07 Desember 2022

Suami Edisi Terbatas




Cita-cita menjadi petani nyaris tidak pernah disebutkan dan didambakan oleh siswa. Sebab petani selalu identik dengan generasi tua, kolot, susah, dan masa depan suram. Begitu juga pandangan saya terhadap dunia pertanian. 


Sebelumya, saya mencoba menghentikan Suami untuk berpayah-payah merawat sawah peninggalan orang tua kami. Selain karena kami disibukkan dengan kegiatan berniaga, juga karena kakak dua pupu saya yang pengusaha memberi saran untuk meninggalkan pekerjaan bertani. Katanya agar kami fokus pada bisnis yang untungnya lebih besar. 


Sayangnya, ketika saya menyampaikan saran kakak, kami bertengkar hebat, karena suami saya memang tergolong manusia konservatif. Ia cenderung mempertahankan setiap tradisi yang diwariskan almarhum ayah mertua. Bahkan ia selalu mengingat wasiat beliau sebelum berpulang, kira-kira begini maksudnya, "Bertani adalah pekerjaan mulia. Sebab petanilah yang memproduksi dan menghasilkan pasokan makanan untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat."


Pemikiran pragmatis saya tumbang di hadapan prinsip suami. Ia sebenarnya kecewa karena saya mengaku orang lingkungan, yang paham bawah negara Indonesia adalah negara agraris, kaya akan bibit dan pangan lokal yang perlu dipertahankan. Tetapi saya justru tidak mendukung semangatnya menekuni aktivitas bertani. 




Sejak saat itu, saya belajar menerima kenyataan. Saya anak petani memang perlu meneruskan perjuangan orang tua kami. Bagaimanapun lelahnya; menabur pupuk, memperbaiki pematang yang jebol, menyiapkan makanan untuk pekerja, serta merelakan modal awal yang kadang tidak kembali utuh. Saya meyakini keberkahan mengalir dalam pekerjaan mulia ini. Dan hal terpenting di balik spirit bertani yang ditekuni suami adalah sebentuk tanggung jawab untuk memperjuangkan kebahagiaan kami. 

07 Desember 2022