31 Oktober 2020

Menghadapi Tantangan Jalan Raya

Dua pekan pasca insiden tabrakan, banyak yang mengira saya akan mengalami trauma bermotor. Komentar bermunculan terutama dari teman kantor saat pertama kali saya mencoba berkendara lagi. Kadang juga dari mereka yang kenal dan berpapasan di jalan. Lebih banyak lagi yang belum mendengar kabar dan bersimpati pada bekas luka di wajah dan gumpalan darah di mata sebelah kanan.


Tragedi kecelakaan waktu itu tak pernah saya bayangkan. Lagi pula siapa yang ingin celaka. Saya yakin tak ada. Tetapi takdir adalah kata akhir dari sebuah peristiwa baik atau buruk yang menimpa manusia. Maka saya mengimaninya.


Jumat sore pada 9 Oktober kemarin saya berpamitan pada suami untuk pulang ke Ambunten sendirian. Selepas saya mencium tangannya, ia mengayuh ontelnya ke arah barat menuju Tambuko dan saya dengan motor beat lewat jalur Saim. Kami berpisah di jalan Larangan, Ganding, depan swalayan Kancakona.


Kala itu suami mau menghadiri acara  kompolan shalawat nariyah perdana di rumah temannya di Pamekasan. Saya membujuk kepadanya agar mengizinkan pulang ke rumah mertua di Ambunten. Ucapannya mengambang di kata terserah yang mengisyaratkan saya boleh mengikuti kata hati. Dengan penuh kemantapan sata memilih pulang menemani Emak yang baru ditinggal Abah wafat.


Emak berpesan agar kami sering-sering pulang. Kami sepakat dalam empat puluh hari kalau tak ada halangan kami siap kalong Ganding-Ambunten. Berangkat pagi buat berniaga di konter dan sorenya pulang ke Tambaagung Ares.


Setiap kali berkendara saya selalu membaca doa dan berdzikir sepanjang jalan. Kadang-kadang membaca shalawat bariyah atau shalawat ibrahimiyah. Bukan berharap pujian saya mengungkapkan di sini, tetapi agar menjadi sebuah pelajaran dari peristiwa yang menimpa saya kala itu.


Kepasrahan acapkali timbul ketika kalimat dzikir saya ucapkan. Dalam hati ada keyakinan, Tuhan menolong hambanya yang melupakanNya, apalagi yang mengingatNya. Tuhan memberi keselamatan kepada hambaNya di jalan saat berkendara meski kebanyakan lupa berdoa, apalagi kepada yang meminta petolongan.


Maka dengan mulut terus merapal di balik masker merah, saya merasa aman. Tetapi perasaan takut karena hari sudah menjelang gelap memacu saya menaikkan kecepatan usai melewati jalan berkelok di bukit Saim. Kecepatan yang saya bilang wah itu hanya sampai di angka stabil 60-70. Di atas itu saya tak pernah berani.


Memasuki desa Campaka, saya menyalip truk. Jalan yang sempit menyulitkan saya mengendalikan setir. Bermodalkan nekad saya harus cepat melaju untuk menghindari rintangan di depan.


Selanjutnya Rajun menyambut saya dengan jalan yang rusak dan berlubang beberapa meter. Lepas itu jalan kembali mulus. Di depan saya lihat ada mobil L-300 warna hijau melaju dengan pelan. Di belakangnya dua motor dengan pengendara berboncengan juga memelankan kendaraannya. Saya berniat menyalip karena di depan aman. Kanan kiri juga tak ada jalan untuk berbelok.


Selayaknya orang akan menyalip, tentu saja kecepatan harus ditingkatkan. Begitu motor saya sejajar di samping mobil itu, secara tak terduga badannya berbelok ke kanan dan terjadilah benturan antara hidung motor saya dengan pipi si mobil. Badan saya terpelanting menyentuhkan wajah ke tanah lalu terseret panjang masih dengan wajah yang menopang tubuh. Saya tak ingat bagaimana kaki dan lengan saya dibenturkan sehingga tak dapat digerakkan. Tiba-tiba sudah banyak orang.


Orang-orang memagari saya yang bersimpuh penuh pikiran. Saya sendirian di tengah kumpulan orang yang tak saya kenal. Sempat ada yang berdebat tentang siapa yang salah. Pak sopir lawan saya bersumpah sudah sein kanan untuk berbelok ke halaman rumahnya. Sementara saya berujar tak jelas karena kesulitan bicara. Yang jelas saya mengaku bersalah karena tak melihat tanda lampu dan lambaian pak sopir. 


Saya kembali bungkam tak mampu bergerak. Beberapa pria menawari saya untuk dibopong. Saya bersikukuh tak mau disentuh. Ada yang menyodorkan tas. Lekas saya membukanya dan meraih ponsel. Orang pertama yang saya hubungi adalah suami. Dua kali penggilan tidak tersambung. Sempat saya mengeluh. Saya mencobanya lagi. Setelah terdengar sahutan dari seberang, saya sampaikan apa yang terjadi. Terdengar jawaban cemas dan beberapa pertanyaan tentang keadaan saya, lalu sambungan terputus.


Saya menunduk sebab dari mulut mengucur deras darah segar. Ada perempuan memberi segayung air untuk saya berkumur karena pasir di tempat saya terjatuh menempel di mulut dan seluruh wajah. Saya meraba gigi, syukurlah masih utuh.


Ketika mendongak saya melihat pria yang saya kenal. Tak salah lagi, itu Masyir, pelanggan tahu-tempe di pabrik milik mertua. Masyir adalah sosok yang ringan tangan. Karena kelincahan dan sikap hangatnya, ia kemudian dekat dengan keluarga kami. Hari ini Tuhan mengirimkan Masyir lagi sebagai hero saya.


Sempat tak percaya, bagaimana mungkin bisa ada Masyir di tempat yang saya tahu jauh dari rumahnya. Tapi tak penting itu semua. Saat ini dia mencoba menjelaskan kepada orang-orang tentang kedekatan kami dan dia membantu saya menelpon keluarga mertua.


Usai ketegangan mencair, dari kerumunan warga, saya mendengar bahwa hari itu adalah hari nahas tale telloh (tali tiga) Kamis-Jum'at-Sabtu. Menurut kepercayaan orang Madura, tale telloh adalah tiga hari nahas lelakon bumi mengaduk peristiwa sial. Saya hanya tahu kepercayaan itu ada, tapi tak tahu rumus kapan pastinya terjadi.


Dari percakapan warga pula saya mendengar bahwa pagi hari ada kejadian tabrakan juga di tempat itu. Korbannya gadis remaja. Tubuhnya hampir dilindas truk. Saya bergidik sembari mensyukuri kejadian yang saya alami tak separah itu.


Barangkali karena berkah shalawat yang saya baca hingga sial pun masih ada untungnya. Untung tidak jatuh ke aspalan yang akan membuat lukanya semakin parah. Untung tidak terbentur ke pohon kelapa dan batu karang di tempat kejadian. Untung tidak pingsan. Untung masih bisa bernafas untuk memikirkan betapa saya masih diberi kesempatan agar bisa memperbaiki diri.


Suami saya datang merangkul saya yang kotor sembari berujar maaf. Ia menatap saya nanar. Kakak menambah kehebohan dengan menangisi kondisi tubuh saya yang penuh luka. Sementara saya tak bisa berucap dalam kondisi mulut semakin bengkak.


Dalam hati saya berpasrah. Ini musibah yang tak mampu saya hindari. Ini adalah perjanjian ghaib antara saya dengan Tuhan jauh sebelum saya dilahirkan. Pastilah ada banyak hikmah di balik peristiwa yang menimpa. Maka saya hanya perlu sedikit merenung dengan membuang kata seandainya serta mengambil pelajaran untuk lebih waspada.