29 Oktober 2022

Candu Panggilan Nabi Ibrahim

Dua tahun sebelum wafat, ibu sudah mempersiapkan keberangkatannya ke tanah suci. Beliau menyimpan baju putih pemberian kakak dan berulang kali berpesan bahwa baju itu akan dipakai untuk berhaji. Namun keinginan beliau terputus garis maut. Ibu pergi sebelum impian mulianya menjadi kenyataan. Itulah kenangan terberat yang harus kupikul setelah kepergiannya. 


Badal haji yang kakak tunaikan untuk beliau tidak cukup membuatku puas, karena aku tidak menyaksikan langsung prosesnya. Aku berharap suatu hari nanti bisa menghajikan beliau sendiri. Tentunya setelah rukun hajiku ditunaikan. 


Barangkali itu terkesan dramatis, tetapi segala sesuatu menyangkut orang tua selalu menjadi yang utama dalam hidupku. Maka ketika seorang sahabat bernama Indah Susanti, menitipiku salam untuk ibunya di perkuburan Ma'la, Mekah, aku mencatatnya sebagai agenda wajib. Aku memposisikan diri sebagai Indah, nun jauh di Madura hanya bisa berkirim salam lewat kalamullah dan sedekah, tanpa mampu mengunjungi langsung nisan ibundanya, maskot terpenting dalam hidupnya.


Sejak bayi indah sudah ditinggal ibunya merantau ke Arab Saudi. Di usianya yang ketiga, saat ibunya usai melaksanakan ibadah haji, tiba-tiba penyakit asma yang diderita kambuh dan mengantarkan beliau pada lorong ajal. Indah kecil belum mengerti apa-apa. Ia hanya bisa menyaksikan teman-teman sebayanya bermanja dalam buaian manusia yang mereka panggil ibu.


Bayangan kesedihan Indah kembali melintas ketika secara tak sengaja aku melihat mayat membujur di masjidil Haram. Ternyata selepas shalat fardu di masjid Nabawi dan masjidil Haram memang selalu digelar shalat jenazah bukanlah shalat ghaib, melainkan benar-benar shalat jenazah. Pemandangan itu memberikan peringatan bahwa kematian seperti semakin dekat. Terlebih saat bertawaf, saat doa-doa dari manusia di seluruh dunia dipanjatkan, aku membayangkan seakan manusia bangkit dan berkumpul di padang mahsyar, hanya mengharap pertolongan Tuhan dan air dari telaga Nabi Muhammad SAW. 


Kesadaran akan dosa-dosa seumpama hantaman ombak besar yang bergelombang. Aku seperti tenggelam dalam dunia lain. Memohon pengampunan dan kehidupan indah setelah kematian. Bayangan gemerlap dunia tak kuhiraukan. Dadaku hanya penuh dengan kesedihan sekaligus kebahagiaan, yang sepertinya itu adalah puncak perasaan paling megah yang pernah aku cicipi. Dan aku selalu merasa ketagihan. 


Sedahsyat itulah rasanya, mencecapi kenikmatan yang tidak dikunyah. Aku mulai mengerti mengapa orang-orang yang telah berjumpa dengan Baitullah selalu berujar rindu rindu rindu dan ingin kembali. Rupanya panggilan Nabi Ibrahim adalah suara paling merdu yang menjadi candu. Semoga kita semua dapat mendengar seraya menjawab panggilan itu. 


Mekah, 10 Oktober 2022

25 Oktober 2022

Menapaki Tanah Baginda

Alam kota Madinah sangat gersang dan tandus, namun ketika memandangnya ada keindahan dari sisi lain. Mungkin karena keberkahan yang Allah letakkan dengan menjadikan kota ini sebagai tempat bersemayamnya manusia paling agung sehingga nuansanya menyuguhkan keteduhan. Madinah juga menjadi alam yang begitu dicintai karena dulu pernah mewarnai kehidupan Nabi.


Kesempatan untuk menjelajahi kota ini, aku peroleh di hari ketiga. Rombongan kami yang berjumlah 49 orang akan menziarahi tempat-tempat bersejarah seperti, masjid Bilal, Masjid Quba, Gunung Uhud, masjid Qiblatain, Baqi', dan masjid para sahabat Nabi. Tak lupa juga, kami akan mengunjungi kebun kurma yang menjadi ikon wisata kota Madinah.


Bus kami tiba di masjid Quba pada pukul 8.00 pagi Waktu Arab Saudi. Selain harus beradaptasi dengan cuaca panas yaitu 39°C, kami juga harus berdesakan untuk bisa masuk ke dalam masjid yang pertama dibangun oleh Nabi sekaligus masjid pertama dalam sejarah Islam itu. Ra Syafiuddin Uud sebagai mutowif dalam rombongan kami mengisahkan riwayat bahwa masjid ini dibangun atas dasar keimanan dan Nabi berpayah-payah sendiri di dalamnya. Bahkan ketika para sahabat menyuruh Nabi berhenti, Nabi menolaknya, dan meminta agar para sahabat ikut membantu, "Diyarokum-diyarokum, tuktab atsarokum", [Biarlah biar, kerjakanlah jika kalian ingin membantu], begitu arti yang kutangkap dari penjelasan ustad Uud.


Memandangi masjid ini dari kejauhan, aku begitu takjub. Seolah ikut merasakan keberadaan Nabi pada zaman dahulu. Membayangkan Nabi menyentuh setiap puing-puing bagunan dan bahkan menyisakan bekas langkah beliau di sepanjang pelataran masjid. Ya, kepalaku memang selalu penuh dengan visual. Ia menampilkan rangkaian kejadian-kejadian seperti sebuah film dokumenter.



Bagian yang paling mudah membuatku larut dalam tangis adalah ketika membayangkan masa kecil Nabi sebagai seorang Yatim dan miskin. Kemudian setelah enam tahun sang ibu juga menghadap Rabbnya. Betapa Nabi Muhammad kecil telah diuji kerentanan dan mentalnya sebagai persiapan menjalani tugas sebagai Rasul Tuhan di masa depan.


Lalu aku teringat anak-anak yatim di kampungku. Terutama kemenakanku, anak almarhum Muzammil Omeng, namanya Imam. Setiap aku dan suamiku berkunjung, ia selalu berbinar, datang ke pangkuanku dan kadang juga bersedia aku cium. Tak pernah aku jumpai ia bersedih karena kepergian ayahnya di usianya yang masih balita. Tetapi bagaimana pun seorang yatim, tetap membutuhkan fondasi mental kuat serta dukungan dari keluarga dan orang-orang terdekatnya. Itulah mengapa Nabi begitu mencintai yatim dan menyeru kepada umatnya agar berbelas kasih kepada mereka.


Siang itu aku larut dalam sujud di dalam masjid Quba. Merasakan penderitaan Nabi dari sisi masa lalunya. Menjadi insan yatim piatu yang juga merindukan ayah ibu. Merenungkan betapa perjalanan ini, sebagian besar adalah sekolah yang harus aku kaji lembar demi lembar. Semoga kita semua segera terpanggil menjadi tamu Allah, dengan rejeki yang tak disangka-sangka, seperti hujan yang kadang turun secara tiba-tiba.


10 Oktober 2022

22 Oktober 2022

Hadiah untuk Dua Oktober


Bulan Oktober menjadi bulan penuh traumatis dalam hidupku, karena ujian tragis yang aku alami selalu bertepatan di bulan itu. Tahun 2020 lalu, insiden kecelakaan yang aku alami di desa Rajun, Pasongsongan, Sumenep, hampir menyeret pada sakaratul maut. Disusul Oktober tahun berikutnya, suamiku juga mengalami kecelakaan di desa Payudan Daleman, Guluk-Guluk, Sumenep, tepat di tanggal yang sama. Maka wajar jika Oktober tahun ini aku begitu cemas mempersiapkan diri menghadapi ujian apa yang akan Tuhan berikan. 


Ternyata segalanya nyaris di luar dugaan. Seperti mimpi, Emak mertua tiba-tiba mengajak kami umroh, pemberangkatan bulan Oktober. Oktober ketiga setelah dua tahun sebelumnya kami menerima ujian bertubi-tubi; wafatnya ibu, seratus hari kemudian disusul nenek, dan empat puluh hari berikutnya abah mertua. Karenanya orang-orang bersimpati dan memberi istilah hidupku "ditebang maut".


Demikianlah sekelumit gambaran tentang betapa cepatnya Tuhan memanggil keluargaku susul menyusul. Tersisalah kakakku yang kemudian aku anggap sebagai ibu, dan suami yang selalu menjadi tiang terkuat dalam hidupku. Selebihnya aku hanyalah seorang yatim piatu. 


Aku tak punya kelebihan apa-apa. Sering aku sebutkan bahwa kemampuan terbaikku hanyalah mencuci piring. Sejak kecil aku memang terlatih untuk membersihkan perabotan kotor. Bahkan ketika bertamu, aku tak bisa membiarkan orang lain mencuci piring bekas makanku. Maka ketika seorang kawan bertanya tentang amalan apa yang aku punya, dengan mantap aku menjawab bahwa anugerah kebahagiaan dalam hidupku, selain dari doa orang tua dan guru, aku peroleh dari kegemaranku mencuci piring. 


Mencuci piring bagiku adalah kegiatan kontemplatif. Ketika mencelupkan kain atau spons ke sabun lalu mengusapkannya pada piring kotor, aku suka merenungkan hal-hal menyenangkan. Kadang-kadang juga berisi kalimat pengharapan yang aku anggap itu doa. Aku bahkan lebih lama berdoa saat mencuci piring dibandingkan setelah shalat. Sangat kurang ajar memang, tetapi aku lebih yakin harapan-harapanku saat mencuci piringlah yang lebih sering dikabulkan Tuhan. 


Barangkali alasan ini terkesan klise, namun apakah Anda pernah mendengar kisah Rahman Pananto? Seorang pemuda asal kota Malang, Jawa Timur, sukses menjadi chef sushi di sebuah restoran Jepang di kota Fairfax, Virginia, AS, hanya dengan mengawali kariernya sebagai tukang cuci piring. Bermodal nekad, ia lalu belajar memotong sayuran menggunakan pisau bagus. Lalu, impiannya menjadi seorang chef terwujud ketika dia berani mengambil langkah kursus memasak. 


Banyak lagi kisah inspiratif dimulai dari hal sepele, karena kita semua memang hanyalah sebuah titik. Ada yang diam, ada pula yang bergerak memulai. Dan memulai tidak harus selalu dengan langkah besar. 


Bisa dengan mengerjakan hal-hal sederhana secara ikhlas dan penuh suka cita. Seperti mengelap kaca, menyetrika, atau jika mampu dengan membaca. Yakini saja, barokah akan mengalir lewat jalan tak terduga. 


Seperti kejutan yang aku terima di bulan Oktober tahun ini. Aku meyakini sepenuhnya adalah hadian untuk ujian dua Oktober sebelumnya. Tuhan menguji ketabahanku dengan berbagai cara; kematian dan penderitaan. 


Lalu aku menyambut undangan Nabi Ibrahim AS, saat Tuhan memerintahkan beliau menyeru kepada setiap manusia untuk berhaji dan umroh. Aku berkesempatan melakukan ibadah umroh di titik, di mana aku sendiri seperti belum percaya. Ya, aku menjadi tamu Allah. Segalanya terasa sangat istimewa, sebab ada Baitullah di hati setiap mukmin. Begitu juga di dalam hatiku, aku memimpikannya, sejak lama. 


22 Oktober 2022

08 Oktober 2022

Bersaudara Tanpa Batas

Malam itu di dalam bus terhal aku memandang dengan nanar jalanan kota Madinah. Aku kembali terkenang masa lalu, tentang asalku, dan rangkaian jalan nasibku. Seperti belum percaya, dengan begitu mudahnya aku bisa sampai di tempat ini. Kota penuh Barokah tempat Rasulullah berjuang mendakwahkan Islam, tempat turunnya ayat-ayat Madaniyah, tempat berkumpulnya umat Islam untuk berziarah ke maqbarah manusia paling agung itu. Maka aku mengimani bahwa undangan menjadi tamu Allah bisa untuk siapa saja, sama sekali tak terkait materi. 


Di sepanjang jalan dari bandara King Abdul Aziz, Jeddah, hatiku bergetar, sesak oleh perasaan haru, rindu, dan kenangan tentang almarhum ayah ibu. Ayah yang begitu mencintai Nabi sampai sering mengigau bershalawat barzanji sampai tuntas, dan ibu yang sebelum wafatnya mempersiapkan baju putihnya untuk dipakai di haramain. Namun beliau berdua sudah tiada, beliau lebih dulu pergi sebelum berkesempatan ziarah ke Mekah dan Madinah. 


Sesampainya di raudah, yang pertama berbicara adalah air mata. Rasa syukur begitu dalam aku panjatkan atas rahmat Allah telah memberi jalan untuk sampai di tempat yang diimpikan seluruh kaum muslimin dengan perantara kerja keras juga doa mama dan almarhum abah mertuaku semasa hidup. Sulit dipercaya, tetapi kita semua hanyalah daun-daun yang mampu diterbangkan Tuhan kemanapun Dia kehendaki. 


Lebih dalam lagi, aku memohon ampunan atas dosa yang kian hari kian menggunung, tak mampu kubendung. Bahkan ketika Tuhan memelukku dengan cintanya, diri ini selalu ingkar dan kufur. Aku berharap rahmat Allah atas lahirnya Kanjeng Nabi Muhammad untuk mengampuniku, keluargaku, kerabatku, guru-guruku, tetanggaku, sahabatku, juga seluruh kaum muslimin dan mukminin di seluruh dunia. 


Di tempat ini, Tuhan mengirimiku teman-teman baru. Aku berjumpa dengan Kak Rubinah dari Pakistan dan Ummi Kulstum dari India. Pertemuan itu terjadi di dalam masjid Nabawi usai melaksanakan shalat subuh. Tiba-tiba ada dua orang berpelukan melepas rindu di sampingku. Komunikasi dalam bahasa Inggris mereka membuat saya paham bahwa di tahun-tahun sebelumnya, mereka pernah berjumpa di perjalanan ibadah umroh. Di pertemuan ini mereka seolah tak percaya Tuhan menjumpakan kembali di tempat yang sama, di antara ribuan manusia. 


Mereka berdua menyapaku  yang tengah tersedu. Dalam bahasa Inggris yang belepotan aku mencoba membangun komunikasi, menanggapi pertanyaan-pertanyaan mereka. Aku bercerita tentang kerinduan terhadap almarhum ayah dan ibu dan kesempatan beribadah di sini yang masih mustahil dalam benakku. 


Tangan kami saling merangkul. Kak Rubinah bahkan mengecup tanganku seperti sudah sangat akrab. Lalu aku teringat sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim, yang artinya "Seorang Muslim itu saudara bagi muslim yang lainnya". Seperti Nabi mengajarkan keramahtamahan dan kerendahan diri, kami melebur menjadi saudara tanpa batas. Kami saling bertukar nomor ponsel, bertukar doa, dan berharap di tahun-tahun yang akan datang akan ada perjumpaan berikutnya. Semoga. 


Madinah, 8 Oktober 2022