25 April 2011

Perjalanan Mengenaskan Para TKI


Judul Buku : Sebongkah Tanah Retak
Penulis: Rida Fitria
Penerbit : Tiga Kelana
Tahun Terbit : Pertama, November 2010
Tebal : 218 halaman
Peresensi : Ummul Karimah
Perjalanan Mengenaskan Para TKI

Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki kekayaan Sumber Daya Alam yang melimpah ruah. Kekayaan tersebut terbukti dengan kandungan tanahnya yang dapat menghasilkan baja, minyak tanah, timah, bahkan emas permata mulia. Kekayaan alam tersebut merupakan salah satu faktor penentu keadaan dan nasib suatu bangsa dalam percaturan ekonomi.

Ironisnya, International Labour Organisation (ILO) menyuguhkan data bahwa 80% dari perempuan penduduk Indonesia bekerja sebagai pembantu rumah tangga yang melakukan semua pekerjaan di rumah majikan. Hal ini cukup untuk mengilustrasikan sebuah keadaan yang sangat mengerikan di Indonesia. Kasus yang sangat memilukan negeri ini tentunya merupakan konflik besar yang harus dipecahkan bersama.

Salah satu contohnya diceritakan oleh Rida Fitria dalam novelnya yang berjudul Sebongkah Tanah Retak ini. Dalam novelnya, Rida Fitria mengangkat kisah tentang perjalanan panjang seorang Tenaga Kerja Wanita (TKW) untuk memperoleh jati dirinya dari sudut pandang kekuatan dalam melawan garis nasib kemiskinan.

Kisah ini, bermula dari seorang gadis desa di lereng Gunung Lemongan bernama Khadijah yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah seorang kaya bernama Rohana. Konflik dibuka oleh kejadian besar yang berlangsung di sawah Rohana. Kali itu waktu memberi tahu kepada Rohana atas balasan kepercayaan yang diberikannya kepada Ijah. Saat secara tak sengaja, akhirnya ia menemukan tumpukan baju seorang perempuan yang sangat ia kenal. Tak jauh dari tumpukan baju itu ia melihat suaminya tengah bercinta dengan Ijah di bawah daun-daun tembakau.

Kemurkaan Rohana ditunjukkan dengan diusirnya Ijah dari keluarga tersebut. Sedangkan Ijah tengah mengandung janin dari tuan Wiro, suami Rohana, yang berjanji akan menikahinya. Namun, saat kejadian besar itu berlangsung, Wiro bahkan seolah tak mengenal Ijah dan sepakat mengusirnya. Ternyata janji seorang Wiro telah berubah sepah yang ditaburkan ke wajah Ijah kala itu.

Ijah lalu sadar bahwa dalam hidup ia harus bertarung. Melawan luka pengkhianatan, menahan rasa sakit, dan memperjuangkan hidupnya yang tengah dililit oleh kemiskinan. Saudara kandungnya yang berjumlah tiga pun tak pernah menghiraukan orang tua mereka yang tinggal serumah dengan Ijah. Bahkan, salah satu saudaranya yang sangat miskin, Marji namanya, kakak lelaki Ijah, yang bekerja sebagai tukang becak, menitipkan anak-anaknya di rumah orang tuanya. Hal itu disebabkan istri Marji depresi akibat kemiskinan yang sangat parah. Sementara pengasuhan anak-anak Marji dilimpahkan ke bahu orang tuanya, otomatis memberatkan pundak Ijah pula.

Saat ibu kandungnya meninggal dan tak sampai berumur tujuh hari, semua saudaranya berebut beras dan gula yang dibawa para pelayat, juga harta warisan yang tak seberapa. Ijah sedih; kecewa; lalu diam-diam menitipkan putranya ke panti asuhan dan berangkat mengadu nasib, menjadi seorang TKW ke Arab Saudi. Ia kian sadar betapa sedih menjadi seorang miskin. Jauh dari seorang buah hati yang ia cintai, juga disiksa dan dilecehkan oleh majikannya. Ia merasa seorang yang miskin tak berhak berpendapat, berpikir, dan bertindak karena tak punya harga diri. Sungguh mengenaskan.

Saat ia memutuskan untuk pulang dari Arab Saudi dan memutus mata rantai, kesulitan ekonomi di kampuing kian menelikungnya. Karena itu Ijah lalu berjuang untuk mengadu nasib yang kedua kalinya ke negara Hong Kong. Di sana, ia bahkan bukan hanya disakiti batinnya, tapi juga fisiknya. Ijah terluka, Ijah menangis, Ijah bahkan nyaris kehilangan nyawa. Keluarga majikannya sungguh tak berprikemanusiaan.
Kisah dalam novel ini berakhir saat Ijah untuk pertama kali dalam hidupnya dapat menangis bahagia. Ijah lalu merasa bahwa semua manusia berharga dan pantas mendapatakan yang terbaik dari yang telah ia perjuangkan. Ia merasa merdeka dan dapat belajar banyak hal yang harusnya ia ketahui.

Pada bagian akhir, digambarkan seorang Ijah yang bergelut dalam organisasi Indonesian Migran Workers Union (IMWU) yang telah memberinya kesempatan kursus bahasa Inggris dan Mandarin. Ijah lalu bangkit menjadi seorang pembela bagi teman-teman seperjuangannya yang mendapat perlakuan tak layak dari majikan mereka.

Novel ini banyak memuat tentang tuntutan kritis bagi negara Indonesia yang menerima devisa besar dari para TKW yang ternyata tak mendapat perlindungan penuh dari pihak Indonesia. Salah satu contoh dalam kisah ini, saat mendapatkan perlakuan yang tak manusiawi oleh para majikan, lalu para Buruh Migran Indonesia (BMI) mendatangi Konsulat Jendral Republik Indonesia (KJRI) untuk memprotes, ternyata pihak konsulat bersikap dingin dan tak acuh. Sama sekali tak tampak sebagai pengayom anak bangsa yang ditempatkan pemerintan RI di luar negeri untuk keperluan mengakomodir aspirasi Warga Negara Indonesia (WNI) yang ada dalam tanggung jawabnya.

Selain susunan bahasa yang mengalir dan diksi baik yang dipilih oleh penulis, novel ini juga sangat inspiratif dan sarat akan tema untuk kita bahas sebagai diskusi yang panjang. Banyak pelajaran-pelajaran hidup dapat diambil dari kisah yang ditulis oleh perempuan berbakat yang berasal dari Probolinggo ini . Ia telah berhasil mendobrak kisah dan menyaringkan suara buruh migran yang merintih untuk ditolong. Seperti kasus-kasus Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang belakangan ini menuai kisah yang sangat memprihatinkan.

Salah satunya dialami oleh Kikim Kolmalasari binti Uko Marta, lahir pada 9 Mei 1974, TKI asal Cianjur, Jawa Barat, yang ternyata disiksa secara sadis oleh majikannya di Arab Saudi. Kikim bahkan setelah dianiaya dan disiksa, pada akhirnya meninggal dunia (Radar Bandung: 22/11/2010). Kasus serupa dialami oleh para TKI lain yang tinggal di negara-negara lain, seperti kasusWinfaidah (26) asal Lampung yang bekerja ke Malaysia dan tak hanya disiksa secara fisik tapi juga batin (JPNN, 22/11/2010). Dan begitu banyak kisah-kisah serupa yang tak cukup hanya dipaparkan di sini saja, tapi untuk kita renungi secara kritis sebelum akhirnya kita harus bertindak.

Di tengah kasus-kasus mengenaskan tersebut, novel ini hadir dan diharapkan dapat berguna untuk memberikan suara dan dapat memberi pencerahan bagi negara Indonesia. Dan itu menegaskan bahwa memperjuangkan nasib mereka tak bisa dilakukan seorang diri, para aktivis, para korban, dan keluarga korban saja. Tetapi dibutuhkan kebersamaan, tekat yang kuat, niat yang tulus, suara yang lebih banyak, juga dukungan penuh dari pemerintah untuk dapat menjunjung harkat dan martabat mereka sebagai kaum yang merdeka.

Oleh: Ummul Karimah, alumnus SMA 3 Annuqayah Guluk-Guluk dan mahasiswa INSTIKA (Institut Ilmu Keislaman Annuqayah) semester II G PAI.

2 komentar:

Rida Fitria mengatakan...

Resensi yang sangat keren, terima kasih ya.

M. Faizi mengatakan...

iya. terima kasih kembali..hehe...he...