21 November 2017

Mata Alternatif Melihat Dunia

Memasuki tahun keempat usia pernikahan dan belum jua dikarunia keturunan bukanlah masalah yang mudah dihadapi. Masalah intern mungkin memang belum pernah terjadi, tetapi serangan dari luar jangan ditanya. Pertanyaan-pertanyaan pedas dengan level bervariasi sudah terlontar berulang kali, menjadi makanan sehari-hari.

Selain benteng mental yang kuat, kreativitas jawaban sangat berperan penting dalam hal itu. Namun yang lebih utama di balik semuanya adalah kesadaran dan intensitas hubungan dengan Tuhan. Dan betapapun ganasnya serangan atau kuatnya dukungan positif dari luar tak ada yang lebih berpengaruh selain komitmen keluarga.
Dalam kasus ini, beberapa pekan terakhir, saya disadarkan dengan kematian sahabat selepas proses persalinannya. Ia menemani dan menuntun proses belajar saya dalam dunia literasi di kampus. Bahkan setelah sama-sama berkeluarga kami tak pernah kehilangan kontak. Masalah yang sama seperti menunggu kehamilan semakin mempersering komunikasi kami. Berbagai tips saling kami bagikan. Kami saling menguatkan satu sama lain. Tentu saja itu adalah modal yang cukup untuk bertahan ketika harus menerima kenyataan bahwa kawan seumuran kita telah dikarunia dua sampai tiga anak dalam selisih waktu yang susul-menyusul.

Kami sempat tertawa-tawa ketika menyadari kehamilan bukanlah lomba. Jumlah anak juga bukan jaminan kita mendapat predikat istimewa dari Sang Pencipta. Dalam ayat suci pun telah dijelaskan bahwa anak adalah bagian dari perhiasan dunia. Kita akan mati membawa amal kita sendiri.
Kenyataan bahwa kini sahabat tempat saya berbagi itu kini telah pergi, membuat saya terpukul begitu dalam. Jujur saja, di malam kematiannya saya tak nyenyak tidur memikirkan singkatnya waktu  dan masa indah kemarin yang baru saja kami lalui. Begitulah maut yang tak pandang usia dan tak bisa ditunda-tunda.

Setelah luka yang dalam itu saya mengais banyak pelajaran berharga. Mata saya mulai melihat dunia dengan cara yang berbeda. Seperti memperoleh mata alternatif yang menawarkan berbagai arah dan jalan yang tidak selalu sama. Hati dan pikiran saya terketuk untuk berpikir dan menyadari bahwa di balik segala harapan ada Tuhan. Bagaimana pun jalan cerita hidup yang kita lalui saat ini adalah karunia terbaik. Dia lebih tahu dalam mengatur waktu yang tepat dan akhir yang baik. Segala yang kita miliki hari ini hanyalah titipan. Kita sendiri pun tak tahu kapan jasad dan ruh akan terbelah.

(Dimuat di www.voila.id)

Hari Raya dan Godaan Berbelanja

Guru saya, M. Mushthafa, berdiri di atas podium menyampaikan tausiah lingkungan dalam acara perayaan hari jadi Pemulung Sampah Gaul (PSG) SMA 3 Annuqayah, bulan April lalu. Beliau berbicara panjang tentang bagaimana mengubah pola konsumsi demi selamatkan lingkungan. Terutama kepada orang-orang yang mengaku pecinta lingkungan.

Tausiah dibuka dengan cerita-cerita ringan. Salah satunya diolah dari tulisan seorang ahli biologi dan pakar lingkungan bernama Garret Hardin dalam bukunya yang berjudul The Tragedy of the Commons, 1968. Tak hanya dari buku, beliau juga menyampaikan cerita kitab Risalah al-Qusyairiah yang dikutip oleh Imam Ghazali dalam Ihya Ulumuddin. Cerita-cerita inilah yang membuat saya tertarik untuk membahasnya kembali melalui kasus serupa dalam kehidupan nyata kita.

Dalam Ihya Ulumuddin, al-Ghazali membahas seorang sufi bernama As-Sari as-Saqati yang mengaku telah menahan diri tidak memakan roti selai selama empat puluh tahun. As-Sari tidak pernah tergoda meski roti yang diinginkannya justru selalu ada di sekitarnya. Inilah gambaran ulama yang mampu mengendalikan diri untuk tidak mengkonsumsi sesuatu yang nikmat walau itu halal.
Mari kita ke pasar dalam minggu-minggu terakhir bulan Ramadan. Maka Anda akan menyaksikan pemandangan tawaf tak beraturan dengan jamaah beragam jenis, mulai dari tukang parkir, pencopet, jambret, pengemis, pedagang jujur sampai yang menipu, juga pembeli sejati atau sekedar bertanya-tanya sembari memantaskan diri. Segala ragam manusia ini sama-sama bertujuan meraih kemenangan. Kemenangan dalam versi yang diciptakan kepala sendiri.

Hari raya memang selalu identik dengan belanja. Selain kebutuhan dapur, belanja pakaian juga menjadi yang utama. Kue-kue dan aneka makanan berat disiapkan menyambut kedatangan famili. Euforia hari kemenangan yang berada di depan mata selalu tak lepas dari gaya belanja membahana. 

Bagaimana jika as-Sari hidup di zaman ini? Atau seseorang yang mengaguminya meneladani perilakunya dengan bertahan di tengah arus konsumsi gila-gilaan? Misalnya tidak membeli pakaian selama sepuluh tahun? Sementara godaan untuk tidak berperilaku konsumtif semakin hari semakin sulit. Serbuan iklan, godaan teman-teman, dan rayuan macam-macam kanan kiri dapat membangkitkan naluri kemanusiaan kita untuk juga mengikuti tren masa kini. Apalagi kian hari kita kian sejahtera. Uang kita semakin cukup bahkan lebih untuk bisa memanjakan nafsu untuk konsumsi. Ini seolah membenarkan penelitian bahwa orang-orang membuka situs belanja di internet sekitar 20 menit setiap hari. Lalu apa masalahnya?

Contoh as-Sari dalam Ihya Ulumuddin sebenarnya adalah untuk menggambarkan bahwa at-tana'um bil halal (bernikmat-nikmat dengan yang halal) sebenarnya merupakan sesuatu yang berbahaya. Jika digambarkan dalam era ini, maka sudut pandangnya akan mendorong kita pada perilaku konsumtif yang berlebihan yang akhirnya akan membuat masa depan generasi kita semakin terancam. Sampah rumah tangga membeludak, sampah industri pun tak terbendung.

Saya tak mau menafikan diri bahwa saya juga belum mampu meneladani as-Sari. Di tengah terpaan rayuan pelapak, hati saya juga terdorong untuk berbelanja. Namun bila boleh jujur, saya membeli pakaian satu kali selama setahun, hanya ketika lebaran. Jika kita bersama-sama melawan ganasnya godaan belanja di hari raya mungkin kita akan mampu menyederhanakan situasi. Sebab serangan yang dihadapi bersama akan terasa ringan dan hasilnya adalah kemenangan yang hakiki.

(Dimuat di www.voila.id)