24 Desember 2010

Mengenang Masa Kecil

10:02 WIB

Sejak kecil, aku selalu dipandang sebagai anak yang nakal. Banyak hal ceroboh yang kuperbuat menimbulkan masalah. Tak hanya bagi diriku sendiri tapi juga keluargaku.

Salah-satunya terjadi saat aku masih di Sekolah Dasar. Waktu itu, aku meminta pindah sekolah dari SDN Bragung III ke SDN Tambuko kepada ayah. Alasannya sederhana, karena Bragung bukan bukan desaku dan teman-temanku banyak di SDN Tambuko. Aku juga tidak tahu mengapa dulu aku disekolahakan di sana. Karena kasihan ayah mengabulkan pintaku. Aku merasa senang karena akan segera merasakan kelas baru dan teman-teman yang berbeda.

Ternyata rasa senagkutak berumur panjang. Bukan karena aku sulit beradaptasi, tapi karena di akhir tahun aku tidak naik dari kelas satu ke kelas dua. Ibu Endang, wali kelasku menyampaikan beberapa alasan mengapa aku sampai tak naik kelas. Kata beliau usiaku terlalu muda dan aku masih belum bisa membaca. Karena kesal, akhirnya kuputuskan untuk pindah sekolah lagi ke SDN Bragung III.

Dengan sabar ayah masih saja mengikuti keinginanku. Memohon maaf kepada ibu Endang dan segera mengurusi surat pindahku. Aku merasa puas karena akan segera menuju kelas dua, meski itu dilakukan secara paksa dan meminta keterangan naik kelas pada ibu Endang. Kala itu aku tak peduli.

Sampai di SDN Bragung III lagi aku merasa kecewa karena sekolah itu tak semaju tahun yang sebelumnya. Banyak kakak kelas yang sudah berhenti dan tidak meninggalkan kader untuk bertanding dalam lomba-lomba saat acara HUT 17 Agustusan yang diselenggarakan di kecamatan Guluk-Guluk. Aku merasa kesal meski bukan aku yang bertanding. Faktornya, temanku yang di SDN Tambuko mengejekku yang memilih pindah ke sekolah itu lagi. Saat itu juga aku berniat untuk pindah lagi kepada ayah.

Sesampainya di rumah, kusampaikan maksudku kepada ayah. Beliau benar-benar murka. Sebelumnya, tak pernah kutemui beliau dalam keadaan muka merah seperti kali itu. Ayah memelototiku dan berujar, “Silakan kau pindah dan urusi surat pindahmu sendiri!”

Aku mafhum atas sikap ayah yang akhirnya merasa kesal kepadaku. Berapa kali beliau harus mengurus raport dan suarat pindahku. Tentulah beliau juga malu pada seluruh dewan guru baik di SDN Tambuko maupun di SDN Bragung III. Sungguh aku telah menjadi anak durhaka atas sikap plin-planku kali itu.

Aku mencoba mengurusi surat pindahku sendiri, namun pihak sekolah meminta agar waliku yang mengahadap. Bukan aku. Aku memohon-mohon kepada ayah dan berjanji bahwa ini adalah cerita pindah sekolah yang terakhir. Aku sungguh tidak akan mengulanginya lagi. Memegang janjiku, ayahku mau.

Tuntaslah perkara pindah sekolah. Di tahun ketiga, yakni kelas tiga SD, kecerobohanku kembali menuai masalah.

Ada salah satu kawan sekelasku yang sangat menyebalkan. Namanya Horul. Kurasa dia adalah kawan yang congkak dan pengecut. Sifat angkuhnya kadang kala membuatku tergerak untuk memberinya sedikit pelajaran.

Pernah, dia memelototiku dengan aneh. Tatapan mengejek dicampur dengan senyuman kenes. Sungguh sikap memuakkan yang membuatku ingin muntah-muntah. Seketika itu juga aku menghampirinya lalu menamparnya sekuat tenaga. Entah keberanian dari gelas mana yang mendorongku melakukannya.

Aku sendiri selalu bangga saat merasa menjadi anak lelaki. Setelah besar, aku menyadari, mungkin kampungku yang banyak melahirkan anak lelaki dan sedikit anak perempuan telah berhasil mencetak jiwa maskulin dalam diriku. Dan itu kurasakan saat aku senang berteman dengan anak lelaki di sekolahku. Bahkan saat teman-teman perempuanku bermain lompat tali dan menari-nari, aku malah ikut bersepeda mendaki gunung dengan teman-teman lelakiku.

Baiklah! Kulanjutkan cerita pertarunganku. Meski Horul pengecut dan anak mama, ternyata dia cukup kuat. Ia mendorong badanku sampai oleng dan tertabrak bangku. Aku kehilangan kendali. Aku mengutuk-ngutuk dalam hati lalu berdiri dan menjambak rambutnya berulang kali. Ia menendang-nendang lututku. Kutinju kepalanya dan mencakar pipinya menggunakan kuku-kuku tanganku yang kebetulan panjang. Ia menatapku pasrah. Kukira dia sedang berpikir bagaimana dia harus membalasku dengan tindakan yang lebih ekstrim. Namun ia malah menangis sejadi-jadinya dan meneriakkan namaku sebagai sumber masalah.

Sungguh di luar dugaan. Tak kusangka ia akan melakukan serangan balik yang justru akan membuatku dipanggil ke kantor. Aku segera melesat pergi ke belakang sekolah untuk menyelamatkan diri.

Dua puluh langkah saja dari belakang sekolah, aku telah mendapati tempat persembunyian. Di sana ada kali berbentuk kolam berukuran 3x4 meter. Namanya Sempangan. Kali Sempangan merupakan tempat mandi dan mencuci ke dua setelah sumber Bukoh, sumber utama yang terletak di lereng bukit Pangilen. Kalau hari Ahad, hari libur sekolah, aku biasa ikut ibu ke kali Sempangan. Kurasa di sana adalah tempat yang aman untukku bersembunyi karena di dekatnya ada pematang yang ditumbuhi rerimbunan membentuk semak. Aku bersembunyi di sana sampai kira-kira pelajaran usai dan semua siswa pulang.

Sepulangnya, aku disambut dengan omelan ibu yang panjang kali lebar. Ibu bilang bahwa ibu Horul bertandag ke rumahku untuk mengataiku dan menasehati ibu agar mendidikku menjadi anak yang baik. Selain itu, ibu Horul juga meminta agar ibu memberiku pelajaran. Ia tidak terima atas luka-luka yang diderita anaknya akibat ulahku. Bayangkan saja, betapa murkanya ibu terhadapku kala itu. Aku tetap berdiri seraya menunduk saat ibu terus mewanti-wanti dan menunjuk-nunjuk mukaku dengan telunjuknya.

Saat omelan ibu berakhir, yakni sampai kakiku kesemutan, aku segera menuju kamar dan mengunci pintu. Aku tidak menangis. Tapi nyaris melakukannya. Bukan karena aku telah menyesal melakukan perkelahian itu, tapi karena kekecewaan ibu atas sikap buruk yang kuperbuat. Meski begitu, hal itu tak membuatku berhenti membuat ulah.

Banyak kekacauan lain yang kulakukan selain itu. Sampai akhirnya aku besar dan menyadari betapa kacaunya sikapku di masa kecil. Aku tersenyum mengenang masa-masa kecilku yang sungguh menggelikan itu. Sekarang pun aku sendiri belum mengerti apakah aku telah dewasa atau belum. Tapi aku hanya ingin membuktikan kepada ayah dan ibu bahwa aku telah berubah.



Gubuk Cerita, 01 Desember 2010

02 Desember 2010

Catatan II

14:51 WIB.

Semua bayi terlahir dengan semangat. Tangis pertama pemecah keheningan, gerak enerjik lambangkan manusia dinamis, kerling mata yang cerdas, juga tawa yang dapat sejukkan jiwa-jiwa. Ke mana susutnya semangat itu saat kita beranjak dewasa? Mungkinkan ia tengah bersembunyi di sebuah tempat antah-berantah? Dan mungkin hanya kita yang dapat menemukan dan merangkulnya kembali.

Sejak kecil, aku selalu berusaha untuk membuat ayah dan ibuku tersenyum, meskipun kali itu, aku masih belum mengerti bagaimana caranya. Terkadang cara-cara yang kupraktikkan keliru dan kecerobohan alamiahku membuat kedua orang tuaku kecewa.

Suatu saat akan kuceritakan kepadamu tentang masa kecilku itu. Namun sekarang aku hanya ingin membahas tentang semangat. Itu saja.

Sampai di Sekolah Menengah Pertama, aku selalu berusaha dan berjuang untuk mengukir senyum di bibir ayah dan ibu. Usaha yang kulakukan kian hari kian kutingkatkan. Meski tak berhasil membuat mereka bangga, setidaknya aku bisa mencegah agar mereka tidak kecewa terhadap tindak-tanduk yang kulakukan. Begitulah caraku selalu menyibukkan diri untuk menegakkan eksistensiku sebagai manusia. Agar keberadaanku diakui oleh orang-orang di sekitarku.

Memasuki tingkat Sekolah Menengah Atas, semangatku kian membuncah. Niatku menjadi bercabang. Tak hanya ingin membuat kedua orang tuaku bangga, tapi juga sekolah. Mungkin ini disebabkan aku semakin mempunyai rasa kepemilikan pada Madaris III Annuqayah, lembaga tempatku mengais ilmu dan belajar tentang kehidupan.

Puncaknya adalah kelas XI SMA. Waktu itu aku benar-benar merasa sesaudara dengan teman-teman kelasku. Kami selalu kompak dalam segala hal. Termasuk menjadi polor dalam beberapa kegiatan di sekolah kami. Sungguh tak dapat kubahasakan bagaimana merahnya semangat mereka. Cukup engkau tahu saja bahwa kami benar-benar terbakar semangat nasionalisme sampai gosong!

Namun kini, aku kebingungan mencari mozaik-mozaik semangatku yang raib entah ke mana. Sejak memasuki Perguruan Tingngi, aku menjadi berubah drastis. Kurasa hal-hal yang kulakukan tak sehebat dulu. Aku mengalami kemerosotan yang luar biasa. Aku menjadi mahasiswa yang mengecewakan bagi diriku sendiri.

Aku merasa malu akan satya yang kutetiakkan dengan kawan-kawan di masa SMA dulu; menanamkan jiwa agent of change. Ternyata hal itu hanyalah bualan yang omong kosong.

Impianku menjadi aktifis kampus kian hari tambah memudar. Salah satu faktornya, aku mendengar selentingan bahwa KBM di kampusku menggunakan sistem munarkhi absolut. Menurut sebagian kakak tingkat, aku tidak boleh terlalu berharap untuk berkecimpung di dunia organisasi kampus, karena jika bukan dari daerah pondok tertentu (yang maaf, tidak dapat kusebutkan) di Annuqayah, maka tidak akan direkrut dalam kepengurusan KBM.

Setidaknya, kini, aku harus menjadi mahasiswa yang aktif di kelas saja. Selain itu, aku tidak bisa lagi membayangkan bagaimana aku harus menjadi mahasiswa yang tak berguna. Sungguh mengerikan!


Gubuk Cerita, 02 Desember 2010.