16 Agustus 2023

Dialog Cucian


Apa kabar kalian yang menumpuk di keranjang cucian? Jamur tumbuh memutih di antara lipatan kerah dan saku. Beberapa telah melegam menjadi sarang kutu. 


Besok aku masih sibuk. Lusa juga penuh agenda. Menjamahmu menjadi hal langka akhir-akhir ini. Sementara di kepala ada target baru tayangan lini masa yang terus menghantui. 


Para produsen berlomba menampilkan keculasan lewat model menarik dan lagu-lagu candu. Pantas saja perempuan ingin tampil seperti itu. Seperti selebgram yang jelas tak akan pernah sama bila dikenakan sendiri. Sumpah... Tidak akan pernah sama. 


Baju lama penuh kenangan merasa sayang untuk dibagikan. Baju baru calon kesayangan tidak akan pernah sudi dipinjamkan. Semua menumpuk saling tindih di dalam lemari. Menawarkan diri setiap hari. Pilih aku... Pakai aku... Hargai aku... 


Kalap namanya di antara deratan yang belum terpakai masih rapi bersama tag dan kancing cadangan. Terus dan terus saja tergoda iklan yang lewat tak ada habisnya. Itulah aku atau kamu atau dia atau siapa saja yang belum mendengar kabar bahwa di luar sana minimalisme telah dikumandangkan. 


Apa kabar kamu yang telah mendekam lama di dalam ember hitam? Aku sudah mengantuk. Tak ada lagi diksi yang bisa aku tuliskan. Sampai jumpa di kamar mandi. Jangan menangis lagi. Doakan saja bulan ini aku tak menambah calon limbah. 


14 Agustus 2023

Lahir dari Rahim Pergerakan


Niat berkunjung ke rumah Ning An sudah lama saya agendakan. Seorang teman yang saya anggap guru karena segala apa yang terucapkan dari beliau selalu menggugah. Ya, beliau memiliki pengaruh luar biasa bagi teman-teman semasa kuliah, dan kini bagi lingkungan masyarakat di sekitarnya. 


Perjalanan kali ini saya menemani Devi dan Jalal, bayinya yang berusia 8 bulan dalam agenda serabutan. Tiba di Pamekasan pada pukul 07.12 WIB dengan mendapati jalanan sesak oleh penonton karnaval tujuhbelasan, kami memilih terus berjalan ke arah Teja melewati rute sebelah utara masjid agung Asy-Syuhada. Benar saja, perjalanan yang tak memiliki tujuan, akan membawa kita pada situasi kebingungan. 


Karena dari Teja tembus ke jembatan Gurem, saya ingat itu adalah jalan menuju rumah Ning An. Ditelponlah beliau dan ternyata sedang santai di rumah. Kami berbalik arah ke barat mengikuti panduan google maps. Menyusuri jalanan yang agak sedikit menantang bagi pengemudi yang baru belajar menyetir mobil. 

 
Hanya butuh 11 menit kami telah tiba di ALAS (Al-Amien Larangan Slampar), sebuah akronim unik untuk nama kediaman beliau. Letaknya berada di tengah sawah berbandar langit yang saya kira pengairannya dari hujan saja, tetapi dugaan saya keliru ketika terlihat tiga tandon besar di sudut halamannya. Tanah di sini ternyata subur. 


Lalu saya teringat postingan-postingan Ning An seputar kegiatannya mengajari anak-anak beliau menanam sayur di samping rumahnya. Ternyata itu bukan pencitraan di sosmed saja, melainkan memang nyata. Dasar pikiran saya yang penuh drama! 


Seperti biasa, beliau menyambut kami dengan senyum dan bahasa halus namun terkesan jenaka. Sebuah sapaan khas yang hanya dipahami bagi yang mengenalnya. Bagi saya, itulah magnet yang membuat saya tak sungkan mendiskusikan apa saja tentang kehidupan. 


Di tengah gempuran fashion, beliau konsisten dengan penampilan sederhana dan apa adanya. Wajahnya tidak pernah terlihat berdandan. Tubuh yang tinggi masih dengan BB stagnan membuat saya iri. Dan satu lagi ciri beliau yang menular, yaitu mencubit atau memukul halus lawan bicaranya. 


Kami dipersilakan duduk di ruang perpustakaan pribadi yang kemudian saya tahu bahwa ruangan itu dimanfaatkan untuk anak-anak masyarakat sekitar sana. Sementara orang tuanya mengikuti pengajian, anak-anak bisa membaca dengan leluasa. Literaturnya cukup lengkap, mulai dari genre sastra anak dan dewasa, kitab klasik, juga boarbook untuk balita. 


Ning Nur Hasanatul Hafshaniyah masih seperti yang saya kenal dulu; lahir dari rahim pergerakan dan terus tumbuh memperjuangkan masyarakat. Beberapa bulan terakhir beliau menghubungi saya dalam misi membangunkan kamar mandi untuk seorang nenek sebatang kara. Beliau menggalang dana secara mandiri dan mengurus seluruh perlengkapannya bersama sang suami. 


Saya hanya geleng-geleng menyaksikan pasangan di era ini yang empatinya di luar nalar. Mereka tidak sekedar membaca buku, melainkan situasi masyarakat di sekitarnya. Dan itulah memang hakikatnya manusia; bermanfaat bagi manusia lainnya. 


Siang itu kami pamit pulang dengan perasaan puas mengantongi obrolan padat berisi. Mulai dari krisis cara pandang masyarakat saat ini dalam menilai pernikahan, sampai urusan menjamurnya pabrik rokok di Madura. Apapun obrolannya, endingnya pasti beliau memaksa makan. 🤣

07 Agustus 2023

Level Cak Isni


Siang itu, tiga tahun yang lalu, suami mengantar saya terapi ke Pak Enos di Bragung, Guluk-Guluk, Sumenep. Beliau adalah praktisi pijat refleksi di bagian kaki. Tidak hanya mengobati fisik, tetapi juga mental dan pola pikir melalui sugesti serta tausiah yang beliau sampaikan pada setiap pasiennya. 


Gaya Pak Enos yang demikian mengingatkan saya pada Patch Adam, seorang dokter pendiri Gesundheit Institute berasal dari Washington yang mengobati melalui humor, curhat, dan konseling. Saya lalu berpikir, andai setiap tenaga kesehatan punya sedikit waktu untuk mendengarkan sekelumit persoalan yang berkaitan dengan kesehatan pasiennya, tentu saja proses pengobatan tidak akan berjalan kaku seperti yang sering kita jumpai. 


Yang paling marak biasanya menjelang proses persalinan. Dokter spesialis kandungan di kota tertentu di Madura misalanya, sering kali menyikapi persalinan sebagai proses sepele. Biasanya memutuskan perkara tanpa peduli bagaimana kondisi yang sebenarnya. 


Contoh kasusnya terjadi pada teman saya. Diagnosa dokter malaporkan ketuban pecah dan menyarankan operasi caesar. Suaminya bersikeras tidak setuju karena memang berasal dari keluarga tidak mampu. Akhirnya diboyonglah sang istri. Ketika dibawa ke dokter lain di kota asalnya, ternyata air ketuban masih 90% utuh serta peluang lahir normal sangat besar. Dan banyak kasus janggal lain seputar persalinan yang seperti didorong untuk menjalani proses sesuai kehendak dokter, dengan segala kongkalikong di dalamnya. 


Dalam kasus persalinan, Pak Enos juga banyak membantu perempuan untuk berjuang lahir normal. Beliau tidak menyentuh bagian perut, melainkan hanya kaki. Beliau mengibaratkan tas yang hendak saya ambil di kursinya waktu itu. Katanya tak perlu menyentuh tasnya langsung, menyeret tali panjangnya sudah bisa menarik tasnya sekaligus. 


Hanya dengan menyentuh beberapa titik di kaki saya pada awal mula menjalani terapi, beliau sudah banyak menjabarkan detail problematika kehidupan saya. Mulai dari kondisi rahim sampai mental dan kepribadian saya. Saya percaya, karena apa yang beliau sampaikan berkenaan dengan kondisi rahim kurang lebih sama seperti hasil USG ke dokter Wongso Suhendro kala itu. 


Beberapa kebenaran mengenai kondisi hidup saya beliau baca secara gamblang. Salah satunya keruwetan hidup yang tak mau mengenal kata santai. Memang saya akui setiap kali akan menjalankan aktivitas, selalu saya pikirkan jauh sebelumnya, sekecil apapun itu. Jika ada undangan pada pukul 12 siang biasanya saya pikirkan 6 jam sebelumnya. Sama persis seperti kalimat yang disampaikan Pak Enos. 


Namun begitu, beliau bukan dukun tukang ramal. Dugaan saya, beliau pernah mengenyam pendidikan psikologi atau sesuatu yang berkaitan dengan itu sehingga tebakan-tebakan beliau untuk pasiennya hampir selalu benar. Sama seperti cerita Nyai Fairuzah ketika merekomendasikan beliau kepada saya. 


Pak Enos memandang suami yang duduk di samping saya. Beliau lalu tersenyum ke arah saya sambil berujar, "Bisa tidak Anda meniru sedikiiit saja, ketenangan seperti Mas Habibi?" Kalimat tanya retoris itu masih saya paksa jawab. Namun sanggahan demi sanggahan yang saya ucapkan rupanya semakin menunjukkan bahwa saya gegabah, bandel, dan susah mengindahkan omongan orang. 


Saya akui, ternyata memang belum mengenal suami sepenuhnya. Sisi agung tentangnya seperti disampaikan Pak Enos malah mengejutkan saya. Karakter suami yang jarang bicara dan jarang memberi perintah, saya anggap itu sekedar kebiasaan baik saja. Ternyata levelnya di atas itu. Pantasnya dia berkata, "Killing Spree!" kepada saya. 


Oke, saya setop di sini saja pembahasan tentang Cak Isni. Apapun kepribadian yang dia miliki, akan terus saya pelajari. Karena kami hanyalah dua orang dewasa yang terus belajar saling memahami. Doakan kami menjadi pasangan yang Allah ridai.


Sekumit Refleksi Hidup


Tidak ada hidup yang instan. Semua berjalan mengikuti arus perjuangan. Langkah macam apa yang kita ambil turut menentukan hasilnya di masa depan. Bemalas-malasan di masa kini, suatu kelak akan kerepotan. Sementara brepayah-payah saat ini, pasti santainya belakangan. 


Dulu, ketika ke mana-mana masih bermotor, secara getol saya berdoa kepada Tuhan untuk diberi rejeki kendaraan roda empat berpintu dua agar ketika pulang ke rumah mertua tidak kehujanan atau kepanasan. Karena dalam doa itu saya lupa menyebutkan merk Lamborghini atau Toyota Supra, Tuhan memberi kami mobil Carry keluaran tahun 2000 berwarna putih. Memang benar berpintu dua, namun jenis pickup. Dananya kami peroleh dari laba berdagang di laman jual beli hp online. Sebuah perjuangan yang tidak akan pernah kami lupakan.  


Aneka rasa dalam jual beli online kami cicipi di tahun pertama pernikahan. Menjajaki jalanan di bawah terik siang hari, atau kehujanan bersamaan dengan perasaan kecewa saat barang yang kami buru tidak sesuai harapan sudah kami alami. Ditipu sesama pedagang juga sering. Semua rentetan kejadian itu adalah proses panjang yang kemudian mengantarkan pada kehidupan kami saat ini.


Memang hidup ini tidak mudah. Ujian datang seperti perputaran siang dan malam tak ada habisnya. Yang perlu ditanamkan dalam mindset kita adalah Tuhan tak akan membiarkan kita terpuruk sepanjang tahun. Dia menyaksikan perjuangan umat manusia sembari menilai kinerjanya apakah layak naik jabatan atau malah menerima demosi. 


Dalam sebuah percakapan ringan dengan suami, saya pernah mengutarakan kegelisahan. Apakah nasib kita akan terus seperti ini? Menyambung hidup dari jalan ke jalan secara tak menentu? Jawaban suami singkat saja, bahwa suatu saat para pejuang sejati akan meraih kemenangan. Nalar saya yang dangkal hanya mengiyakan ucapannya tanpa pikir panjang. 


Pengalaman penuh tantangan mengasah saya menjadi pribadi yang lebih kuat. Sampai takdir membawa saya tinggal di rumah mertua. Membantu usaha pabrik tahu tempe yang dikelola keluarga di sana.


Hidup tiba-tiba menjadi mudah. Tiga tahun lamanya hanya menjalani aktivitas pabrik-dapur-kamar, saya nyaris tidak ke mana-mana. Tak ada kegiatan ilmiah apalagi liburan. Tetapi saat itu saya merasa nyaman dan menikmati momen di mana saya memiliki orang tua lengkap lagi, abah dan emak mertua yang menganggap saya sebagai anak kandungnya sendiri. 


Dengan penuh penerimaan, saya pun mempersembahkan pelayanan kepada abah selayaknya terhadap ayah sendiri. Waktu itu abah terserang penyakit asam lambung. Kami bawa beliau berobat ke mana-mana menggunakan pickup Carry putih milik suami. Bisa dibayangkan betapa sesaknya ruang yang hanya tersedia dua kursi memuat empat orang dewasa. Ditambah lagi tak ada AC, hanya dua bola kecil kipas angin yang dipasang di atas dashboard. 


Sepulang dari berobat, abah bertanya kepada suami tentang mobil yang layak untuk keluarga. Suami merasa heran, sebab abah adalah manusia nomor satu yang menampik membeli mobil, sejak dulu. Bukan tidak mampu, beliau memiliki alasan lain yang dirahasiakan. Pada akhirnya pertahanan beliau jebol disebabkan kebutuhan. 


Tahun 2018 Tuhan mengabulkan doa saya lagi untuk menikmati mobil keluarga lewat jalur mertua. Saya meyakini rejeki itu jalannya memang beragam, sebagai hamba yang beriman saya hanya patut mensyukurinya. Sebab saya pernah mendengar nasehat kawan tentang apa yang kita nikmati hari ini, itulah rejeki kita yang sebenarnya. 


Abah membeli Isuzu Panther LS tahun 2001 berwarna coklat muda metalik kepada orang Sumenep kota. Dibayar tunai dengan uang pecahan puluhan dan ribuan yang ketika dihitung lengket membuat penjualnya geli keheranan. Memang, beliau tidak suka menabung di bank. Beliau lebih suka menyimpan uangnya di rumah. Barangkali tempatya di dalam kain alas bantal, atau tempat-tempat yang sekiranya luput dari prediksi maling. 


Panther adalah pilihan yang tepat bagi kami. Dengan dana minim, sudah bisa menikmati mobil bertenaga besar, mudah dirawat, dan irit bahan bakar. Muatannya juga sangat cukup menampung 'orang sekampung'. Keseruannya terutama kami rasakan saat momen lebaran, silaturrahmi bisa beramai-ramai. 


Dari sekelumit cerita saya pribadi, ada refleksi yang menurut saya penting dibagikan. Bahwa berdoa untuk kepentingan diri sendiri, sudah kaprah sewajarnya sebagai hamba yang butuh pada Pencipta. Sedangkan berdoa untuk kepentingan orang banyak adalah kunci agar mudah dikabulkan. 


Dulu suami menginginkan kendaraan bermuatan besar memang untuk menampung sanak famili yang berkepentingan. Ketika dalam doa menyebutkan sebuah merk hanya untuk meingkatkan gaya hidup, Tuhan masih menunggu dan menguji. Seberapa layak menitipkan sesuatu yang diimpikan hambanya. 


Maka tak heran dengan mereka yang telah hidup dalam keberlimpahan. Barangkali ada rejeki banyak orang yang Tuhan titipkan lewatnya. Ia dinilai pantas atas karunia dunia. Sementara memantaskan diri menjadi seperti yang disenangi Tuhan adalah perkara yang sulit. Kata Andrea Hirata, Tuhan tahu, tapi menunggu. 


05 Agustus 2023

Teladan Spiritual Om Akbar


Genap sembilan bulan sudah usia toko sembako Alfatihah yang dirintis suami atas dukungan penuh dari sahabatnya, Om Akbar. Beliau memberikan pinjaman barang dari tokonya (toko Merah) secara cuma-cuma terhadap suami. Kami berangkat hanya bermodalkan bismillah dan keyakinan penuh bahwa berniaga adalah pekerjaan mulia seperti dicontohkan Nabi. 


Meski pendapatannya tidak sebesar toko di perantauan, kami cukup bersyukur, sebab membuka 'warung Madura' di Madura adalah impian suami sejak lama. Awalnya saya tidak setuju, mengingat cerita kebangkrutan toko orang tua kami yang bahkan mati suri berpuluh tahun lamanya. Apalagi, waktu itu kami dalam keadaan tak cukup modal untuk membuka usaha lagi. 


Pendapatan terbesar kami hanya berasal dari usaha kecil konter dan aksesoris hp. Sebelum merintis bisnis tersebut, suami pernah berencana membuka usaha laundry di Sumenep kota. Di pelajarilah segala hal yang berkaitan dengan dunia binatu itu, mulai dari teknik pencucian, tagging barang, pengemasan, bahkan kami juga mengkalkulasi pengadaan alat. Namun rencana itu buyar karena suami menimbang bahwa saya tak akan sanggup berpayah-payah mencuci banyak pakaian orang, sementara cucian sendiri menggunung setiap hari. 


Kami balik badan, beralih membuka usaha konter hp di pasar Ganding. Tepatnya di toko tingkat milik seorang famili yang dari dulu memang berharap salah satu ruangnya dapat dikelola kalangan keluarga sendiri. Saat ini, bangunan tersebut telah berpindah tangan kepada saudagar kaya berasal dari kampung Ronganyar, Ganding. 


Bersamaan dengan pergantian pemilik gedung, transaksi penjualan menurun drastis sejak bermulanya pandemi Covid-19 sekitar tiga tahun yang lalu. Pasar online mulai menguasai perdagangan tanah air. Munculnya tiktokshop denga fitur COD (Cash on Dilevery) juga sangat berpengaruh pada pola belanja masyarakat karena dinilai lebih mudah dan praktis. Dampaknya sangat kami rasakan sebagai pedagang offline. 


Suami mulai cemas memikirkan pendapatan usaha kami yang tidak stabil. Ia mengutarakan keinginannya membuka usaha baru. Pilihannya ada dua, kuliner atau cabang baru konter hp di lain daerah. Kedua pilihan itu tidak berjodoh untuk kami garap. 


Saat kondisi semakin genting, Om Akbar datang sebagai aktor dalam plot twist hidup kami. Perjumpaan beliau dengan suami tahun 2018 di komunitas IPCI (Isuzu Panther Community Indonesia) terjalin sangat baik. Bukan hanya karena lokasi desa kami yang bersebelahan, tetapi lebih kepada sikap hangat Om Akbar dalam menyambut suami membuatnya merasa memiliki saudara laki-laki. 


Memang benar kata pepatah Madura, "gala perreng, perreng gala" (Famili kadang seperti orang lain, sementara orang lain berasa famili). Perjalanan hidup kami pun membawa kepada orang asing yang justru lebih memahami emosi dan rahasia terdalam kami melebihi keluarga sendiri. Itu semua kami yakini sebagai cerita yang bukan kebetulan terjadi. 


Pada akhirnya, saya menyetujui niat suami membuka usaha dengan modal penuh dari Om Akbar. Dengan harapan semoga usaha yang tengah kami jalankan menuntun kami pada kebaikan-kebaikan. Puncaknya, semoga teladan spritual seperti dicontohkan Om Akbar dapat kami gugu dan tiru. 


04 Agustus 2023

Mengenang Sosok Ayah

Jika ada yang bertanya jiwa wirausahaku turun dari siapa, maka ayah adalah jawabannya. Aku mengenal beliau sebagai pejuang yang gigih. Segala upaya dalam menjemput rejeki Tuhan beliau lakukan, mulai dari berdagang tembakau, menjual alat-alat bangunan, dan membuka usaha toko sembako. Semua itu beliau tekuni dengan penuh suka cita. 


Jejak beliau memicu semangatku sejak kelas tiga SD. Beliau mengajariku berniaga kelereng, baju-bajuan dari kertas, dan gambar kolase sinetron yang sangat populer di masa kanak-kanakku. Hampir setiap hari libur beliau tekun mengantarku pada sebuah gang kecil di sebelah barat lahan parkir pasar Ganding. Kini lahan itu dibangun menjadi toko tingkat dan salah satu ruangnya aku sewa untuk membuka usaha. 


Setiap kali lewat di gang itu, saat hendak berjamaah di masjid Lagundi, yang tergambar adalah sosok anak kecil tengah diantar ayahnya menuju toko rumahan bercat hijau. Pada kaca jendela bening itu, aku melihat kenanganku dengan jelas. Proses hidup telah jauh hari ayah ajarkan sembari mempersiapkan kepulangannya menuju Tuhan. 


Sebelas tahun silam ayah telah meninggalkanku. Sebuah kehilangan yang cukup berat bagiku menghadapi kenyataan bahwa sosok pelindungku telah pergi untuk selamanya. Sebuah momentum sakaratul maut pertama yang kuhadapi langsung. 


Aku berada di sisi kirinya saat raga ayah telah melemah. Kulihat tubuhnya mulai kaku tak bergerak. Perlahan nafasnya dapat kuhitung dengan jelas. Lalu kusimpan pandangan terkahirnya sebagai simbol cinta yang agung. 


Peristiwa kepergian beliau begitu mengejutkan namun juga memberikan banyak pelajaran. Utamanya bagaimana memahami sisi lain perempuan. Sosok ibu yang dulunya bergantung sepenuhnya pada ayah kini harus kuat dan mandiri membiayai hidup serta pendidikanku. Sementara aku yang telah digembleng berwirausaha sejak dini merasa bersyukur sebab itu adalah modal besar menyongsong masa depan. 


Ayah adalah sosok guru masa lalu. Banyak guruku di Madrasah Ibtidaiyah bercerita pengalaman menjadi murid beliau. Katanya bahkan sampai ada yang kencing di celana mendengar namanya dipanggil ayah. Ada yang takut pada lirikan beliau. Ada pula yang meringis melihat pelepah kelapa yang dibawa ayah ke dalam kelas. 


Bagiku, ayah tak seseram cerita-cerita di atas. Mungkin itu hanya totalitas beliau saat berperan menjadi guru. Bahkan aku menyimpulkan barokah guru di masa lalu lebih melimpah, bagimana pun gaya mengajarnya. Buktinya tak ada murid yang menuntut gurunya saat secuil kesalahan terjadi dalam proses belajar mengajar. Tak ada murid masa lalu yang berani menatap mata gurunya. Apalagi ketika lewat di hadapan guru, mereka membungkuk atau bahkan menjadikan lutut sebagai kaki. Berikut keistimewaan lainnya hubungan antara murid dan guru masa lalu yang tentu saja tak mampu dinalar. 


Ayahku sejatinya adalah sosok yang hangat dan humoris. Beliau sangat mencintai Nabi Muhammad SAW. Kecintaannya itu dibuktikan dengan menjadi ketua hadrah di kampung kami. Pernah sekali kepergok bak Tin tengah mengigau melantunkan barzanji sampai selesai. Bak Tin hanya tertawa heran menyaksikan manusia bershalawat di dalam tidurnya. 


Kegemaran ayah pada hadrah membuatku juga menyukai Bin Ta'lab. Itu adalah musik kenangan paling indah dalam hiduku. Irama terbaik yang apabila terdengar dari corongan TOA membuat air mataku tak dapat kutahan-tahan. Ada dua kerinduan di sana: terhadap ayah, juga kepada sosok Nabi yang selalu disanjungnya.


4 Agustus 2023