14 Agustus 2023

Lahir dari Rahim Pergerakan


Niat berkunjung ke rumah Ning An sudah lama saya agendakan. Seorang teman yang saya anggap guru karena segala apa yang terucapkan dari beliau selalu menggugah. Ya, beliau memiliki pengaruh luar biasa bagi teman-teman semasa kuliah, dan kini bagi lingkungan masyarakat di sekitarnya. 


Perjalanan kali ini saya menemani Devi dan Jalal, bayinya yang berusia 8 bulan dalam agenda serabutan. Tiba di Pamekasan pada pukul 07.12 WIB dengan mendapati jalanan sesak oleh penonton karnaval tujuhbelasan, kami memilih terus berjalan ke arah Teja melewati rute sebelah utara masjid agung Asy-Syuhada. Benar saja, perjalanan yang tak memiliki tujuan, akan membawa kita pada situasi kebingungan. 


Karena dari Teja tembus ke jembatan Gurem, saya ingat itu adalah jalan menuju rumah Ning An. Ditelponlah beliau dan ternyata sedang santai di rumah. Kami berbalik arah ke barat mengikuti panduan google maps. Menyusuri jalanan yang agak sedikit menantang bagi pengemudi yang baru belajar menyetir mobil. 

 
Hanya butuh 11 menit kami telah tiba di ALAS (Al-Amien Larangan Slampar), sebuah akronim unik untuk nama kediaman beliau. Letaknya berada di tengah sawah berbandar langit yang saya kira pengairannya dari hujan saja, tetapi dugaan saya keliru ketika terlihat tiga tandon besar di sudut halamannya. Tanah di sini ternyata subur. 


Lalu saya teringat postingan-postingan Ning An seputar kegiatannya mengajari anak-anak beliau menanam sayur di samping rumahnya. Ternyata itu bukan pencitraan di sosmed saja, melainkan memang nyata. Dasar pikiran saya yang penuh drama! 


Seperti biasa, beliau menyambut kami dengan senyum dan bahasa halus namun terkesan jenaka. Sebuah sapaan khas yang hanya dipahami bagi yang mengenalnya. Bagi saya, itulah magnet yang membuat saya tak sungkan mendiskusikan apa saja tentang kehidupan. 


Di tengah gempuran fashion, beliau konsisten dengan penampilan sederhana dan apa adanya. Wajahnya tidak pernah terlihat berdandan. Tubuh yang tinggi masih dengan BB stagnan membuat saya iri. Dan satu lagi ciri beliau yang menular, yaitu mencubit atau memukul halus lawan bicaranya. 


Kami dipersilakan duduk di ruang perpustakaan pribadi yang kemudian saya tahu bahwa ruangan itu dimanfaatkan untuk anak-anak masyarakat sekitar sana. Sementara orang tuanya mengikuti pengajian, anak-anak bisa membaca dengan leluasa. Literaturnya cukup lengkap, mulai dari genre sastra anak dan dewasa, kitab klasik, juga boarbook untuk balita. 


Ning Nur Hasanatul Hafshaniyah masih seperti yang saya kenal dulu; lahir dari rahim pergerakan dan terus tumbuh memperjuangkan masyarakat. Beberapa bulan terakhir beliau menghubungi saya dalam misi membangunkan kamar mandi untuk seorang nenek sebatang kara. Beliau menggalang dana secara mandiri dan mengurus seluruh perlengkapannya bersama sang suami. 


Saya hanya geleng-geleng menyaksikan pasangan di era ini yang empatinya di luar nalar. Mereka tidak sekedar membaca buku, melainkan situasi masyarakat di sekitarnya. Dan itulah memang hakikatnya manusia; bermanfaat bagi manusia lainnya. 


Siang itu kami pamit pulang dengan perasaan puas mengantongi obrolan padat berisi. Mulai dari krisis cara pandang masyarakat saat ini dalam menilai pernikahan, sampai urusan menjamurnya pabrik rokok di Madura. Apapun obrolannya, endingnya pasti beliau memaksa makan. 🤣

1 komentar:

kusik kusuma bangsa mengatakan...

neng an...sempat sekelas dg saya beberapa semester..sebelum akhirnya kami berpisah karena beliau pindah ke jogja...kerrong ongghu