapur-kamar, saya nyaris tidak ke mana-mana. Tak ada kegiatan ilmiah apalagi liburan. Tetapi saat itu saya merasa nyaman dan menikmati momen di mana saya memiliki orang tua lengkap lagi, abah dan emak mertua yang menganggap saya sebagai anak kandungnya sendiri. 


Dengan penuh penerimaan, saya pun mempersembahkan pelayanan kepada abah selayaknya terhadap ayah sendiri. Waktu itu abah terserang penyakit asam lambung. Kami bawa beliau berobat ke mana-mana menggunakan pickup Carry putih milik suami. Bisa dibayangkan betapa sesaknya ruang yang hanya tersedia dua kursi memuat empat orang dewasa. Ditambah lagi tak ada AC, hanya dua bola kecil kipas angin yang dipasang di atas dashboard. 


Sepulang dari berobat, abah bertanya kepada suami tentang mobil yang layak untuk keluarga. Suami merasa heran, sebab abah adalah manusia nomor satu yang menampik membeli mobil, sejak dulu. Bukan tidak mampu, beliau memiliki alasan lain yang dirahasiakan. Pada akhirnya pertahanan beliau jebol disebabkan kebutuhan. 


Tahun 2018 Tuhan mengabulkan doa saya lagi untuk menikmati mobil keluarga lewat jalur mertua. Saya meyakini rejeki itu jalannya memang beragam, sebagai hamba yang beriman saya hanya patut mensyukurinya. Sebab saya pernah mendengar nasehat kawan tentang apa yang kita nikmati hari ini, itulah rejeki kita yang sebenarnya. 


Abah membeli Isuzu Panther LS tahun 2001 berwarna coklat muda metalik kepada orang Sumenep kota. Dibayar tunai dengan uang pecahan puluhan dan ribuan yang ketika dihitung lengket membuat penjualnya geli keheranan. Memang, beliau tidak suka menabung di bank. Beliau lebih suka menyimpan uangnya di rumah. Barangkali tempatya di dalam kain alas bantal, atau tempat-tempat yang sekiranya luput dari prediksi maling. 


Panther adalah pilihan yang tepat bagi kami. Dengan dana minim, sudah bisa menikmati mobil bertenaga besar, mudah dirawat, dan irit bahan bakar. Muatannya juga sangat cukup menampung 'orang sekampung'. Keseruannya terutama kami rasakan saat momen lebaran, silaturrahmi bisa beramai-ramai. 


Dari sekelumit cerita saya pribadi, ada refleksi yang menurut saya penting dibagikan. Bahwa berdoa untuk kepentingan diri sendiri, sudah kaprah sewajarnya sebagai hamba yang butuh pada Pencipta. Sedangkan berdoa untuk kepentingan orang banyak adalah kunci agar mudah dikabulkan. 


Dulu suami menginginkan kendaraan bermuatan besar memang untuk menampung sanak famili yang berkepentingan. Ketika dalam doa menyebutkan sebuah merk hanya untuk meingkatkan gaya hidup, Tuhan masih menunggu dan menguji. Seberapa layak menitipkan sesuatu yang diimpikan hambanya. 


Maka tak heran dengan mereka yang telah hidup dalam keberlimpahan. Barangkali ada rejeki banyak orang yang Tuhan titipkan lewatnya. Ia dinilai pantas atas karunia dunia. Sementara memantaskan diri menjadi seperti yang disenangi Tuhan adalah perkara yang sulit. Kata Andrea Hirata, Tuhan tahu, tapi menunggu. 


1 komentar:

Hafifatul Lismawati mengatakan...

MasyaAllah Tabarakallah mbk....