tag:blogger.com,1999:blog-36443311118208386242024-03-28T12:33:05.694+07:00KILAU CORN"terdapat dongeng indah di setiap kilau butir jagung"Ummul Cornhttp://www.blogger.com/profile/06630242829034088448noreply@blogger.comBlogger134125tag:blogger.com,1999:blog-3644331111820838624.post-27768533369326600892024-03-08T21:47:00.004+07:002024-03-08T21:49:41.681+07:00Review Film Hunger; Perjalanan Menemukan Jati Diri Lewat Memasak<p dir="ltr"><br></p><p dir="ltr">Film bagus menurut saya adalah yang paling banyak memberikan kesempatan untuk merenung setelah menonton. Tidak hanya berkesan secara sinematografi, akting dan <i>scoring</i>, namun dialog mendalam juga menjadi seni paling tinggi dalam mengaduk emosi penonton hingga merinding. <br></p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Pekan ini saya fokus menonton film-film bagus berkat link netflix berbagi dari seorang kerabat jauh di rantau. Pada mesin pencarian, iseng saya mengetik 'cooking', lalu mengantarkan saya pada saran beberapa film tentang kuliner. Film Hunger muncul di baris pertama dengan cover menarik mencuri perhatian saya. <br></p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Film ini berkisah tentang perjalanan seorang perempuan bernama Aoy (Aokbab Chutimon), koki kedai kwetiaw laris di persimpangan jalan sebuah kota di Thailand. Pada suatu hari ia menerima kartu undangan dari pembeli misterius yang mengagumi masakannya untuk bergabung ke sebuah tim di restoran <i>fine-dining</i> bernama Hunger.<br></p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Perjumpaan Aoy dengan Chef Paul (Peter Nopachai) sang pemilik restoran yang keras, suka berteriak, dan perfeksionis, membuatnya semakin memantaskan diri untuk bergabung dengan tim Hunger. Ia terpesona melihat sosok Chef Paul yang kemampuan memasaknya membuat orang begitu tergila-gila. Hingga ia pun mengubah standar gaya memasaknya yang dinilai kolot dan terbelakang. <br></p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Konflik disuguhkan dengan perlahan dan lembut membuat emosi saya seperti ikut berperan. Terutama saat adegan genting pemberhentian salah seorang tim chef senior yang berujung pertumpahan darah. Berikutnya sutradara juga menyelipkan pesan moral tentang konservasi satwa dilindungi dalam adegan Chef Paul dan orang kaya yang ingin menyantap burung langka. Nurani seorang Aoy tak terbendung sehingga ia pun memilih keluar dari dapur Hunger. <br></p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Berbagai pesan moral dapat tersampaikan dan memberikan ruang bagi saya untuk merenung. Film ini adalah sebuah kritik sosial yang menampilkan kesenjangan di masyarakat. Chef Paul sebenarnya gambaran kita, manusia biasa yang penuh ambisi dan keserakahan. Sementara Aoy adalah sebuah petunjuk bagi kita dalam menemukan alasan untuk kembali pulang. </p><p dir="ltr"><br></p><p dir="ltr"><br></p>Ummul Cornhttp://www.blogger.com/profile/06630242829034088448noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3644331111820838624.post-78898382243243595622023-11-30T10:18:00.007+07:002023-11-30T15:34:50.532+07:00Sebelas Tahun Meraih Sakinah<p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEibpB1f0mSzYzjus6EwKKMabR67g-MOT3ONPahVxzssi90jlnh0pmOpx_mEK-7q7PNq6ahEltbs9TFQ2kIqrT7EXeC5gIEnD841nF3mhczYYeeBFNtAPPIbz8GYAtDEFRdDVNtlo6g3F4vPEbl_f_qjr5xEzLtxg1MG_v3Xbge7SrfhvCgH2WxZHZY5On0N/s1757/1701314415454.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1757" data-original-width="1622" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEibpB1f0mSzYzjus6EwKKMabR67g-MOT3ONPahVxzssi90jlnh0pmOpx_mEK-7q7PNq6ahEltbs9TFQ2kIqrT7EXeC5gIEnD841nF3mhczYYeeBFNtAPPIbz8GYAtDEFRdDVNtlo6g3F4vPEbl_f_qjr5xEzLtxg1MG_v3Xbge7SrfhvCgH2WxZHZY5On0N/s320/1701314415454.jpg" width="295"></a></div>Aku masih duduk di sini, di dalam rumah kita. Memunguti setiap tumpukan pakaianmu di atas kasur yang enggan kau letakkan di keranjang. Aku masih menatap jendela berdebu dan rombongan semut di setiap sudut rumah kita. Hidupku masih berantakan, dan kau menerimanya dengan lapang. <p></p><p><br></p><p>Kita memang pasangan yang aneh. Kata teman-teman seperti tidak akur. Bahkan seseorang pernah menegurku langsung tentang bagaimana harus meniru sikapmu yang tenang seperti telaga di tengah hutan rahasia. Sementara aku riuh gaduh bagai rebana yang sedang ditabuh.</p><p><br></p><p>Kamu suka berbicara tentang otomotif. Aku berusaha mengimbangi meski sebenarnya tidak pernah benar-benar memahaminya. Seperti kamu pura-pura menyimak saat aku berbicara tentang buku baru, film yang sedang aku tonton, ocehan kepada tetangga yang suka menyetel musik dugem di pagi hari, dan tentu saja banyak keluhan-keluhan tak penting lainnya. Terima kasih kau telah menerimaku dengan tulus selama sebelas tahun terakhir ini. </p><p><br></p><p>Aku menyadari belum bisa menjadi istri terbaik seperti yang kamu harapkan, tetapi kamu tahu aku terus belajar. Aku berusaha terus berbenah. Terutama menata mental seorang istri yang hingga kini belum dikaruniai buah hati. Aku sudah mengadu kepada Rasulullah tentang masalah kita. Beliau pasti memahami posisimu seperti saat mendapingi dan mendengarkan suara hati Aisyah tentang masalah yang sama. Kita hanya perlu menunggu. Mungkin sebentar lagi. </p><p><br></p><p>Semoga Allah selalu menjaga hubungan ini dan memandang dengan Rahmat-Nya. Melapangkan sabar kita untuk senantiasa ridha terhadap takdir-Nya. Sebab menikah bukan semata tentang cinta, melainkan ibadah dan bentuk penghambaan terhadap-Nya.</p><p><br></p>Ummul Cornhttp://www.blogger.com/profile/06630242829034088448noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3644331111820838624.post-60783742646386881212023-09-20T09:24:00.005+07:002023-09-21T08:37:00.772+07:00Nenek Penunggu Villa<p dir="ltr"></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEikM1G09vnSJ7DaachKmiAH2YE69i9zLg6eOCRNRyMM7bFuyQp9V_dMcJobbZ8MZHpS7gaBX-BfH4sMfMfxuoxXCSlI1Jz_9PknNeg99oT3QfcAf1WIih_9pRtZRkCTVlfhSxutnOFSPTOBy-U4y8DVCxpgmpo9CUvjw_720x6o0Kz8tJCeAvI6GvLQMAIN/s2554/1695256578763.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="2554" data-original-width="1916" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEikM1G09vnSJ7DaachKmiAH2YE69i9zLg6eOCRNRyMM7bFuyQp9V_dMcJobbZ8MZHpS7gaBX-BfH4sMfMfxuoxXCSlI1Jz_9PknNeg99oT3QfcAf1WIih_9pRtZRkCTVlfhSxutnOFSPTOBy-U4y8DVCxpgmpo9CUvjw_720x6o0Kz8tJCeAvI6GvLQMAIN/s320/1695256578763.jpg" width="240"></a></div>Generasi tahun 90-an pasti tidak asing dengan sinetron Gerhana. Drama serial televisi menceritakan tokoh bernama Gerhana yang lahir bertepatan dengan gerhana bulan sehingga ia memiliki keistimewaan berupa indigo. Sinetron tersebut benar-benar menginspirasi saya pada masa itu. Saya lalu berandai-andai betapa senangnya memiliki kemampuan supranatural, bisa berinteraksi dengan makhluk gaib atau bisa membaca pikiran orang lain.<p></p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Setelah dewasa dan mengenal seorang sahabat bernama Sahara, saya lalu menghapus keinginan itu, sebab akhirnya saya tahu bahwa indigo bukanlah kelebihan, melainkan kekurangan. Beban yang ia pikul justru lebih berat. Dalam hal bisa melihat makhluk halus isalnya.</p><p dir="ltr"><br></p><p dir="ltr">Dua hari yang lalu saya diajak Faris dan Devi <i>staycation</i> di Batu untuk kepentingan bisnis. Villa yang mereka pilih berinisial O merupakan rekomendasi dari rekan bisnisnya. Sebuah bangunan berarsitektur tua yang direnovasi menjadi tampak modern. Memiliki ruang tamu sangat luas dengan akomodasi yang cukup lengkap. Bar dan dapur berada di ruangan utama membuat saya dan Devi berandai-andai memilikinya suatu saat nanti. Ada bonus pemandangan alam gunung Panderman dan pesona kota Batu yang bisa dinikmati dari balkon. Suasana sejuk penuh dengan aneka bunga membuat siapapun akan kagum memandangnya.</p><p dir="ltr"><br></p><p dir="ltr"></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj6U-FrxDBmV9ya8D5uIla5nvW0_QW83k-QaUSjNfkTElbsrSjNSugbeZgETAQ9u3lchKKJPF7EtakL07zx3aJ1bJFp0RSbdy9R7RWMB8rsM8Ns4AVWqtib7CvoPx0Z-ccIbBa_OEkY0AnvAvjxJ-yVwqCeypRSwinl4i9vQzO6UOyyi9cMykPlwSMXGfO5/s2476/1695257114554.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="2476" data-original-width="1857" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj6U-FrxDBmV9ya8D5uIla5nvW0_QW83k-QaUSjNfkTElbsrSjNSugbeZgETAQ9u3lchKKJPF7EtakL07zx3aJ1bJFp0RSbdy9R7RWMB8rsM8Ns4AVWqtib7CvoPx0Z-ccIbBa_OEkY0AnvAvjxJ-yVwqCeypRSwinl4i9vQzO6UOyyi9cMykPlwSMXGfO5/w150-h200/1695257114554.jpg" width="150"></a></div><p></p><p dir="ltr">Begitu sampai, yang saya tebak adalah harganya pasti mahal. Benar saja, hampir gagal karena tarif dinilai terlalu tinggi, ternyata bapak penjaga paruh baya yang mengenakan topi rimba itu memanggil kami lagi dan mengabarkan bahwa sewa sudah dibayar oleh rekan bisnis Faris. Kami bersegera masuk untuk melepas lelah.<br></p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Ketika kembali ke mobil untuk menurunkan barang, seorang perempuan keluar dari bangunan di samping villa. Saya menebak pasti istri si bapak penjaga tadi. Bertubuh padat dengan kulit putih dan wajah bulat, membuatnya tampak seperti warga Tibet. Bibirnya memiliki lengkung yang lebih condong ke bawah sehingga ia seperti selalu bersedih.</p><br><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Tiba-tiba keanehan pertama menyentak kesadaran saya. Saya sampaikan sejujurnya ke Devi bahwa saya merasa tengah berada di villa seperti dalam film horor; bangunan tua dan dua penjaga misterius. Ia buru-buru mengiyakan sebelum saya selesai berbicara. Kami bejalan dengan perasaan masih tampak wajar.</p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr"></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEie92cxmF7SmGUcPIoRvtLlFmudrBAf-K_yO_OWPi2ftc3PAs8zHJ1aryeBBMeZFXH2EJJ6wMPBSKd48mgO_9mFZAHbe0VuYVLZ9JaVPlyBk42-7-cZ7gdxhY1h6Rhg7rtJdTvyg5ELhCDAvdowPiQEX90zkF2kxy2zDQIFEDyNR4bM25q8dV9tL-GVH9G2/s3487/1695256484890.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="3487" data-original-width="2088" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEie92cxmF7SmGUcPIoRvtLlFmudrBAf-K_yO_OWPi2ftc3PAs8zHJ1aryeBBMeZFXH2EJJ6wMPBSKd48mgO_9mFZAHbe0VuYVLZ9JaVPlyBk42-7-cZ7gdxhY1h6Rhg7rtJdTvyg5ELhCDAvdowPiQEX90zkF2kxy2zDQIFEDyNR4bM25q8dV9tL-GVH9G2/w120-h200/1695256484890.jpg" width="120"></a></div>Siang itu saya tidak membuang waktu dengan berlelah-lelah, langsung membidik beberapa pemandangan yang indah berikut setiap sudut villa. Devi mengagetkan saya dengan berbisik menemukan album tua di nakas kamarnya. Aku meresponnya dengan biasa saja. Berpikir positif, mungkin itu adalah album kenangan pemilik villa.<p></p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Di dinding ruang tamu, lurus dengan tivi, saya juga memperhatikan figura dengan foto tua. Foto atas tampak kakek nenek tengah duduk mengenakan pakaian adat jawa. Di bawahnya kakek nenek itu di masa muda bersama delapan anaknya tercetak hitam putih. Anehnya bagi kami, mengapa bukan lukisan pemandangan saja yang dipajang? Mengapa harus foto tua? </p><p dir="ltr"><br></p><p dir="ltr">Keanehan itu segera kami tepis dengan mengukus pentol ikan tuna yang sengaja kami bawa dari Madura. Kami berkumpul di balkon untuk menikmatinya selagi hangat. Sufi, adik Devi datang membawa kudapan dan minuman dingin. Kami menikmati momen itu dengan sangat puas.</p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Suasana tampak lebih seru saat Sofwan dan Istrinya, Mbak Sahara, datang membawa bayinya yang berusia 3 bulan. Sofwan adalah sahabat Faris yang tinggal di Malang. Mereka berteman sejak nyantri di pondok pesantren Annuqayah daerah Lubangsa Selatan. Komunikasi mereka cukup baik sehingga silaturrahmi tetap terjaga hingga kini.</p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Kami berkumpul di balkon menimkati guyonan dan bualan khas Sofwan. Nadanya yang menggebu ketika menceritakan sesuatu membuat apa yang ia sampaikan selalu terdengar lucu. Momen berkumpul dan membahas hal lucu inilah yang membuat liburan mahal dan bermakna. </p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Lepas maghrib kami memilih keluar mencari makanan menggunakan dua kendaraan. Karena Faris masih ada urusan, suami meminta kami, para perempuan pulang duluan. Kebetulan Devi dan Mbak Hara memang bisa menyetir. Bebas lah para laki-laki berkeliaran menikmati malam mingguan. </p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Setiba di villa kami disambut dingin yang menusuk. Maklum, kota batu memang lebih berangin pada 4,6 bulan dalam setahun, yakni awal Juni hingga akhir Oktober. Menerima sisa angin terhebat bulan Agustus membuat saya yang tak berjaket terguncang gemetaran. </p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Saya dan Devi memilih duduk di sofa, sementara Mbak Hara menyusui bayinya di kasur ruang tamu. Karena kunci masih menempel di pintu luar, saya meminta devi mengambilnya. Begitu ia membuka pintu saya melihat sekelebat bayangan di pintu ruang penjaga. Devi menoleh dan berteriak mendapati sosok pria tengah berdiri di balik pintu. Kami semua terperanjat tak karuan. </p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Dengan santainya si bapak berdiri mengenakan jumper dengan topi yang terpasang. Bukannya bereaksi lucu melihat tingkah kami yang kekanak-kanakan bapak itu malah memasang wajah datar. Ia bertanya mengenai pintu pagar apakah hendak dikunci atau masih menunggu para suami pulang. </p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Saya agak geram dengan tingkah aneh bapak tadi. Sangat mengganggu kondisi mental dan psikis kami. Suasana berubah menjadi mencekam. Lebih menakutkan lagi saat Mbak Sahara membuka tentang apa saja yang dia lihat sejak sore tadi. </p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Setiba Mbak Hara di gerbang, ia melihat sosok nenek gemuk memakai kebaya. Ia menyapa dengan santainya. Ketika menoleh lagi, sosok itu telah lenyap. Buru-buru ia bawa bayinya masuk. </p><br><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Menjelang maghrib, ia melihat sosok yang sama memegang tongkat tengah berdiri memandang gunung Panderman. Sementara katanya, kami tengah asyik cekikikan menyimak cerita-cerita lucu Sofwan. Dan sempurnalah keresahan kami saat Mbak Sahara mengatakan bahwa sosok yang ia lihat itu persis seperti di dalam foto. </p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Kami berkumpul di atas kasur merima penjelasan tidak masuk akal dari seorang indigo. Tentang makhluk bertubuh hitam di dalam kamar mandi sebelah timur. Juga pocong yang mengambang di dekat pohon mangga tempat kami bersantai di Pujon. Semua terkuak menekan ketakutan di dalam diri saya. </p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Kaki saya berubah menjadi dingin. Tubuh terasa hangat terkesiap dengan denyut berpacu kencang. Saya menggigil di pojokan. Devi pun menampakkan reaksi yang sama. Seperti mau menangis tetapi ditahan-tahan. </p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Terdengar bunyi di sofa pojok. Sebuah sudut yang memang tidak pernah kami duduki. Kata Mbak Hara, si nenek tengah menyaksikan ketakutan kami. Semakin tenggelam lah saya dalam kekecutan ini. </p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Mbak Hara mengatakan bahwa jika sampai ia terlelap, maka makhluk-makhluk di tempat itu akan mengajak berkenalan dengan mengeluarkan bunyi-bunyi. Saya dan Devi sudah tidak tahan dengan apa yang disampaikannya. </p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr"></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiRZPHJ2NHQxuXDzrC6DlTrtByUJzTnOIdEDXKTnzkc__NXsdgIsuSneIQYTONjEIhMpm0RzA4G8hj5BIhs7jLQpDWQ7KCimnGfni57NsN9K_URnIcsmUgZBj66Kp9yMutj1AVKYC7tU-kEPt_fStyUNHdYqcqXVzcoJb2gpjM4eXP3CXjH6c0quavWBST9/s3680/1695256307594.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="3680" data-original-width="2088" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiRZPHJ2NHQxuXDzrC6DlTrtByUJzTnOIdEDXKTnzkc__NXsdgIsuSneIQYTONjEIhMpm0RzA4G8hj5BIhs7jLQpDWQ7KCimnGfni57NsN9K_URnIcsmUgZBj66Kp9yMutj1AVKYC7tU-kEPt_fStyUNHdYqcqXVzcoJb2gpjM4eXP3CXjH6c0quavWBST9/w114-h200/1695256307594.jpg" width="114"></a></div>Kami tahu Mbak Hara tidak berbohong, saat tiba-tiba sebuah suara gagang pintu samar-samar terdengar. Saya pikir itu hanya efek dari ketakutan kami. Tetapi bunyi berikutnya dari jendela membuat kami percaya sepenuhnya bahwa makhluk itu tengah memperhatikan kami dari luar sana.<p></p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Saya menahan kantuk luar biasa. Antara sadar dan tidak, terndengar bunyi gesekan sofa. Persis di detik yang sama saya dan Mbak Hara bertatapan menyadari apa yang kami dengar ternyata sama. Saya menoleh ke arah Devi, dia menggeleng tak mendengar apa-apa. Mungkin karena hanya dia yg masih bertahan untuk tidak terlelap. </p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Di pejam berikutnya, dengan jelas saya mendengar sebuah suara. Suara perempuan tua bernada berat. Mbak Hara lebih dulu mengungkapkan kepada kami tentang suara itu. Saya yang juga mendengar membenarkannya. Kami bertiga saling pandang dalam perasaan yang sama. </p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Di situlah titik yang membuat kami memutuskan untuk cek out malam itu juga. Kami berencana pindah ke rumah Mbak Hara atau numpang di kosan Sufi. Maka ditelponlah pak suami yang ketika mengangkat suaranya terdengar parau. Sialan! Bisa-bisanya dia tertidur sementara kami menerima teror nenek tua. </p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Jam menunjukkan pukul 2 dini hari saat kami semua putus asa. Devi benar-benar bertahan untuk tidak terlelap sedetik pun. Matanya tampak merah. Kami rasa, ini bukanlah healing, melainkan ajang uji mental sebuah drama filmis. Kami hanya saling menguatkan satu sama lain. Bagaimana pun ini harus kami terima. Mengerikan memang, namanya juga gratisan, celetuk Mbak Hara membuat suasana tegang lumayan mencair. </p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Satu jam berikutnya kami dikagetkan dengan Mbak Hara yang tiba-tiba terjaga dari tidurnya. Katanya nenek itu membangunkannya. Ia melongo ke jendela. Membuka pintu menantang makhluk gaib itu. Hilang katanya. Tapi tiba-tiba kembali menyaksikan kami dari kejauhan. </p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Saya dan Devi seperti kucing sedang dimandikan. Lemah tak berdaya mendengar penjelasan demi penjelasan tentang dunia indigo. Sampai akhirnya suara mobil tiba halaman. Membebaskan selapis belenggu ketakutan. </p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr"></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiH2Yw_xtZ_14JNH6P8p6MvA1o_yKaE1TaX65TJ2bq1Gg2k7q-g4CdxWXZeIZGVH3aRvNzvomhpdMLWAZ5bkebcSBPgNziDoHbb7glkpT6NbTXDBkptOY5IidTy8ByRq0D552M3JdQcaQSTjKyQZcd052ZgNrsvGwZ1aAb6UvcWSNf0rCRh2Oi73zUxXZD4/s2784/1695257654961.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="2784" data-original-width="2088" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiH2Yw_xtZ_14JNH6P8p6MvA1o_yKaE1TaX65TJ2bq1Gg2k7q-g4CdxWXZeIZGVH3aRvNzvomhpdMLWAZ5bkebcSBPgNziDoHbb7glkpT6NbTXDBkptOY5IidTy8ByRq0D552M3JdQcaQSTjKyQZcd052ZgNrsvGwZ1aAb6UvcWSNf0rCRh2Oi73zUxXZD4/w150-h200/1695257654961.jpg" width="150"></a></div>Mereka menyimak cerita kami dengan candaan. Aura positif manusia kata Mbak Hara adalah energi negatif bagi mereka. Nenek itu lenyap dimakan keberanian sosok pelindung. Suasana berubah hangat dan kami masih mengobrol sampai jam 3.30 WIB. <p></p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Suami memberi wejangan bahwa setiap rumah pasti memiliki penjaga tak <u>kas</u>at mata. Memang sudah sepantasnya dikirimi fatihah. Mereka tidak mengganggu. Hanya menyaksikan manusia dari alamnya. Sementara bagi orang indigo, makhluk gaib memang cenderung ingin berkenalan. </p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Menjelang tidur, saya masih diteror rasa penasaran mengapa nenek itu bergentayangan? Bagaimana kisah hidupnnya? Seperti apakah cara matinya? Apakah anak-anaknya berkirim amal saleh? Di manakah ia dikebumikan? Apa maksud kedatangannya? </p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Setiap nyawa akan menjumpai kematian. Waktunya sudah ditentukan. Tugas kita adalah memperindah hidup, agar mati bahagia. <br>
</p>Ummul Cornhttp://www.blogger.com/profile/06630242829034088448noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3644331111820838624.post-42361766531005847632023-08-16T09:51:00.001+07:002023-08-16T11:38:57.255+07:00Dialog Cucian<div><br></div><div>Apa kabar kalian yang menumpuk di keranjang cucian? Jamur tumbuh memutih di antara lipatan kerah dan saku. Beberapa telah melegam menjadi sarang kutu. </div><div><br></div><div><br></div><div>Besok aku masih sibuk. Lusa juga penuh agenda. Menjamahmu menjadi hal langka akhir-akhir ini. Sementara di kepala ada target baru tayangan lini masa yang terus menghantui. </div><div><br></div><div><br></div><div>Para produsen berlomba menampilkan keculasan lewat model menarik dan lagu-lagu candu. Pantas saja perempuan ingin tampil seperti itu. Seperti selebgram yang jelas tak akan pernah sama bila dikenakan sendiri. Sumpah... Tidak akan pernah sama. </div><div><br></div><div><br></div><div>Baju lama penuh kenangan merasa sayang untuk dibagikan. Baju baru calon kesayangan tidak akan pernah sudi dipinjamkan. Semua menumpuk saling tindih di dalam lemari. Menawarkan diri setiap hari. Pilih aku... Pakai aku... Hargai aku... </div><div><br></div><div><br></div><div>Kalap namanya di antara deratan yang belum terpakai masih rapi bersama tag dan kancing cadangan. Terus dan terus saja tergoda iklan yang lewat tak ada habisnya. Itulah aku atau kamu atau dia atau siapa saja yang belum mendengar kabar bahwa di luar sana minimalisme telah dikumandangkan. </div><div><br></div><div><br></div><div>Apa kabar kamu yang telah mendekam lama di dalam ember hitam? Aku sudah mengantuk. Tak ada lagi diksi yang bisa aku tuliskan. Sampai jumpa di kamar mandi. Jangan menangis lagi. Doakan saja bulan ini aku tak menambah calon limbah. </div><div><br></div><div><br></div>Ummul Cornhttp://www.blogger.com/profile/06630242829034088448noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3644331111820838624.post-55799651574705828332023-08-14T08:14:00.001+07:002023-08-14T08:34:01.241+07:00Lahir dari Rahim Pergerakan<div><br></div><div>Niat berkunjung ke rumah Ning An sudah lama saya agendakan. Seorang teman yang saya anggap guru karena segala apa yang terucapkan dari beliau selalu menggugah. Ya, beliau memiliki pengaruh luar biasa bagi teman-teman semasa kuliah, dan kini bagi lingkungan masyarakat di sekitarnya. </div><div><br></div><div><br></div><div>Perjalanan kali ini saya menemani Devi dan Jalal, bayinya yang berusia 8 bulan dalam agenda serabutan. Tiba di Pamekasan pada pukul 07.12 WIB dengan mendapati jalanan sesak oleh penonton karnaval tujuhbelasan, kami memilih terus berjalan ke arah Teja melewati rute sebelah utara masjid agung Asy-Syuhada. Benar saja, perjalanan yang tak memiliki tujuan, akan membawa kita pada situasi kebingungan. </div><div><br></div><div><br></div><div>Karena dari Teja tembus ke jembatan Gurem, saya ingat itu adalah jalan menuju rumah Ning An. Ditelponlah beliau dan ternyata sedang santai di rumah. Kami berbalik arah ke barat mengikuti panduan google maps. Menyusuri jalanan yang agak sedikit menantang bagi pengemudi yang baru belajar menyetir mobil. </div><div><br></div><div> </div><div>Hanya butuh 11 menit kami telah tiba di ALAS (Al-Amien Larangan Slampar), sebuah akronim unik untuk nama kediaman beliau. Letaknya berada di tengah sawah berbandar langit yang saya kira pengairannya dari hujan saja, tetapi dugaan saya keliru ketika terlihat tiga tandon besar di sudut halamannya. Tanah di sini ternyata subur. </div><div><br></div><div><br></div><div>Lalu saya teringat postingan-postingan Ning An seputar kegiatannya mengajari anak-anak beliau menanam sayur di samping rumahnya. Ternyata itu bukan pencitraan di sosmed saja, melainkan memang nyata. Dasar pikiran saya yang penuh drama! </div><div><br></div><div><br></div><div>Seperti biasa, beliau menyambut kami dengan senyum dan bahasa halus namun terkesan jenaka. Sebuah sapaan khas yang hanya dipahami bagi yang mengenalnya. Bagi saya, itulah magnet yang membuat saya tak sungkan mendiskusikan apa saja tentang kehidupan. </div><div><br></div><div><br></div><div>Di tengah gempuran fashion, beliau konsisten dengan penampilan sederhana dan apa adanya. Wajahnya tidak pernah terlihat berdandan. Tubuh yang tinggi masih dengan BB stagnan membuat saya iri. Dan satu lagi ciri beliau yang menular, yaitu mencubit atau memukul halus lawan bicaranya. </div><div><br></div><div><br></div><div>Kami dipersilakan duduk di ruang perpustakaan pribadi yang kemudian saya tahu bahwa ruangan itu dimanfaatkan untuk anak-anak masyarakat sekitar sana. Sementara orang tuanya mengikuti pengajian, anak-anak bisa membaca dengan leluasa. Literaturnya cukup lengkap, mulai dari genre sastra anak dan dewasa, kitab klasik, juga boarbook untuk balita. </div><div><br></div><div><br></div><div>Ning Nur Hasanatul Hafshaniyah masih seperti yang saya kenal dulu; lahir dari rahim pergerakan dan terus tumbuh memperjuangkan masyarakat. Beberapa bulan terakhir beliau menghubungi saya dalam misi membangunkan kamar mandi untuk seorang nenek sebatang kara. Beliau menggalang dana secara mandiri dan mengurus seluruh perlengkapannya bersama sang suami. </div><div><br></div><div><br></div><div>Saya hanya geleng-geleng menyaksikan pasangan di era ini yang empatinya di luar nalar. Mereka tidak sekedar membaca buku, melainkan situasi masyarakat di sekitarnya. Dan itulah memang hakikatnya manusia; bermanfaat bagi manusia lainnya. </div><div><br></div><div><br></div><div>Siang itu kami pamit pulang dengan perasaan puas mengantongi obrolan padat berisi. Mulai dari krisis cara pandang masyarakat saat ini dalam menilai pernikahan, sampai urusan menjamurnya pabrik rokok di Madura. Apapun obrolannya, endingnya pasti beliau memaksa makan. 🤣</div>Ummul Cornhttp://www.blogger.com/profile/06630242829034088448noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3644331111820838624.post-7839860356922716462023-08-07T20:26:00.002+07:002023-08-08T09:54:43.175+07:00Level Cak Isni<div><br />Siang itu, tiga tahun yang lalu, suami mengantar saya terapi ke Pak Enos di Bragung, Guluk-Guluk, Sumenep. Beliau adalah praktisi pijat refleksi di bagian kaki. Tidak hanya mengobati fisik, tetapi juga mental dan pola pikir melalui sugesti serta tausiah yang beliau sampaikan pada setiap pasiennya. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Gaya Pak Enos yang demikian mengingatkan saya pada Patch Adam, seorang dokter pendiri Gesundheit Institute berasal dari Washington yang mengobati melalui humor, curhat, dan konseling. Saya lalu berpikir, andai setiap tenaga kesehatan punya sedikit waktu untuk mendengarkan sekelumit persoalan yang berkaitan dengan kesehatan pasiennya, tentu saja proses pengobatan tidak akan berjalan kaku seperti yang sering kita jumpai. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Yang paling marak biasanya menjelang proses persalinan. Dokter spesialis kandungan di kota tertentu di Madura misalanya, sering kali menyikapi persalinan sebagai proses sepele. Biasanya memutuskan perkara tanpa peduli bagaimana kondisi yang sebenarnya. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Contoh kasusnya terjadi pada teman saya. Diagnosa dokter malaporkan ketuban pecah dan menyarankan operasi caesar. Suaminya bersikeras tidak setuju karena memang berasal dari keluarga tidak mampu. Akhirnya diboyonglah sang istri. Ketika dibawa ke dokter lain di kota asalnya, ternyata air ketuban masih 90% utuh serta peluang lahir normal sangat besar. Dan banyak kasus janggal lain seputar persalinan yang seperti didorong untuk menjalani proses sesuai kehendak dokter, dengan segala kongkalikong di dalamnya. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Dalam kasus persalinan, Pak Enos juga banyak membantu perempuan untuk berjuang lahir normal. Beliau tidak menyentuh bagian perut, melainkan hanya kaki. Beliau mengibaratkan tas yang hendak saya ambil di kursinya waktu itu. Katanya tak perlu menyentuh tasnya langsung, menyeret tali panjangnya sudah bisa menarik tasnya sekaligus. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Hanya dengan menyentuh beberapa titik di kaki saya pada awal mula menjalani terapi, beliau sudah banyak menjabarkan detail problematika kehidupan saya. Mulai dari kondisi rahim sampai mental dan kepribadian saya. Saya percaya, karena apa yang beliau sampaikan berkenaan dengan kondisi rahim kurang lebih sama seperti hasil USG ke dokter Wongso Suhendro kala itu. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Beberapa kebenaran mengenai kondisi hidup saya beliau baca secara gamblang. Salah satunya keruwetan hidup yang tak mau mengenal kata santai. Memang saya akui setiap kali akan menjalankan aktivitas, selalu saya pikirkan jauh sebelumnya, sekecil apapun itu. Jika ada undangan pada pukul 12 siang biasanya saya pikirkan 6 jam sebelumnya. Sama persis seperti kalimat yang disampaikan Pak Enos. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Namun begitu, beliau bukan dukun tukang ramal. Dugaan saya, beliau pernah mengenyam pendidikan psikologi atau sesuatu yang berkaitan dengan itu sehingga tebakan-tebakan beliau untuk pasiennya hampir selalu benar. Sama seperti cerita Nyai Fairuzah ketika merekomendasikan beliau kepada saya. </div><div><br /></div><div><br /><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjwr9Rrljf9FW2UPrbSb-pChkxtBcIoUH5onbUkB4UZ3eA4w95qP23zDyURFSTnbDlOnIhRdkh5-Ve_AC1vdpdmYAPOmt3TREF1jV5z69gsrz8LTP6f6Q22pVlekClngRbTcyr-v1vSIjRUmVhRP7moTqsprTssKyYa37fUouJx6-n2SUfhgTe8yvn8Vz1Z/s1440/1691461281095.webp" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1440" data-original-width="1440" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjwr9Rrljf9FW2UPrbSb-pChkxtBcIoUH5onbUkB4UZ3eA4w95qP23zDyURFSTnbDlOnIhRdkh5-Ve_AC1vdpdmYAPOmt3TREF1jV5z69gsrz8LTP6f6Q22pVlekClngRbTcyr-v1vSIjRUmVhRP7moTqsprTssKyYa37fUouJx6-n2SUfhgTe8yvn8Vz1Z/w320-h320/1691461281095.webp" width="320" /></a></div></div><div>Pak Enos memandang suami yang duduk di samping saya. Beliau lalu tersenyum ke arah saya sambil berujar, "Bisa tidak Anda meniru sedikiiit saja, ketenangan seperti Mas Habibi?" Kalimat tanya retoris itu masih saya paksa jawab. Namun sanggahan demi sanggahan yang saya ucapkan rupanya semakin menunjukkan bahwa saya gegabah, bandel, dan susah mengindahkan omongan orang. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Saya akui, ternyata memang belum mengenal suami sepenuhnya. Sisi agung tentangnya seperti disampaikan Pak Enos malah mengejutkan saya. Karakter suami yang jarang bicara dan jarang memberi perintah, saya anggap itu sekedar kebiasaan baik saja. Ternyata levelnya di atas itu. Pantasnya dia berkata, "Killing Spree!" kepada saya. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Oke, saya setop di sini saja pembahasan tentang Cak Isni. Apapun kepribadian yang dia miliki, akan terus saya pelajari. Karena kami hanyalah dua orang dewasa yang terus belajar saling memahami. Doakan kami menjadi pasangan yang Allah ridai.</div><div><br /></div><div><br /></div>Ummul Cornhttp://www.blogger.com/profile/06630242829034088448noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3644331111820838624.post-18270608036968933272023-08-07T09:36:00.002+07:002023-08-08T10:02:08.277+07:00Sekumit Refleksi Hidup<blockquote style="border: none; margin: 0 0 0 40px; padding: 0px;"><blockquote style="border: none; margin: 0 0 0 40px; padding: 0px;"><div></div></blockquote></blockquote><div><br />Tidak ada hidup yang instan. Semua berjalan mengikuti arus perjuangan. Langkah macam apa yang kita ambil turut menentukan hasilnya di masa depan. Bemalas-malasan di masa kini, suatu kelak akan kerepotan. Sementara brepayah-payah saat ini, pasti santainya belakangan. </div><div><br /></div><div><br /><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgZJXI7zlidTvfw_tmPoxAtZFpKofdOPoAPd3FajUS-XJjmorFtAs3bQozlgPt7i8hpEmLoo9uUuYJtKCRwO6krzJoCksUEBoQ_oRDk8ptYo3fvwBUZGMaf1ypl1QoKXUhlAjP89BGtNKpkG2c0X0qSvXxcuGW964T6Nbzek1zHrH10-zdcafwnlEmdkcA6/s1080/1691463547947.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1080" data-original-width="1080" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgZJXI7zlidTvfw_tmPoxAtZFpKofdOPoAPd3FajUS-XJjmorFtAs3bQozlgPt7i8hpEmLoo9uUuYJtKCRwO6krzJoCksUEBoQ_oRDk8ptYo3fvwBUZGMaf1ypl1QoKXUhlAjP89BGtNKpkG2c0X0qSvXxcuGW964T6Nbzek1zHrH10-zdcafwnlEmdkcA6/w200-h200/1691463547947.jpg" width="200" /></a></div></div><div>Dulu, ketika ke mana-mana masih bermotor, secara getol saya berdoa kepada Tuhan untuk diberi rejeki kendaraan roda empat berpintu dua agar ketika pulang ke rumah mertua tidak kehujanan atau kepanasan. Karena dalam doa itu saya lupa menyebutkan merk Lamborghini atau Toyota Supra, Tuhan memberi kami mobil Carry keluaran tahun 2000 berwarna putih. Memang benar berpintu dua, namun jenis pickup. Dananya kami peroleh dari laba berdagang di laman jual beli hp online. Sebuah perjuangan yang tidak akan pernah kami lupakan. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Aneka rasa dalam jual beli online kami cicipi di tahun pertama pernikahan. Menjajaki jalanan di bawah terik siang hari, atau kehujanan bersamaan dengan perasaan kecewa saat barang yang kami buru tidak sesuai harapan sudah kami alami. Ditipu sesama pedagang juga sering. Semua rentetan kejadian itu adalah proses panjang yang kemudian mengantarkan pada kehidupan kami saat ini.</div><div><br /></div><div><br /></div><div>Memang hidup ini tidak mudah. Ujian datang seperti perputaran siang dan malam tak ada habisnya. Yang perlu ditanamkan dalam mindset kita adalah Tuhan tak akan membiarkan kita terpuruk sepanjang tahun. Dia menyaksikan perjuangan umat manusia sembari menilai kinerjanya apakah layak naik jabatan atau malah menerima demosi. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Dalam sebuah percakapan ringan dengan suami, saya pernah mengutarakan kegelisahan. Apakah nasib kita akan terus seperti ini? Menyambung hidup dari jalan ke jalan secara tak menentu? Jawaban suami singkat saja, bahwa suatu saat para pejuang sejati akan meraih kemenangan. Nalar saya yang dangkal hanya mengiyakan ucapannya tanpa pikir panjang. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Pengalaman penuh tantangan mengasah saya menjadi pribadi yang lebih kuat. Sampai takdir membawa saya tinggal di rumah mertua. Membantu usaha pabrik tahu tempe yang dikelola keluarga di sana.</div><div><br /></div><div><br /></div><div>Hidup tiba-tiba menjadi mudah. Tiga tahun lamanya hanya menjalani aktivitas pabrik-dapur-kamar, saya nyaris tidak ke mana-mana. Tak ada kegiatan ilmiah apalagi liburan. Tetapi saat itu saya merasa nyaman dan menikmati momen di mana saya memiliki orang tua lengkap lagi, abah dan emak mertua yang menganggap saya sebagai anak kandungnya sendiri. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Dengan penuh penerimaan, saya pun mempersembahkan pelayanan kepada abah selayaknya terhadap ayah sendiri. Waktu itu abah terserang penyakit asam lambung. Kami bawa beliau berobat ke mana-mana menggunakan pickup Carry putih milik suami. Bisa dibayangkan betapa sesaknya ruang yang hanya tersedia dua kursi memuat empat orang dewasa. Ditambah lagi tak ada AC, hanya dua bola kecil kipas angin yang dipasang di atas dashboard. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Sepulang dari berobat, abah bertanya kepada suami tentang mobil yang layak untuk keluarga. Suami merasa heran, sebab abah adalah manusia nomor satu yang menampik membeli mobil, sejak dulu. Bukan tidak mampu, beliau memiliki alasan lain yang dirahasiakan. Pada akhirnya pertahanan beliau jebol disebabkan kebutuhan. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Tahun 2018 Tuhan mengabulkan doa saya lagi untuk menikmati mobil keluarga lewat jalur mertua. Saya meyakini rejeki itu jalannya memang beragam, sebagai hamba yang beriman saya hanya patut mensyukurinya. Sebab saya pernah mendengar nasehat kawan tentang apa yang kita nikmati hari ini, itulah rejeki kita yang sebenarnya. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Abah membeli Isuzu Panther LS tahun 2001 berwarna coklat muda metalik kepada orang Sumenep kota. Dibayar tunai dengan uang pecahan puluhan dan ribuan yang ketika dihitung lengket membuat penjualnya geli keheranan. Memang, beliau tidak suka menabung di bank. Beliau lebih suka menyimpan uangnya di rumah. Barangkali tempatya di dalam kain alas bantal, atau tempat-tempat yang sekiranya luput dari prediksi maling. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Panther adalah pilihan yang tepat bagi kami. Dengan dana minim, sudah bisa menikmati mobil bertenaga besar, mudah dirawat, dan irit bahan bakar. Muatannya juga sangat cukup menampung 'orang sekampung'. Keseruannya terutama kami rasakan saat momen lebaran, silaturrahmi bisa beramai-ramai. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Dari sekelumit cerita saya pribadi, ada refleksi yang menurut saya penting dibagikan. Bahwa berdoa untuk kepentingan diri sendiri, sudah kaprah sewajarnya sebagai hamba yang butuh pada Pencipta. Sedangkan berdoa untuk kepentingan orang banyak adalah kunci agar mudah dikabulkan. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Dulu suami menginginkan kendaraan bermuatan besar memang untuk menampung sanak famili yang berkepentingan. Ketika dalam doa menyebutkan sebuah merk hanya untuk meingkatkan gaya hidup, Tuhan masih menunggu dan menguji. Seberapa layak menitipkan sesuatu yang diimpikan hambanya. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Maka tak heran dengan mereka yang telah hidup dalam keberlimpahan. Barangkali ada rejeki banyak orang yang Tuhan titipkan lewatnya. Ia dinilai pantas atas karunia dunia. Sementara memantaskan diri menjadi seperti yang disenangi Tuhan adalah perkara yang sulit. Kata Andrea Hirata, Tuhan tahu, tapi menunggu. </div><div><br /></div><div><br /></div>Ummul Cornhttp://www.blogger.com/profile/06630242829034088448noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3644331111820838624.post-33193106151532322882023-08-05T22:31:00.002+07:002023-08-08T09:58:14.707+07:00Teladan Spiritual Om Akbar<div><br />Genap sembilan bulan sudah usia toko sembako Alfatihah yang dirintis suami atas dukungan penuh dari sahabatnya, Om Akbar. Beliau memberikan pinjaman barang dari tokonya (toko Merah) secara cuma-cuma terhadap suami. Kami berangkat hanya bermodalkan bismillah dan keyakinan penuh bahwa berniaga adalah pekerjaan mulia seperti dicontohkan Nabi. </div><div><br /></div><div><br /></div><div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjaHr4l5fABWDcwuxTGAndfJWPE6f77YkYxGejgT4CLrfKJjC2INnC7ZqkqD3QDTC33upI9QQsJDg8bSzg8Ek-S9DNyao5BAvppLuGKmdCKYdsnGOFNTUssP3jadrsBv1UAE60j1hu5xGenQV-U8J4kamlObwqxWTQwpXH5Zz_N4QQUEvkvNTC3-eTxEBAr/s3902/1691460908938.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="3902" data-original-width="2088" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjaHr4l5fABWDcwuxTGAndfJWPE6f77YkYxGejgT4CLrfKJjC2INnC7ZqkqD3QDTC33upI9QQsJDg8bSzg8Ek-S9DNyao5BAvppLuGKmdCKYdsnGOFNTUssP3jadrsBv1UAE60j1hu5xGenQV-U8J4kamlObwqxWTQwpXH5Zz_N4QQUEvkvNTC3-eTxEBAr/s320/1691460908938.jpg" width="171" /></a></div>Meski pendapatannya tidak sebesar toko di perantauan, kami cukup bersyukur, sebab membuka 'warung Madura' di Madura adalah impian suami sejak lama. Awalnya saya tidak setuju, mengingat cerita kebangkrutan toko orang tua kami yang bahkan mati suri berpuluh tahun lamanya. Apalagi, waktu itu kami dalam keadaan tak cukup modal untuk membuka usaha lagi. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Pendapatan terbesar kami hanya berasal dari usaha kecil konter dan aksesoris hp. Sebelum merintis bisnis tersebut, suami pernah berencana membuka usaha laundry di Sumenep kota. Di pelajarilah segala hal yang berkaitan dengan dunia binatu itu, mulai dari teknik pencucian, tagging barang, pengemasan, bahkan kami juga mengkalkulasi pengadaan alat. Namun rencana itu buyar karena suami menimbang bahwa saya tak akan sanggup berpayah-payah mencuci banyak pakaian orang, sementara cucian sendiri menggunung setiap hari. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Kami balik badan, beralih membuka usaha konter hp di pasar Ganding. Tepatnya di toko tingkat milik seorang famili yang dari dulu memang berharap salah satu ruangnya dapat dikelola kalangan keluarga sendiri. Saat ini, bangunan tersebut telah berpindah tangan kepada saudagar kaya berasal dari kampung Ronganyar, Ganding. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Bersamaan dengan pergantian pemilik gedung, transaksi penjualan menurun drastis sejak bermulanya pandemi Covid-19 sekitar tiga tahun yang lalu. Pasar online mulai menguasai perdagangan tanah air. Munculnya tiktokshop denga fitur COD (Cash on Dilevery) juga sangat berpengaruh pada pola belanja masyarakat karena dinilai lebih mudah dan praktis. Dampaknya sangat kami rasakan sebagai pedagang offline. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Suami mulai cemas memikirkan pendapatan usaha kami yang tidak stabil. Ia mengutarakan keinginannya membuka usaha baru. Pilihannya ada dua, kuliner atau cabang baru konter hp di lain daerah. Kedua pilihan itu tidak berjodoh untuk kami garap. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Saat kondisi semakin genting, Om Akbar datang sebagai aktor dalam plot twist hidup kami. Perjumpaan beliau dengan suami tahun 2018 di komunitas IPCI (Isuzu Panther Community Indonesia) terjalin sangat baik. Bukan hanya karena lokasi desa kami yang bersebelahan, tetapi lebih kepada sikap hangat Om Akbar dalam menyambut suami membuatnya merasa memiliki saudara laki-laki. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Memang benar kata pepatah Madura, "gala perreng, perreng gala" (Famili kadang seperti orang lain, sementara orang lain berasa famili). Perjalanan hidup kami pun membawa kepada orang asing yang justru lebih memahami emosi dan rahasia terdalam kami melebihi keluarga sendiri. Itu semua kami yakini sebagai cerita yang bukan kebetulan terjadi. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Pada akhirnya, saya menyetujui niat suami membuka usaha dengan modal penuh dari Om Akbar. Dengan harapan semoga usaha yang tengah kami jalankan menuntun kami pada kebaikan-kebaikan. Puncaknya, semoga teladan spritual seperti dicontohkan Om Akbar dapat kami gugu dan tiru. </div><div><br /></div><div><br /></div>Ummul Cornhttp://www.blogger.com/profile/06630242829034088448noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3644331111820838624.post-54099601930312927542023-08-04T17:21:00.001+07:002023-08-05T18:35:29.459+07:00Mengenang Sosok Ayah<div>Jika ada yang bertanya jiwa wirausahaku turun dari siapa, maka ayah adalah jawabannya. Aku mengenal beliau sebagai pejuang yang gigih. Segala upaya dalam menjemput rejeki Tuhan beliau lakukan, mulai dari berdagang tembakau, menjual alat-alat bangunan, dan membuka usaha toko sembako. Semua itu beliau tekuni dengan penuh suka cita. </div><div><br></div><div><br></div><div>Jejak beliau memicu semangatku sejak kelas tiga SD. Beliau mengajariku berniaga kelereng, baju-bajuan dari kertas, dan gambar kolase sinetron yang sangat populer di masa kanak-kanakku. Hampir setiap hari libur beliau tekun mengantarku pada sebuah gang kecil di sebelah barat lahan parkir pasar Ganding. Kini lahan itu dibangun menjadi toko tingkat dan salah satu ruangnya aku sewa untuk membuka usaha. </div><div><br></div><div><br></div><div>Setiap kali lewat di gang itu, saat hendak berjamaah di masjid Lagundi, yang tergambar adalah sosok anak kecil tengah diantar ayahnya menuju toko rumahan bercat hijau. Pada kaca jendela bening itu, aku melihat kenanganku dengan jelas. Proses hidup telah jauh hari ayah ajarkan sembari mempersiapkan kepulangannya menuju Tuhan. </div><div><br></div><div><br></div><div>Sebelas tahun silam ayah telah meninggalkanku. Sebuah kehilangan yang cukup berat bagiku menghadapi kenyataan bahwa sosok pelindungku telah pergi untuk selamanya. Sebuah momentum sakaratul maut pertama yang kuhadapi langsung. </div><div><br></div><div><br></div><div>Aku berada di sisi kirinya saat raga ayah telah melemah. Kulihat tubuhnya mulai kaku tak bergerak. Perlahan nafasnya dapat kuhitung dengan jelas. Lalu kusimpan pandangan terkahirnya sebagai simbol cinta yang agung. </div><div><br></div><div><br></div><div>Peristiwa kepergian beliau begitu mengejutkan namun juga memberikan banyak pelajaran. Utamanya bagaimana memahami sisi lain perempuan. Sosok ibu yang dulunya bergantung sepenuhnya pada ayah kini harus kuat dan mandiri membiayai hidup serta pendidikanku. Sementara aku yang telah digembleng berwirausaha sejak dini merasa bersyukur sebab itu adalah modal besar menyongsong masa depan. </div><div><br></div><div><br></div><div>Ayah adalah sosok guru masa lalu. Banyak guruku di Madrasah Ibtidaiyah bercerita pengalaman menjadi murid beliau. Katanya bahkan sampai ada yang kencing di celana mendengar namanya dipanggil ayah. Ada yang takut pada lirikan beliau. Ada pula yang meringis melihat pelepah kelapa yang dibawa ayah ke dalam kelas. </div><div><br></div><div><br></div><div>Bagiku, ayah tak seseram cerita-cerita di atas. Mungkin itu hanya totalitas beliau saat berperan menjadi guru. Bahkan aku menyimpulkan barokah guru di masa lalu lebih melimpah, bagimana pun gaya mengajarnya. Buktinya tak ada murid yang menuntut gurunya saat secuil kesalahan terjadi dalam proses belajar mengajar. Tak ada murid masa lalu yang berani menatap mata gurunya. Apalagi ketika lewat di hadapan guru, mereka membungkuk atau bahkan menjadikan lutut sebagai kaki. Berikut keistimewaan lainnya hubungan antara murid dan guru masa lalu yang tentu saja tak mampu dinalar. </div><div><br></div><div><br></div><div>Ayahku sejatinya adalah sosok yang hangat dan humoris. Beliau sangat mencintai Nabi Muhammad SAW. Kecintaannya itu dibuktikan dengan menjadi ketua hadrah di kampung kami. Pernah sekali kepergok bak Tin tengah mengigau melantunkan barzanji sampai selesai. Bak Tin hanya tertawa heran menyaksikan manusia bershalawat di dalam tidurnya. </div><div><br></div><div><br></div><div>Kegemaran ayah pada hadrah membuatku juga menyukai Bin Ta'lab. Itu adalah musik kenangan paling indah dalam hiduku. Irama terbaik yang apabila terdengar dari corongan TOA membuat air mataku tak dapat kutahan-tahan. Ada dua kerinduan di sana: terhadap ayah, juga kepada sosok Nabi yang selalu disanjungnya.</div><div><br></div><div><br></div><div>4 Agustus 2023</div><div><br></div><div><br></div><div><br></div>Ummul Cornhttp://www.blogger.com/profile/06630242829034088448noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3644331111820838624.post-67993890728256250462023-02-25T16:00:00.002+07:002023-05-16T08:27:39.458+07:00Kenangan Bersama Nenek<div>Dulu, ketika masih kecil aku lebih sering tidur bersama nenek. Kenangan yang paling aku ingat adalah malam itu, listrik padam disertai hujan dan angin kencang. Nenek menyalakan semprongan, lampu khas masa lalu berbentuk tabung memanjang dari kaca yang dibawahnya berbentuk bulat berisi minyak tanah. Kalau nyamuk datang menyerang aku biasa menggunakan tabung kaca itu untuk menangkap mereka yang hinggap di kelambu atau di tembok. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Nenek ke dapur sebentar dan kemudian datang membawa setoples cengkaruk, makanan dari nasi yang dikeringkan kemudian digoreng dan dibumbui. Mataku berbinar mengendus wangi bawang putih menguar dari toples itu. Aku memindahkannya ke dalam kendil kecil dan meletakkannya di atas dipan. Betapa nikmatnya mengunyah cengkaruk di atas ranjang saat padam dan hujan datang bersamaan.</div><div><br /></div><div> </div><div>Sebelum tidur, nenek suka berceloteh tentang banyak hal. Lebih sering tentang riwayat rumah kami yang dulunya adalah hutan. Katanya ada penjaga tak kasat mata. Kadang menampakkan diri menjadi seekor harimau. Tapi aku tidak takut, sebab kata nenek harimau itu manjaga keluarga kami dari bahaya. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Nenek juga menjelaskan bahwa Ki Jahri, sanak famili kami, adalah pawang harimau itu. Ki Jahri memiliki cincin yang ketika diusap dengan doa akan mendatangkan makhluk astral itu. Aku percaya meski hingga kini tak pernah berjumpa. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Sewaktu muda, nenek adalah perempuan cantik. Garis wajah beliau menunjukkannya. Sepasang mata belo dengan bulu lentik, hidung mancung, dan bibir tipis diperindah dengan tahi lalat tepat di atasnya, di ujung garis sebelah kiri. Aku tak meragukannya, sebab delapan anak beliau mewarisi garis indah itu. Hanya saja tak sampai kepadaku, sebab wajahku, katanya lebih mirip dengan keluarga ayah. Aku sedikit menyesal tapi telah kuterima wujudku apa adanya, sebagai anugerah terindah dari Tuhan. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Nenekku yang cantik itu sekarang sudah tiada. Beliau wafat dua tahun yang lalu, tepat setahun setelah kepergian ibu. Belakangan, banyak yang berkisah dijumpai nenek di alam mimpi. Begitu juga diriku. Nenek datang mengenakan baju brokat berwarna hijau botol dengan kerudung putih panjang yang dikaitkan di leher. Wajah beliau berseri-seri seperti pengantin. Aku memeluknya seraya memohon maaf karena sering marah-marah menghadapi sikap ketuaan beliau yang selalu membingungkan. Semoga nenek diberikan tempat terindah di sisiNya. Amin... </div><div><br /></div><div>Ganding, 25 Februari 2023</div>Ummul Cornhttp://www.blogger.com/profile/06630242829034088448noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3644331111820838624.post-39287792004694846412023-02-19T16:12:00.002+07:002023-02-21T07:38:18.511+07:00Ngeblog, Yuk! <div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgjVQm4xF0QEgnNaZYXhhWLhlg3gOoqZAYItAW-ynLvX5Vz35bzcrkv5Tu0Ddn0OoK___IKWIhUsPYYrEw-J6dgSA1bMUQb5iK5j0RBISdILgNtPzc1DjVn7-tZpLBV1A9hAeq0hBpeIF0E_2C323v7zOLm6UszyqFaYXOGrCRlWyA7EPHSvD2E1voGnA/s2088/1676939039388.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="2051" data-original-width="2088" height="314" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgjVQm4xF0QEgnNaZYXhhWLhlg3gOoqZAYItAW-ynLvX5Vz35bzcrkv5Tu0Ddn0OoK___IKWIhUsPYYrEw-J6dgSA1bMUQb5iK5j0RBISdILgNtPzc1DjVn7-tZpLBV1A9hAeq0hBpeIF0E_2C323v7zOLm6UszyqFaYXOGrCRlWyA7EPHSvD2E1voGnA/s320/1676939039388.jpg" width="320" /></a></div><br />Ketekunan saya mengelola blog di era milenial yang kaum mudanya berkutat di tiktok tak membuat mentalitas saya melemah. Justru karena blogging adalah hal menyenangkan bagi saya, maka tak ada target atau apapun yang membuat saya berharap dapat banyak pengunjung dan atau dimonetisasi. Meski sebenarnya hal itu sangat mudah diupayakan, tetapi saya malas dengan formalitas dan target. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Menulis catatan bagi saya adalah terapi terbaik dalam menyikapi kejenuhan hidup atau luapan emosi terdahsyat ketika opsi media sosial lain tak mampu memberikan ruang privasi. Kebiasaan ini saya tularkan kepada siswa saya lewat materi Teknologi Informatika yang saya ampu di sekolah dan kebetulan merangkap dengan materi Bahasa Indonesia. Tugas menulis materi Bahasa Indonesia kemudian dipublikasikan di blog siswa setiap pekan dan dapat saya nikmati dengan mudah dari rumah. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Memahami karakter siswa jelas bukan hal yang mudah. Apalagi menuntun mereka untuk menyukai dunia tulis-menulis. Tanggapan pertama mereka adalah penolakan. Mereka seperti tertekan. Tetapi melalui latihan-latihan kecil menulis catatan harian setiap minggunya, lama-lama mereka mulai terbiasa. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Stimulus pertama yang saya berikan adalah latihan mendeskripsikan teman sebangku. Dengan antusias mereka menulis bahkan melebihi target. Ada beberapa siswa sebangku di kelas akhir yang ternyata tidak bisa menahan air matanya ketika saling membacakan catatan pengalaman kebersamaan selama kurun waktu tiga tahun. Latihan kecil semacam itu ternyata berhasil menumbuhkan minat menulis mereka. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Sekolah kami, di SMA 3 Annuqayah juga memiliki program penunjang literasi berupa Perpustakaan Masuk Kelas. Pihak perpustakaan memilih buku atau tulisan esai terbaik setiap minggu dan membawanya ke ruang kelas untuk dibaca siswa. Siswa yang mampu menjadi pererensi buku terbanyak akan terpilih menjadi juara untuk kemudian diberi hadiah saat upacara berlangsung. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Kiai Naqib Hasan berkomentar dalam upacara HUT RI tahun lalu, bahwa beliau merasakan karakter yang terus hidup sehingga sekolah kami, rasanya seperti sekolah yang ada di novel-novel. Terutama semangat literasi kebahasaan, literasi lingkungan, dan literasi kemanusiaan menjadi ciri khas yang beliau rasakan. Komentar beliau menjadi energi baru dan selalu terkenang manis di kepala saya. </div>Ummul Cornhttp://www.blogger.com/profile/06630242829034088448noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3644331111820838624.post-60032032945043760172023-01-03T21:40:00.001+07:002023-01-03T21:42:19.154+07:00Jangan Remehkan Sakit Gigi<p dir="ltr">Jika ada persoalan hidup yang boleh saya keluhkan saat ini, adalah sakit gigi. Sudah hampir sebulan saya mencari jalan kesembuhan tanpa harus dicabut ke dokter. Mulai dari membeli obat di apotek, obat eceran di toko jamu, menempelkan kapas yang diolesi minyak angin, perisa sirup, bubuk vanili, dan bahkan dengan cara ditiup jarak jauh oleh seorang ustad pakar gigi. Tetapi hampir semua cara dan obat yang saya konsumsi hanya membantu mengurangi rasa sakit dan bukan mengobati. </p><p dir="ltr"><br></p><p dir="ltr">Rasa sakit itu timbul tenggelam secara tak terduga. Bila tiba masa kedatangannya, ia seperti seekor semut merah yang merayap melewati kubangan gigi ke gusi, menjalar ke kepala, leher dan sekujur tubuh. Sensasi yang disajikan menimbulkan denyut hebat persis jarum ditusuk-tusuk. Akibatnya, perasaan sensitif selalu ingin marah-marah. Jangankan ada orang asyik berbicara, deru kendaraan saja bisa menjadi masalah.</p><p dir="ltr"><br></p><p dir="ltr">Inilah rasa sakit yang dulu membuat saya penasaran. Setiap kali ada orang mengeluh sakit gigi bahkan menangis di dekat saya, saya seperti tertantang ingin juga merasakan. Akhirnya sekarang saya menggapainya. </p><p dir="ltr"><br></p><p dir="ltr">Sakit gigi ini, sejujurnya memang berawal dari kecerobohan saya. Seringkali suami menegur karena saya jarang menyikat gigi menggunakan pasta. Alasannya karena tidak suka. Rasa pedas pasta gigi membuat saya mual dan sering meludah. Tak terbayangkan sama sekali akan mengantarkan saya pada kondisi di mana semua orang ingin saya kutuk agar bisa merasakan sakitnya bersama-sama. </p><p dir="ltr"><br></p><p dir="ltr">Mungkin saja ini juga karena faktor bertambahnya usia yang mengakibatkan penurunan imun secara signifikan. Seperti pernah dianjurkan ayah mertua agar bernikmat-nikmat selagi masih muda, karena bila sudah tua, indera perasa akan terus berkurang. Sakit gigi ini pun menjadi penghalang untuk menikmati masakan pedas, sambel terasi, kuah santan, krupuk dengan tekstur keras, dan aneka hidangan manis. </p><p dir="ltr"><br></p><p dir="ltr">Kegiatan berkuliner menjadi sangat terbatas. Makan nasi pun harus ektra hati-hati, sebab bila sebutir saja masuk ke dalam rongga gigi, maka masalahnya akan rumit. Rombongan semut merah membawa pedang jarum pentul itu akan datang menjajah liang geraham sembari mengantarkan rasa sakit tak tertahankan mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki. </p><p dir="ltr"><br></p><p dir="ltr">Saya yakin almarhum Meggy Z tidak pernah merasakan sakit gigi selama hidupnya sehingga dengan mudahnya mengarang lirik lagu "lebih baik sakit gigi dari pada sakit hati". Bagi saya keduanya bukan pilihan, sebab sama-sama tidak mengenakkan. Bagaimana jika mereka datang bersamaan? Bisa dibayangkan sakitnya ada berapa lapis? Ratusan.</p><p dir="ltr"><br></p><p dir="ltr">
</p><p dir="ltr">Tambuko, 03 Januari 2023</p>Ummul Cornhttp://www.blogger.com/profile/06630242829034088448noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3644331111820838624.post-53659057254232496442022-12-07T08:55:00.003+07:002023-02-21T08:13:27.353+07:00Suami Edisi Terbatas<div><br /><br /></div><blockquote style="border: none; margin: 0 0 0 40px; padding: 0px;"><div style="text-align: left;"><br /></div></blockquote><div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjrEl-HrPcNEG3RFj04XzYzwGS4i_7n8xT0EpNGO5t1gxODnZaK5-P_1TUM0I81rDWemMbP79Z49q1DOn79i2f6l4Hc8XwdILUkRWXq9HrXkHmORZpRORKA0zgQvY0ua-4ir9dx0E7eJyEC0pQGdMuAQbGda8ETtJzjYgmOGEsRPqRMW8LwH7VImhbIoA/s1440/1676941248209.webp" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1440" data-original-width="1440" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjrEl-HrPcNEG3RFj04XzYzwGS4i_7n8xT0EpNGO5t1gxODnZaK5-P_1TUM0I81rDWemMbP79Z49q1DOn79i2f6l4Hc8XwdILUkRWXq9HrXkHmORZpRORKA0zgQvY0ua-4ir9dx0E7eJyEC0pQGdMuAQbGda8ETtJzjYgmOGEsRPqRMW8LwH7VImhbIoA/w320-h320/1676941248209.webp" width="320" /></a></div>Cita-cita menjadi petani nyaris tidak pernah disebutkan dan didambakan oleh siswa. Sebab petani selalu identik dengan generasi tua, kolot, susah, dan masa depan suram. Begitu juga pandangan saya terhadap dunia pertanian. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Sebelumya, saya mencoba menghentikan Suami untuk berpayah-payah merawat sawah peninggalan orang tua kami. Selain karena kami disibukkan dengan kegiatan berniaga, juga karena kakak dua pupu saya yang pengusaha memberi saran untuk meninggalkan pekerjaan bertani. Katanya agar kami fokus pada bisnis yang untungnya lebih besar. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Sayangnya, ketika saya menyampaikan saran kakak, kami bertengkar hebat, karena suami saya memang tergolong manusia konservatif. Ia cenderung mempertahankan setiap tradisi yang diwariskan almarhum ayah mertua. Bahkan ia selalu mengingat wasiat beliau sebelum berpulang, kira-kira begini maksudnya, "Bertani adalah pekerjaan mulia. Sebab petanilah yang memproduksi dan menghasilkan pasokan makanan untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat."</div><div><br /></div><div><br /></div><div>Pemikiran pragmatis saya tumbang di hadapan prinsip suami. Ia sebenarnya kecewa karena saya mengaku orang lingkungan, yang paham bawah negara Indonesia adalah negara agraris, kaya akan bibit dan pangan lokal yang perlu dipertahankan. Tetapi saya justru tidak mendukung semangatnya menekuni aktivitas bertani. </div><div><br /></div><div><br /><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjlCLzuY8B-gC4RR72Ok2Z4yHJea8a_dt8AdKbCOa-ZlytOcYMQnu09SLnyAhHh2W5lT24DJiVd2z0OTsKFCGboX1fi4kE6Rx3zcWZeifxzNALS8uGXU5osfm7zrYNzcQyeGVx_z5QERWRmcJpCj2My6e4vPmLFHA0YjcP-dzsG7ccaGR8qctPhLrubsg/s1440/1676941248201.webp" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1440" data-original-width="1440" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjlCLzuY8B-gC4RR72Ok2Z4yHJea8a_dt8AdKbCOa-ZlytOcYMQnu09SLnyAhHh2W5lT24DJiVd2z0OTsKFCGboX1fi4kE6Rx3zcWZeifxzNALS8uGXU5osfm7zrYNzcQyeGVx_z5QERWRmcJpCj2My6e4vPmLFHA0YjcP-dzsG7ccaGR8qctPhLrubsg/w200-h200/1676941248201.webp" width="200" /></a><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh6Jx7MfzRFOTEYGoV51N_oSmUzz4CB-_8nnkUFUTDOAaeXlxXBF6W-bno0rO1nyJC8vcQLUkx-xE5ck_LhWLKL2-5F2s_B2M3vV4JhQbQNXggIoAt5wbA7rE1HfDpVi50ZcMulM9GVpIZFQiV3nMPlcOj9iOJce3Tbj5pZtpDykKrw9xpXUsxI__G7Kw/s1440/1676941248186.webp" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1440" data-original-width="1440" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh6Jx7MfzRFOTEYGoV51N_oSmUzz4CB-_8nnkUFUTDOAaeXlxXBF6W-bno0rO1nyJC8vcQLUkx-xE5ck_LhWLKL2-5F2s_B2M3vV4JhQbQNXggIoAt5wbA7rE1HfDpVi50ZcMulM9GVpIZFQiV3nMPlcOj9iOJce3Tbj5pZtpDykKrw9xpXUsxI__G7Kw/w200-h200/1676941248186.webp" width="200" /></a></div></div></div><div><br /></div><div><br /></div><div>Sejak saat itu, saya belajar menerima kenyataan. Saya anak petani memang perlu meneruskan perjuangan orang tua kami. Bagaimanapun lelahnya; menabur pupuk, memperbaiki pematang yang jebol, menyiapkan makanan untuk pekerja, serta merelakan modal awal yang kadang tidak kembali utuh. Saya meyakini keberkahan mengalir dalam pekerjaan mulia ini. Dan hal terpenting di balik spirit bertani yang ditekuni suami adalah sebentuk tanggung jawab untuk memperjuangkan kebahagiaan kami. </div><div><br /></div><div>07 Desember 2022</div>Ummul Cornhttp://www.blogger.com/profile/06630242829034088448noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3644331111820838624.post-86070967908439735622022-11-05T05:50:00.002+07:002023-02-02T12:02:49.085+07:00Cinta Tuhan yang Menyatukan<div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh0OPCXaw3O1-3JHy6eyE4WHMjkywPUy2wNNXoTWip7YFCCu_H0jlMaxycqSo5EEBb_rrPlzryifRmNVuTDpUube8cL3Qc1QOdUi5yiLEM8Bidji38a4JXoTIV7MPTDfNSSg01rv-joIc1M3OR25Feh2XMknbhM6btAgKtVoRFW-uo7XQWG1d1mJHeHfA/s4640/1675309484686.jpeg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="4640" data-original-width="2088" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh0OPCXaw3O1-3JHy6eyE4WHMjkywPUy2wNNXoTWip7YFCCu_H0jlMaxycqSo5EEBb_rrPlzryifRmNVuTDpUube8cL3Qc1QOdUi5yiLEM8Bidji38a4JXoTIV7MPTDfNSSg01rv-joIc1M3OR25Feh2XMknbhM6btAgKtVoRFW-uo7XQWG1d1mJHeHfA/w144-h320/1675309484686.jpeg" width="144" /></a></div>Berziarah pada orang pulang haji atau umroh, tak jarang kita mendengar cerita aneh. Biasanya sesuatu yang berkaitan dengan hal ghaib. Kadang berupa terkabulnya doa secara spontan, kelucuan, atau malah penampakan balasan amal buruk. Ada yang menanggapinya dengan ketakutan berlebihan, ada pula yang mengabaikan. <br /></div><div><br /></div><div><br /></div><div>Ragam cerita itu, biasanya dikisahkan dari masa ke masa. Seperti yang paling populer, seorang awam yang dulu di rumahnya masih menggunakan lampu 5 watt dimampukan berhaji. Sesampainya di Mekah dia terkejut mendapati gemerlap lampu benderang lagi banyak. Ketika dia tiba di pelataran masjidil Harom dan melihat Ka'bah, kemudian dia berujar, "Pantas saja lampu di sini terang tak terkira, lha wong akinya sebesar ini." pikirnya sambil menunjuk Ka'bah. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Cerita kedua, saya dengar langsung dari seorang famili sepulang umroh. Beliau berkisah mendapat perlakuan istimewa di Mekah. Saya bertanya apakah gerangan? Beliau menjelaskan bahwa di hotel ia dibawa terbang malaikat ke atas dan ke bawah. Saya masih heran. Mungkinkah beliau bisa terbang? Usut punya maksud, ternyata yang beliau ceritakan adalah elevator. Gemas sekali. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Ada banyak kisah lain yang kadang kita dengar dari mulut ke mulut atau secara langsung. Pastinya kita harus menyikapinya dengan bijaksana. Jika itu berupa ketakutan akan nasib kita di sana, maka pasti kita akan memperbaiki amal kita, jangan tunggu sampai tiba keberangkatan. Tapi saran saya, bersiakaplah sewajarnya; jangan terlalu takut, jangan pula terlalu congkak. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Saya juga punya cerita, satu pengalaman yang tidak akan pernah terlupakan. Di Madinah, saya jarang berdua ke masjid bersama suami. Selain karena kamar kami memang terpisah, suami lebih sering membantu mendorong jamaah rombongan kami, namanya bapak Wahyuni. Beliau memang tidak lumpuh, hanya lemah karena patah tulang. Suami yang dari sananya memang memiliki empati tinggi, saya perhatikan selalu bersama bapak Wahyuni. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Di Mekah, kami juga jarang berdua. Setiap kali melihat pasangan bersama-sama, hati saya bergetar oleh perasaan iri. Semakin hari, semakin sering saya jumpai pasangan bersikap romantis. Pernah saya temui ada yang pegangan tangan di eskalator jalan menuju pulang ke hotel. Pernah pula saya melihat seorang suami tengah merangkul istrinya saat bertawaf. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Sore itu, selepas shalat ashar, saya berniat melakukan tawaf sunnah. Memulai berniat dari lampu hijau lurus dengan hajar aswad dan berputar mengikuti arus. Terdengarlah doa-doa dipanjatkan dengan khusuk dan penuh penghayatan. Kedua telinga hanya mendengar doa, mulut sendiri merapal doa, dan mata menyaksikan betapa orang-orang larut dalam lautan doa. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Saat berdesakan, di hadapan saya ada pasangan saling merangkul. Cepat-cepat saya dahului dengan bergeser ke arus putaran terdalam. Pada putaran ketiga, saya menjumpai pasangan lain tengah saling melindungi. Dada saya penuh oleh perasaan aneh. Saya menangis bukan lagi khusuk berdoa, melainkan meratapi perasaan kesendirian. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Muncul bayangan tentang kesendirian di dalam kubur, menciptakan perasaan tak karuan. Saya menyadari sepenuhnya sesungguhnya kita memang selalu sendiri. Orang-orang yang datang ke dalam hidup kita, mencintai dan melindungi kita, hanya sebentuk rahmat Tuhan untuk memperindah kisah kesementaraan. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Cukup lama pikiran saya mengurai tentang kesejatian diri, sampai secara tiba-tiba saya dikejutkan oleh tepukan di bahu kanan. Sontak saya menoleh dan mendapati suami merangkul saya dari belakang. Saya masih kebingungan merangkai isi hati, keinginan kuat, dan betapa cepatnya Tuhan mengabulkan. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Baru saja saya berpikir tentang betapa bahagianya pasangan bisa bertawaf bersama seraya saling melindungi, Tuhan lalu mengabulkan keinginan saya di putaran kelima. Tangis saya pecah membuat suami kebingungan. Ia menepuk bahu saya sambil terus khusyuk membaca doa.</div><div><br /></div><div><br /></div><div>Tiba di rukun yamani, kami membaca doa sapu jagat bersamaan. Terbuai oleh perasaan haru dan sesuatu yang tidak bisa di bahasakan. Kami lalu mengecup tangan dan melambaikannya pada hajar aswad. Betapa itu seperti perjumpaan pertama kami. Saya merasa dilahirkan kembali oleh cinta. Cinta Tuhan yang menyatukan. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>05 November, 2022</div>Ummul Cornhttp://www.blogger.com/profile/06630242829034088448noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3644331111820838624.post-49381091321584665112022-11-04T13:43:00.001+07:002022-11-04T15:12:51.416+07:00Menonton Film Perjalanan Agung<div>Setelah satu bulan tidak aktif mengajar, pagi tadi saya mengajak siswa saya di SMA 3 Annuqayah menonton film dokumenter dengan tema spritualitas bejudul Le Grand Voyage yang disutradarai oleh Ismael Ferroukhi. Sebelumnya saya memang berjanji untuk mengajak mereka menonton sepulang dari tanah suci. Saat masuk kelas, mereka menagih dan minta langsung ke perpustakaan. </div><div><br></div><div><br></div><div>Diputarlah film produksi Prancis tahun 2004 tersebut, yang mengangkat kisah sederhana tentang hubungan ayah dan anak dalam sebuah perjalanan suci menunaikan ibadah haji. Uniknya, sang ayah Mohamed Majd, malah menggunakan kendaraan Peugeot seri 306 dengan jarak tempuh 4.828 km dari Provence, Prancis Selatan menuju Mekah. </div><div><br></div><div><br></div><div>Tokoh anak bernama Reda, lulusan SMA dengan latar pergaulan Eropa, dibesarkan oleh sekularisme, dan cenderung menganut nilai-nilai yang lebih modern mempertanyakan mengapa ayahnya menggunakan mobil tua dan bukan mengudara saja. Jawaban sang ayah, menggunakan pepatah Arab-Maroko begitu dalam,</div><div><br></div><div>“Ketika air samudera menguap menuju langit, rasa asinnya hilang dan air tersebut murni kembali. Air samudera menguap naiknya ke kawanan awan. Saat mereka menguap, air akan menjadi tawar, murni kembali. Itulah sebabnya, lebih baik berangkat haji dengan berjalan kaki dari pada menaiki kuda, lebih baik menaiki kuda dari pada menggunakan mobil, lebih baik menggunakan mobil dari pada menaiki kapal, dan lebih baik menaiki kapal dari pada berkendara dengan pesawat”.</div><div><br></div><div><br></div><div>Jawaban tersebut cukup membuat hati Reda tergugah. Namun hubungan menegangkan di antara keduanya bukan lantas mencair dengan mudah. Konflik-konflik kecil ditampilkan dengan sangat sopan sehingga pesannya pun dapat tersampaikan dengan baik. Salah satunya, saat mereka dirampok seorang pemuda Turki berkedok penolong, uang mereka habis menciptakan kecemasan di tengah perjalanan. Sang ayah dengan tingkah ketuannya, penuh kehati-hatian, dan konservatif, mengeluarkan tabungan lain dalam sabuk kain yang ia buat. </div><div><br></div><div><br></div><div>Kreativitas yang ditampilkan dalam film ini bisa menjadi pelajaran bagi kita dalam menempuh perjalanan jauh. Pesan moralnya, jangan langsung percaya pada orang baru, jangan menyimpan uang dalam satu tempat, dan berkaryalah tanpa memandang usia. </div><div><br></div><div><br></div><div>Film favorit saya itu memang sarat akan pesan moral. Sudah lama saya ingin menampilkannya di kelas. Tetapi saya mencari momen yang tepat. Tenyata, baru di tahun ini, saat saya pulang umroh, saya berkesempatan membawanya ke sekolah. Itu seperti menjadi oleh-oleh paling berharga untuk siswa. </div><div><br></div><div><br></div><div>Respon mereka cukup memuaskan. Mereka semua larut dalam tangis saat film telah usai. Saya biarkan dulu ruangan hening. Mereka masih butuh waktu untuk memenangkan hati sebelum melakukan presentasi. </div><div><br></div><div><br></div><div>Memang benar apa yang dikatakan Goleman dalam laman The Conversation, bahwa Menangis dalam menanggapi film mengungkapkan empati yang tinggi, kesadaran sosial, dan koneksi semua aspek kecerdasan emosional. Dengan demikian, ini merupakan indikator kekuatan pribadi alih-alih kelemahan. Saya pun tak sungkan menunjukkan bahwa saya juga bersedih seperti mereka. Saya ikut menangis, bahkan meraung sejadi-jadinya. Biar mereka juga tak sungkan menumpahkan reaksi emosionalnya. Kelas ditutup dengan khidmat, dengan penuh harapan suatu kelak mereka semua berkesempatan untuk berziarah ke Raudah dan Baitullah. </div><div><br></div><div><br></div><div>03 November 2022</div>Ummul Cornhttp://www.blogger.com/profile/06630242829034088448noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3644331111820838624.post-23921087690102057512022-11-03T06:17:00.001+07:002022-12-07T17:08:30.798+07:00Pelajaran dari Rumah Abah Ali<div>Berkesempatan melaksanakan ibadah umroh di usia muda tak pernah terbayangkan sebelumnya. Maklum, sifat labil dalam diri selalu mendorong untuk membelanjakan pendapatan pada jalur keinginan saja. Namun siapa sangka, meski tak ada dana, jika telah sampai pada waktunya, Allah mudahkan segalanya. </div><div><br></div><div><br></div><div>Perasaan haru menginjakkan kaki di bandara King Abdul Aziz Jeddah seumpama gelembung kecil meletup-letup tiada henti. Seperti anak kecil menerima mainan baru, saya mampu melupakan pengalaman menegangkan dan tidak nafsu makan selama sembilan jam empat pulih lima menit di pesawat. Kota Jedah menyambut saya seperti seorang nenek memeluk cucunya. </div><div><br></div><div><br></div><div>Jeddah memang berasal dari bahasa Arab yang berarti "nenek". Merujuk pada Siti Hawa, istri Nabi Adam AS yang dimakamkan di wilayah itu. Letaknya berada di pesisir Laut Merah, menjadikannya sebagai pusat perekonomian penting Arab Saudi. Namun sperti namanya, kesan yang pertama kali saya tangkap, Jeddah adalah kota tua dengan bangunan-bangunan yang hampir rapuh. Banyak penggusuran di kanan kiri jalan dan suasana sepi setiba saya di sana yang kebetulan malam hari, memberikan kesan menyeramkan. </div><div><br></div><div><br></div><div>Berbeda dengan siang hari, Jeddah terlihat begitu eksotis. Pemandangan gurun pasir dan sekawanan unta menciptakan rasa takjub luar biasa. Unta adalah hewan mulia yang memiliki keunikan dan keistimewaan dibanding hewan lainnya. Unta juga beberapa kali disebut di dalam al-Qur'an sebagai bentuk renungan penciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Salah satunya adalah surat al-Ghaasiyah ayat 17-21 dan surah Yasin ayat 71-72. </div><div><br></div><div><br></div><div>Bukan kebetulan, abah Ali dan umi Wasila, mukimin di Jeddah yang merupakan orang tua dari sahabat saya Istifadatul Qamariyah, memang mempersiapkan penyambutan untuk saya dan keluarga. Abah berangkat menjemput kami ke hotel lepas subuh dan baru tiba pada pukul 06.00 pagi. Beliau menggunakan mobil pribadi namun diparkir di batas kota Jeddah-Mekah karena sulitnya area parkiran di sekitar Harom. Bukan tidak ada, tetapi biayanya bisa lebih mahal dari ongkos PP Jedah-Mekah. Jadi kami menaiki taksi dari Harom hingga ke batas Jeddah, dan menyalin kendaraan menuju maktab abah. </div><div><br></div><div><br></div><div>Kami disambut dengan sangat istimewa. Umi menyuguhi kami krupuk yang begitu kami rindukan. Beliau menjelaskan bahwa produk krupuk itu bukan kiriman dari Madura, melainkan bikinan sesama mukimin di Jeddah. Katanya banyak masakan Indonesia kaprah di jual di sana, seperti rujak, bakso, soto dan kawan-kawannya untuk mengobati rasa rindu terhadap kuliner tanah air. </div><div><br></div><div><br></div><div>Umi Wasila juga memasakkan kami sate, gule, dan bakso. Betapa girangnya ipar saya, yuk Nung, yang memang tiga hari tidak makan nasi karena tidak nafsu. Yuk Nung terserang flu setiba di Mekah, jadi ia sangat menampik sajian istimewa di hotel kami. Bakso yang disuguhkan umi Wasilah menjadi secam kolam renang tempat ia menceburkan diri pada rasa nikmat. Berasa masuk warung Indonesia, kami begitu menikmati. </div><div><br></div><div><br></div><div>Pemandangan seperti memasuki restoran tanah air juga saya rasakan ketika dalam perjalanan pulang ke Indonesia. Rombongan jamaah umroh yang diketuai Kiai Masyhudi diberi kesempatan untuk menghabiskan sisa mata uang real di pasar Balad. Sebuah pusat perbelanjaan Corniche Commercial Center yang sebenarnya saya nilai telah usang. Namun kesan istimewa saya rasakan saat memasuki warung Mang Oedin. Orang-orang Indonesia bersemangat mengantri demi semangkok bakso dan mie ayam, tak peduli harus membayar segila lima kali lipat harga Indonesia. Menyaksikan orang-orang bersantap dengan wajah puas, yang saya nilai bukan lagi soal kuliner, tetapi lebih pada kerinduan serta kecintaan terhadap rempah khas Indonesia. </div><div><br></div><div><br></div><div>Para jamaah dari berbagai daerah di Indonesia menyesaki pasar Balad. Melakukan banyak transaksi jual beli seperti memberikan kebahagiaan bagi pedagang penuh keringat yang menawarkan parfum, tasbih, juga kentaki albaik yang tak henti berteriak dengan lantang "albaik albaik per bungkus 25 real, uang Jokowi 100 ribu rupiah".</div><div><br></div><div><br></div><div>Mengenai itu, emak mertua berkomentar bahwa orang Madura menang banyak di Negeri rantau. Berkat pelajaran bisnis dan sikap anti gengsi yang dibiasakan, orang Indonesia mampu mewujudkan usahanya sendiri. Sebuah pelajaran membanggakan bagi kaum muda untuk bangkit bersaing di Negeri sendiri dalam proses membangkitkan perekonomian mandiri. </div><div><br></div><div><br></div><div>Saya lalu teringat lirik lagu qosidah Nasidaria berjudul Tahun 2000. Dalam penggalan lirik itu menyebut tahun 2000 tahun harapan, penuh tantangan, dan juga mencemaskan. Tak hanya itu, pekerjaan serba menggunakan mesin disebut pula, sehingga para pemuda diminta untuk menyiapkan diri, ilmu dan mempertebal iman. Kita telah sampai pada petunjuk (clue) yang disampaikan lagu itu. Maka ayo siapkan dirimu! Siiiaaappp... </div><div><br></div><div><br></div><div>30 Oktober 2022</div><div><br></div>Ummul Cornhttp://www.blogger.com/profile/06630242829034088448noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3644331111820838624.post-50165816209298666012022-10-29T11:10:00.001+07:002022-10-29T20:33:29.989+07:00Candu Panggilan Nabi Ibrahim<div>Dua tahun sebelum wafat, ibu sudah mempersiapkan keberangkatannya ke tanah suci. Beliau menyimpan baju putih pemberian kakak dan berulang kali berpesan bahwa baju itu akan dipakai untuk berhaji. Namun keinginan beliau terputus garis maut. Ibu pergi sebelum impian mulianya menjadi kenyataan. Itulah kenangan terberat yang harus kupikul setelah kepergiannya. </div><div><br></div><div><br></div><div>Badal haji yang kakak tunaikan untuk beliau tidak cukup membuatku puas, karena aku tidak menyaksikan langsung prosesnya. Aku berharap suatu hari nanti bisa menghajikan beliau sendiri. Tentunya setelah rukun hajiku ditunaikan. </div><div><br></div><div><br></div><div>Barangkali itu terkesan dramatis, tetapi segala sesuatu menyangkut orang tua selalu menjadi yang utama dalam hidupku. Maka ketika seorang sahabat bernama Indah Susanti, menitipiku salam untuk ibunya di perkuburan Ma'la, Mekah, aku mencatatnya sebagai agenda wajib. Aku memposisikan diri sebagai Indah, nun jauh di Madura hanya bisa berkirim salam lewat kalamullah dan sedekah, tanpa mampu mengunjungi langsung nisan ibundanya, maskot terpenting dalam hidupnya.</div><div><br></div><div><br></div><div>Sejak bayi indah sudah ditinggal ibunya merantau ke Arab Saudi. Di usianya yang ketiga, saat ibunya usai melaksanakan ibadah haji, tiba-tiba penyakit asma yang diderita kambuh dan mengantarkan beliau pada lorong ajal. Indah kecil belum mengerti apa-apa. Ia hanya bisa menyaksikan teman-teman sebayanya bermanja dalam buaian manusia yang mereka panggil ibu.</div><div><br></div><div><br></div><div>Bayangan kesedihan Indah kembali melintas ketika secara tak sengaja aku melihat mayat membujur di masjidil Haram. Ternyata selepas shalat fardu di masjid Nabawi dan masjidil Haram memang selalu digelar shalat jenazah bukanlah shalat ghaib, melainkan benar-benar shalat jenazah. Pemandangan itu memberikan peringatan bahwa kematian seperti semakin dekat. Terlebih saat bertawaf, saat doa-doa dari manusia di seluruh dunia dipanjatkan, aku membayangkan seakan manusia bangkit dan berkumpul di padang mahsyar, hanya mengharap pertolongan Tuhan dan air dari telaga Nabi Muhammad SAW. </div><div><br></div><div><br></div><div>Kesadaran akan dosa-dosa seumpama hantaman ombak besar yang bergelombang. Aku seperti tenggelam dalam dunia lain. Memohon pengampunan dan kehidupan indah setelah kematian. Bayangan gemerlap dunia tak kuhiraukan. Dadaku hanya penuh dengan kesedihan sekaligus kebahagiaan, yang sepertinya itu adalah puncak perasaan paling megah yang pernah aku cicipi. Dan aku selalu merasa ketagihan. </div><div><br></div><div><br></div><div>Sedahsyat itulah rasanya, mencecapi kenikmatan yang tidak dikunyah. Aku mulai mengerti mengapa orang-orang yang telah berjumpa dengan Baitullah selalu berujar rindu rindu rindu dan ingin kembali. Rupanya panggilan Nabi Ibrahim adalah suara paling merdu yang menjadi candu. Semoga kita semua dapat mendengar seraya menjawab panggilan itu. </div><div><br></div><div><br></div><div>Mekah, 10 Oktober 2022</div><div><br></div>Ummul Cornhttp://www.blogger.com/profile/06630242829034088448noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3644331111820838624.post-29464138966275494672022-10-25T15:41:00.004+07:002023-02-22T07:28:57.651+07:00Menapaki Tanah Baginda<p dir="ltr"></p>
<p dir="ltr"></p><p></p><p dir="ltr"></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiKnWS9UU5S80lxwfreFKryIEZefCpjapWBx0fy6GEIx0XLZRDf0G9CMIGtzhfEQTvbbzB6xVD1hkbwI_5TgIj6igj8bD8mkY5VXUbqisYdTaivQIjQvaYeEeA-vep459D4_QBUmbXT9YuFpMZ6svWZGqmzxkKuyLWQa69DfC9F_KSaZan3KmwSEOSTTg/s2770/1675310308161.jpg" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="2770" data-original-width="2088" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiKnWS9UU5S80lxwfreFKryIEZefCpjapWBx0fy6GEIx0XLZRDf0G9CMIGtzhfEQTvbbzB6xVD1hkbwI_5TgIj6igj8bD8mkY5VXUbqisYdTaivQIjQvaYeEeA-vep459D4_QBUmbXT9YuFpMZ6svWZGqmzxkKuyLWQa69DfC9F_KSaZan3KmwSEOSTTg/s320/1675310308161.jpg" width="241" /></a></div>Alam kota Madinah sangat gersang dan tandus, namun ketika memandangnya ada keindahan dari sisi lain. Mungkin karena keberkahan yang Allah letakkan dengan menjadikan kota ini sebagai tempat bersemayamnya manusia paling agung sehingga nuansanya menyuguhkan keteduhan. Madinah juga menjadi alam yang begitu dicintai karena dulu pernah mewarnai kehidupan Nabi. <p></p><p dir="ltr"><br /></p>
<p dir="ltr">Kesempatan untuk menjelajahi kota ini, aku peroleh di hari ketiga. Rombongan kami yang berjumlah 49 orang akan menziarahi tempat-tempat bersejarah seperti, masjid Bilal, Masjid Quba, Gunung Uhud, masjid Qiblatain, Baqi', dan masjid para sahabat Nabi. Tak lupa juga, kami akan mengunjungi kebun kurma yang menjadi ikon wisata kota Madinah. </p><p dir="ltr"><br /></p>
<p dir="ltr">Bus kami tiba di masjid Quba pada pukul 8.00 pagi Waktu Arab Saudi. Selain harus beradaptasi dengan cuaca panas yaitu 39°C, kami juga harus berdesakan untuk bisa masuk ke dalam masjid yang pertama dibangun oleh Nabi sekaligus masjid pertama dalam sejarah Islam itu. Ra Syafiuddin Uud sebagai mutowif dalam rombongan kami mengisahkan riwayat bahwa masjid ini dibangun atas dasar keimanan dan Nabi berpayah-payah sendiri di dalamnya. Bahkan ketika para sahabat menyuruh Nabi berhenti, Nabi menolaknya, dan meminta agar para sahabat ikut membantu, "<i>Diyarokum-diyarokum, tuktab atsarokum</i>", [Biarlah biar, kerjakanlah jika kalian ingin membantu], begitu arti yang kutangkap dari penjelasan ustad Uud. </p><p dir="ltr"><br /></p>
<p dir="ltr">Memandangi masjid ini dari kejauhan, aku begitu takjub. Seolah ikut merasakan keberadaan Nabi pada zaman dahulu. Membayangkan Nabi menyentuh setiap puing-puing bagunan dan bahkan menyisakan bekas langkah beliau di sepanjang pelataran masjid. Ya, kepalaku memang selalu penuh dengan visual. Ia menampilkan rangkaian kejadian-kejadian seperti sebuah film dokumenter. </p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhoHLYhtVWiXzbFPa5Kiqxi9wWmXo0Mo2EGsaQlvV0F0vBQ0mcyQAwcDFK2cAcnuocQKoBOaGXTMd6hZm2ZeGShC2ZFOPWX02zImBmqOFThrWTik88cE9PQFhq8zbXQh8kQLCBWBQWjoyxKTlrc8fSg87ftt5Q87KgNeM5Tv3hJWgdfZhAc3VpTlmJv5g/s2784/1677024926858.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="2784" data-original-width="2088" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhoHLYhtVWiXzbFPa5Kiqxi9wWmXo0Mo2EGsaQlvV0F0vBQ0mcyQAwcDFK2cAcnuocQKoBOaGXTMd6hZm2ZeGShC2ZFOPWX02zImBmqOFThrWTik88cE9PQFhq8zbXQh8kQLCBWBQWjoyxKTlrc8fSg87ftt5Q87KgNeM5Tv3hJWgdfZhAc3VpTlmJv5g/s320/1677024926858.jpg" width="240" /></a></div><br /><p dir="ltr"><br /></p>
<p dir="ltr">Bagian yang paling mudah membuatku larut dalam tangis adalah ketika membayangkan masa kecil Nabi sebagai seorang Yatim dan miskin. Kemudian setelah enam tahun sang ibu juga menghadap Rabbnya. Betapa Nabi Muhammad kecil telah diuji kerentanan dan mentalnya sebagai persiapan menjalani tugas sebagai Rasul Tuhan di masa depan. </p><p dir="ltr"><br /></p>
<p dir="ltr">Lalu aku teringat anak-anak yatim di kampungku. Terutama kemenakanku, anak almarhum Muzammil Omeng, namanya Imam. Setiap aku dan suamiku berkunjung, ia selalu berbinar, datang ke pangkuanku dan kadang juga bersedia aku cium. Tak pernah aku jumpai ia bersedih karena kepergian ayahnya di usianya yang masih balita. Tetapi bagaimana pun seorang yatim, tetap membutuhkan fondasi mental kuat serta dukungan dari keluarga dan orang-orang terdekatnya. Itulah mengapa Nabi begitu mencintai yatim dan menyeru kepada umatnya agar berbelas kasih kepada mereka. </p><p dir="ltr"><br /></p>
<p dir="ltr">Siang itu aku larut dalam sujud di dalam masjid Quba. Merasakan penderitaan Nabi dari sisi masa lalunya. Menjadi insan yatim piatu yang juga merindukan ayah ibu. Merenungkan betapa perjalanan ini, sebagian besar adalah sekolah yang harus aku kaji lembar demi lembar. Semoga kita semua segera terpanggil menjadi tamu Allah, dengan rejeki yang tak disangka-sangka, seperti hujan yang kadang turun secara tiba-tiba. </p><p dir="ltr"><br /></p>
<p dir="ltr">10 Oktober 2022</p>Ummul Cornhttp://www.blogger.com/profile/06630242829034088448noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3644331111820838624.post-79612831842238163282022-10-22T22:20:00.003+07:002023-02-02T11:42:18.937+07:00Hadiah untuk Dua Oktober<div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgw0fVu5qLTFDQBBEuwMuGqfeKOXzn9NNbwoIW1oPU9h6B8r1ZoWiqP7CzvVprzfyCtfjrpKyT9awN19gMSreEt1IeQa_rN44dCdDbsHQzXW3IoKiEnj9DGOknsRlRQm5ez1qNwjzqsIBmytODoAMqAY-JGQbN0TZtrXPKsPxR6_8M0eVZWIujFQzxrBA/s2299/1675310023365.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="2299" data-original-width="2088" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgw0fVu5qLTFDQBBEuwMuGqfeKOXzn9NNbwoIW1oPU9h6B8r1ZoWiqP7CzvVprzfyCtfjrpKyT9awN19gMSreEt1IeQa_rN44dCdDbsHQzXW3IoKiEnj9DGOknsRlRQm5ez1qNwjzqsIBmytODoAMqAY-JGQbN0TZtrXPKsPxR6_8M0eVZWIujFQzxrBA/s320/1675310023365.jpg" width="291" /></a></div></div><div><br />Bulan Oktober menjadi bulan penuh traumatis dalam hidupku, karena ujian tragis yang aku alami selalu bertepatan di bulan itu. Tahun 2020 lalu, insiden kecelakaan yang aku alami di desa Rajun, Pasongsongan, Sumenep, hampir menyeret pada sakaratul maut. Disusul Oktober tahun berikutnya, suamiku juga mengalami kecelakaan di desa Payudan Daleman, Guluk-Guluk, Sumenep, tepat di tanggal yang sama. Maka wajar jika Oktober tahun ini aku begitu cemas mempersiapkan diri menghadapi ujian apa yang akan Tuhan berikan. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Ternyata segalanya nyaris di luar dugaan. Seperti mimpi, Emak mertua tiba-tiba mengajak kami umroh, pemberangkatan bulan Oktober. Oktober ketiga setelah dua tahun sebelumnya kami menerima ujian bertubi-tubi; wafatnya ibu, seratus hari kemudian disusul nenek, dan empat puluh hari berikutnya abah mertua. Karenanya orang-orang bersimpati dan memberi istilah hidupku "ditebang maut".</div><div><br /></div><div><br /></div><div>Demikianlah sekelumit gambaran tentang betapa cepatnya Tuhan memanggil keluargaku susul menyusul. Tersisalah kakakku yang kemudian aku anggap sebagai ibu, dan suami yang selalu menjadi tiang terkuat dalam hidupku. Selebihnya aku hanyalah seorang yatim piatu. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Aku tak punya kelebihan apa-apa. Sering aku sebutkan bahwa kemampuan terbaikku hanyalah mencuci piring. Sejak kecil aku memang terlatih untuk membersihkan perabotan kotor. Bahkan ketika bertamu, aku tak bisa membiarkan orang lain mencuci piring bekas makanku. Maka ketika seorang kawan bertanya tentang amalan apa yang aku punya, dengan mantap aku menjawab bahwa anugerah kebahagiaan dalam hidupku, selain dari doa orang tua dan guru, aku peroleh dari kegemaranku mencuci piring. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Mencuci piring bagiku adalah kegiatan kontemplatif. Ketika mencelupkan kain atau spons ke sabun lalu mengusapkannya pada piring kotor, aku suka merenungkan hal-hal menyenangkan. Kadang-kadang juga berisi kalimat pengharapan yang aku anggap itu doa. Aku bahkan lebih lama berdoa saat mencuci piring dibandingkan setelah shalat. Sangat kurang ajar memang, tetapi aku lebih yakin harapan-harapanku saat mencuci piringlah yang lebih sering dikabulkan Tuhan. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Barangkali alasan ini terkesan klise, namun apakah Anda pernah mendengar kisah Rahman Pananto? Seorang pemuda asal kota Malang, Jawa Timur, sukses menjadi chef sushi di sebuah restoran Jepang di kota Fairfax, Virginia, AS, hanya dengan mengawali kariernya sebagai tukang cuci piring. Bermodal nekad, ia lalu belajar memotong sayuran menggunakan pisau bagus. Lalu, impiannya menjadi seorang chef terwujud ketika dia berani mengambil langkah kursus memasak. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Banyak lagi kisah inspiratif dimulai dari hal sepele, karena kita semua memang hanyalah sebuah titik. Ada yang diam, ada pula yang bergerak memulai. Dan memulai tidak harus selalu dengan langkah besar. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Bisa dengan mengerjakan hal-hal sederhana secara ikhlas dan penuh suka cita. Seperti mengelap kaca, menyetrika, atau jika mampu dengan membaca. Yakini saja, barokah akan mengalir lewat jalan tak terduga. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Seperti kejutan yang aku terima di bulan Oktober tahun ini. Aku meyakini sepenuhnya adalah hadian untuk ujian dua Oktober sebelumnya. Tuhan menguji ketabahanku dengan berbagai cara; kematian dan penderitaan. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>Lalu aku menyambut undangan Nabi Ibrahim AS, saat Tuhan memerintahkan beliau menyeru kepada setiap manusia untuk berhaji dan umroh. Aku berkesempatan melakukan ibadah umroh di titik, di mana aku sendiri seperti belum percaya. Ya, aku menjadi tamu Allah. Segalanya terasa sangat istimewa, sebab ada Baitullah di hati setiap mukmin. Begitu juga di dalam hatiku, aku memimpikannya, sejak lama. </div><div><br /></div><div><br /></div><div>22 Oktober 2022</div>Ummul Cornhttp://www.blogger.com/profile/06630242829034088448noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3644331111820838624.post-57455947658472441332022-10-08T12:41:00.001+07:002022-10-29T11:42:40.691+07:00Bersaudara Tanpa Batas<div>Malam itu di dalam bus terhal aku memandang dengan nanar jalanan kota Madinah. Aku kembali terkenang masa lalu, tentang asalku, dan rangkaian jalan nasibku. Seperti belum percaya, dengan begitu mudahnya aku bisa sampai di tempat ini. Kota penuh Barokah tempat Rasulullah berjuang mendakwahkan Islam, tempat turunnya ayat-ayat Madaniyah, tempat berkumpulnya umat Islam untuk berziarah ke maqbarah manusia paling agung itu. Maka aku mengimani bahwa undangan menjadi tamu Allah bisa untuk siapa saja, sama sekali tak terkait materi. </div><div><br></div><div><br></div><div>Di sepanjang jalan dari bandara King Abdul Aziz, Jeddah, hatiku bergetar, sesak oleh perasaan haru, rindu, dan kenangan tentang almarhum ayah ibu. Ayah yang begitu mencintai Nabi sampai sering mengigau bershalawat barzanji sampai tuntas, dan ibu yang sebelum wafatnya mempersiapkan baju putihnya untuk dipakai di haramain. Namun beliau berdua sudah tiada, beliau lebih dulu pergi sebelum berkesempatan ziarah ke Mekah dan Madinah. </div><div><br></div><div><br></div><div>Sesampainya di raudah, yang pertama berbicara adalah air mata. Rasa syukur begitu dalam aku panjatkan atas rahmat Allah telah memberi jalan untuk sampai di tempat yang diimpikan seluruh kaum muslimin dengan perantara kerja keras juga doa mama dan almarhum abah mertuaku semasa hidup. Sulit dipercaya, tetapi kita semua hanyalah daun-daun yang mampu diterbangkan Tuhan kemanapun Dia kehendaki. </div><div><br></div><div><br></div><div>Lebih dalam lagi, aku memohon ampunan atas dosa yang kian hari kian menggunung, tak mampu kubendung. Bahkan ketika Tuhan memelukku dengan cintanya, diri ini selalu ingkar dan kufur. Aku berharap rahmat Allah atas lahirnya Kanjeng Nabi Muhammad untuk mengampuniku, keluargaku, kerabatku, guru-guruku, tetanggaku, sahabatku, juga seluruh kaum muslimin dan mukminin di seluruh dunia. </div><div><br></div><div><br></div><div>Di tempat ini, Tuhan mengirimiku teman-teman baru. Aku berjumpa dengan Kak Rubinah dari Pakistan dan Ummi Kulstum dari India. Pertemuan itu terjadi di dalam masjid Nabawi usai melaksanakan shalat subuh. Tiba-tiba ada dua orang berpelukan melepas rindu di sampingku. Komunikasi dalam bahasa Inggris mereka membuat saya paham bahwa di tahun-tahun sebelumnya, mereka pernah berjumpa di perjalanan ibadah umroh. Di pertemuan ini mereka seolah tak percaya Tuhan menjumpakan kembali di tempat yang sama, di antara ribuan manusia. </div><div><br></div><div><br></div><div>Mereka berdua menyapaku yang tengah tersedu. Dalam bahasa Inggris yang belepotan aku mencoba membangun komunikasi, menanggapi pertanyaan-pertanyaan mereka. Aku bercerita tentang kerinduan terhadap almarhum ayah dan ibu dan kesempatan beribadah di sini yang masih mustahil dalam benakku. </div><div><br></div><div><br></div><div>Tangan kami saling merangkul. Kak Rubinah bahkan mengecup tanganku seperti sudah sangat akrab. Lalu aku teringat sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim, yang artinya "Seorang Muslim itu saudara bagi muslim yang lainnya". Seperti Nabi mengajarkan keramahtamahan dan kerendahan diri, kami melebur menjadi saudara tanpa batas. Kami saling bertukar nomor ponsel, bertukar doa, dan berharap di tahun-tahun yang akan datang akan ada perjumpaan berikutnya. Semoga. </div><div><br></div><div><br></div><div>Madinah, 8 Oktober 2022</div>Ummul Cornhttp://www.blogger.com/profile/06630242829034088448noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3644331111820838624.post-76980677821582704532022-06-08T17:24:00.001+07:002023-03-03T09:55:13.760+07:00Momentum Terbaik Bersama Abah Mertua<div>Siang itu aku sedang mengupas kulit ari kacang tanah untuk diolah menjadi kacang klici ketika almarhum Abah mertua memanggilku ke dekat sumur. Buru-buru aku mengelap kedua tangan dengan sarung yang aku kenakan. Harap maklum jika aku begitu bersemangat memenuhi panggilan beliau karena biasanya beliau lebih suka diam. Ucapannya sehari-hari hampir bisa dikalkulasi, jadi aku sangat penasaran tentang kepentingan di balik panggilan beliau kala itu. </div><div><br></div><div><br></div><div>Setiba di dekat sumur, abah memintaku duduk di lincak kecil samping beliau. Sekali lagi, kami jarang sekali mengobrol sehingga aku kelihatan gugup dan salah tingkah. </div><div><br></div><div><br></div><div>Abah adalah sosok sederhana yang tak pernah mengumbar materi yang beliau miliki. Tingkah kesederhanaan beliau biasanya dicerminkan dalam penampilan kaos putih tipis, sarung lusuh dan kopiah putih buatan orang Bugis yang beliau beli sepulang dari tanah suci. Lebih sering lagi bertelanjang dada memperlihatkan tubuh kurus ringkih beliau yang selalu membuatku rindu. </div><div><br></div><div><br></div><div>Pernah suatu kali ada seseorang pembeli bertanya kepada Abah siapa pemilik pabrik tahu tempe yang ia kunjungi. Abah hanya tersenyun seraya menjawab bahwa orangnya ada di dalam. Dari para pekerja, pembeli itu akhirnya tahu bahwa sosok bertumbuh tinggi kurus tak mengenakan baju itulah pemilik pabrik yang ia tanyakan. </div><div><br></div><div><br></div><div>Kekagumanku terhadap Abah justru karena beliau pendiam. Setiap kata yang terlontar dari beliau selalu tentang hal bermanfaat dan memiliki makna yang dalam. Mengenai itu aku pernah memberanikan diri bertanya, beliau menjawab dalam diamnya ada istighfar untuk almarhum kakek dan nenek. </div><div><br></div><div><br></div><div>Kecintaan beliau terhadap orang tua dikisahkan emak saat naik pesawat dalam perjalan haji ke tanah suci tahun 2003. Abah menangis sejadi-jadinya tanpa suara karena kakek dan nenek tidak tertakdir melaksanakan rukun islam yang kelima. Alasan lebih dalamnya, hanya batin abah yang merasakan. Barangkali syukur dan cinta jika diaduk akan menjadi perasaan yang dahsyat. </div><div><br></div><div><br></div><div>Abah memperbaiki posisi kopiah putihnya sebelum berbicara di lincak bambu dekat sumur tua di halaman rumah, siang itu. Kebetulan seluruh keluarga sedang istirahat. Pembeli tahu juga lumayan sepi. </div><div><br></div><div><br></div><div>Mula-mula abah membuka percakapan tentang perumpaan kemurnian harta seperti mutiara di lautan, siapapun yang menginginkannya harus menyelam, berenang, dan siap bertemu dengan hiu paus. Saya menangkap, rejeki harus dijemput bukan ditunggu. Ketika rejeki itu diraih dengan kerja keras, maka hasilnya akan murni dan manis. Namun beliau menambahkan bahwa harta itu seperti hidangan yang hanya bisa kita lihat, sementara cara menikmatinya, menurut prinsip beliau adalah dengan disedekahkan dan ditunaikan jadi ongkos haji ke Baitullah. </div><div><br></div><div><br></div><div>Aku masih berpikir ganjil benar siang itu. Tiada ombak, Abah memanggilku hanya untuk mengatakan itu? Sebelum aku terheran-heran lebih jauh, beliau lanjut memberi nasehat tentang betapa pentingnya bekerja keras untuk hidup yang lebih baik, terutama untuk mampu meletakkan posisi tangan di atas. Beliau menekankan harta menjadi penting dengan tujuan baik, bukan untuk berbangga-bangga diri. </div><div><br></div><div><br></div><div>Dengan gaya berbicaranya yang santai, Aba meminta saya agar sering-sering mengajak suami sowan kepada guru. Kata beliau keberkahan hidup berasal dari doa guru. Beliau juga bercerita tentang kawan alumninya sewaktu nyantri di Pondok Pesantren Raudatul Ulum Sumber Wringin, Jember, yang memberikan separuh pendapatannya per bulan untuk gurunya, seperempatnya lagi untuk yatim dan fakir miskin, seperempatnya lagi untuk dirinya dan keluarganya. Benar-benar tidak masuk akal, pikir dangkalku. </div><div><br></div><div><br></div><div>Otakku semakin berjalan ke mana-mana, mengutuk diri yang malas untuk bersedekah dan mengagumi tokoh dalam cerita Abah. Barangkali Abah juga mengerahkan rezeki yang beliau terima dalam spirit berbagi yang senada. Tebakanku bersumber dari cerita suami pernah memergoki beliau usai shalat Jum'at di masjid tengah memasukkan uang dalam jumlah yang besar ke dalam kotak amal setelah jamaah bubar. Sementara aku sudah bangga memasukkan uang dua ribuan setelah numpang wudu bahkan mandi di masjid. </div><div><br></div><div><br></div><div>Abah adalah pribadi yang tenang dan cukup teliti dalam perhitungan zakat. Beliau begitu bersemangat mencari anak yatim serta janda lanjut usia. Terutama pada momen hari raya. </div><div><br></div><div><br></div><div>Kedermawanan beliau aku saksikan dalam kesempatan lain ketika mendengar langsung beliau mengisahkan hikayat orang mati yang ingin bangkit dari kubur hanya untuk bersedekah, bukan beribadah. Waktu itu aku sedang mencuci piring, Abah duduk di pintu seperti pendakwah disimak saudara ipar dan ibu mertua. Beliau menjelaskan bahwa ibadah kita tidak cukup untuk membayar rahmat Tuhan. Nilai tambah yang harus dikumpulkan adalah dengan jalan sedekah. Hitung-hitungannya, usia yang batas normalnya hanya sampai di angka enam puluh, sementara yang rata-rata manusia lakukan hanya kewajiban rukun islam. Maka apa yang kelak bisa dipersembahkan kepada Tuhan? Begitulah abah mewarisi nasihat kepada anak-anaknya. </div><div><br></div><div><br></div><div>Aku merasa beruntung ditakdirkan menjadi anak menantu di keluarga ini. Banyak pelajaran yang aku dapatkan selama sembilan tahun bersama beliau. Salah satu yang paling berharga adalah bagaimana beliau gigih dalam bekerja menjemput rezeki Tuhan sehingga mampu bersedekah gila-gilaan. Semoga amal baik beliau menjadi cahaya indah di barzakh, menjadi penuntun ke surga-Nya, serta mampu dilanjutkan oleh keturunannya.</div><div><br></div><div>Ganding, 08 Juni 2022</div>Ummul Cornhttp://www.blogger.com/profile/06630242829034088448noreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-3644331111820838624.post-52385961799158568482022-03-26T10:02:00.001+07:002022-03-26T11:30:55.519+07:00Gus Muwafiq dan Sisi Keunikannya<div>Kedatangan Gus Muwafiq menjadi yang paling dinanti-nanti. Maka ketika acara seremonial dimulai, petanda beliau sudah berada di lokasi. Tampak pasukan Banser dan beberapa aparat kota Mojokerto mengawal beliau memasuki pintu utama menuju panggung. Para hadirin yang masih berkeliaran di sekitar bazar serentak mengambil posisi di bawah terop. Suasana menjadi tenang. </div><div><br></div><div><br></div><div>Ini adalah kali pertama saya berjumpa langsung dengan Gus Muwafiq. Selama ini hanya menonton ceramah beliau di youtube. Berita terakhir yang saya tonton adalah pembelaan beliau terhadap Rara si pawang hujan di acara MotoGP Mandalika yang diklaim syirik oleh beberapa ustad online berjenggot panjang. </div><div><br></div><div><br></div><div>Pembawaan Gus Muwafiq yang tenang dan selalu santai dalam menyikapi persoalan malah semakin membuat saya kagum. Bahkan cermah beliau dalam peringatan Hari Air Sedunia kali ini sangat padat dan sarat makna. Durasi yang cukup panjang bahkan tak terasa. </div><div><br></div><div><br></div><div>Beliau memulai dengan sentilan untuk kaum muda milenial yang mulai bangga mengidolakan dan meneladani gaya hidup orang luar negeri. Contoh yang Gus Muwafiq sebutkan adalah betapa bodohnya orang mengkonsumsi sarden layaknya orang Eropa yang harus menghadapi musim dingin panjang, sementara kita bebas memancing dan menikmati ikan segar setiap hari, di segala musim. Tanpa perlu repot mengawetkan makanan sebagai cadangan. </div><div><br></div><div><br></div><div>Bagi beliau sangat aneh masyarakat Indonesia makan dengan sumpit, sebab budaya sumpit berangkat dari latar belakang negara yang dulu kekurangan kayu sehingga memasak makanan dengan potongan kecil-kecil agar cepat matang dan mudah dikonsumsi menggunakan bantuan dua kayu panjang. Lebih aneh lagi peringatan Hari Air Sedunia ini digelar oleh masyarakat Trawas, Mojokerto, yang jelas-jelas kaya akan air dan tidak ada tanda-tanda akan mengalami krisis air. Yang lebih pantas menggelar acara ini adalah Qatar, Israel, Libanon atau Negara lain yang sedang dan akan mengalami kelangkaan air. </div><div><br></div><div><br></div><div>Beliau menegaskan agar kita jangan pernah berpikir untuk menyamakan gaya hidup kita dengan orang luar negeri, karena itu tidak visibel dan visioner. Yang perlu kita ciptakan adalah semangat pemuda tangguh yang siap memanajemen dan menjaga sumber mata air kehidupan Indonesia dari para penjajah yang mulai melirik dan mengancam untuk merenggutnya. Hadirin bertepuk tangan seperti teraliri semangat juang yang luar biasa membakar. </div><div><br></div><div><br></div><div>Meski Gus Muwafiq menggunakan bahasa Jawa, sebagai orang Madura saya masih sanggup mencerna apa yang beliau sampaikan. Terutama bagian favorit yang terus saya ingat, ketika beliau mengajukan beberapa pertanyaan retoris: apakah bangsa kita akan berkiblat ke Eropa? Dijawab dengan sebuah naskah "Salah Asuhan", Apakah bangsa Indonesia akan berkiblat ke Arab? Tidak, selain shalat, ditulis dengan "Di Bawah Lindungan Kakbah", apakah kita akan meniru Belanda? Tidak sebab "Tenggelamnya Kapan van der Wijck", apakah murni Indonesia? Tidak jika itu "Siti Nur Baya".</div><div><br></div><div><br></div><div>Saya dan Dek Uus ternganga dengan model ceramah Gus Muwafiq yang luas bahkan sampai membahas banyak film Hollywood yang berkaitan dengan karakter suatu bangsa. Tak lupa juga beliau menyebutkan betapa apiknya serial drama Upin Ipin yang di dalamnya mengandung unsur pemersatuan ras dan suku bangsa. Seperti makanan ringan, materi yang beliau sampaikan renyah dan bergizi. </div><div><br></div><div><br></div><div>Tidak banyak berbicara soal air, isi ceramah beliau lebih menitikberatkan pada cara bagaimana bangsa kembali menemukan jati diri, sebab bangsa kita saat ini mulai tidak percaya diri. Para kaum muda malah ikut-ikutan mengidolakan orang luar dan membanggakan kebudayaannya. Beliau menyarankan tentang langkah yang perlu segera dimulai dengan membangun karakter yang kuat agar benteng pertahanan tidak mudah ditembus oleh penjajah. </div><div><br></div><div><br></div><div>Pada menit terakhir Gus Muwafiq mengenang betapa rindu di masa lalu sangat dramatis dan melankolis. Dua insan yang sedang kasmaran berjuang membeli amplop merah jambu ke pasar. Mengarang surat dengan rangkaian diksi indah. Beliau mencontohkan lirik Kiai M.Faizi yang dahsyat, "Kau tusuk di sana, berdarah di sini". Namun kini, semua itu tinggal kenangan, saat rindu menjadi tiada arti dijajah selfi dalam sekali klik sampai di tujuan dengan caption klise tak bermakna. </div><div><br></div><div><br></div><div>Puncaknya Gus Muwafiq memanggil Kiai M.Faizi untuk mempersembahkan penampilan gitar mengiring beliau bernyanyi. Para seniman lain membujuk Kiai Faizi yang enggan untuk maju. Terlihat ada yang mendesak dengan berteriak "harus mau". Peserta ikutan-ikutan meneriakkan hal serupa. Pada akhirnya hadirin bertepuk tangan menyaksikan beliau melangkah di tengah barisan kursi penonton. </div><div><br></div><div><br></div><div>Sebagian besar penonton berdiri berdesakan maju ke dekat panggung untuk mengambil foto dan video. Gitar dipetik, vokalis mencari nada yang pas. Mengalun lah lagu Tanah Airku ciptaan Ibu Sud bersamaan dengan gerimis. Disusul hujan deras sepaket dengan angin dan petirnya. </div><div><br></div><div><br></div><div>Cuaca buruk dan segala cobaan hari ini berubah terasa syahdu. Nada-nada yang tersampaikan menjadi semacam penutup yang sempurna. Lamat-lamat air mata menggenang ketika samapai pada lirik, tanah ku yang kucintai, engkau kuhargai. Saya mundur, menjauh dari panggung membawa perasaan betapa beruntungnya saya hari ini. </div><div><br></div><div><br></div><div>23 Maret 2022</div><div><br></div><div><br></div>Ummul Cornhttp://www.blogger.com/profile/06630242829034088448noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3644331111820838624.post-44515047938831933652022-03-24T17:52:00.001+07:002022-03-24T20:06:06.160+07:00Mojokerto: Kota Kecil yang Menyimpan Surga<div>Kalau Anda melintas di Mojokerto dan hanya sekedar lewat saja, yang tekenang di ingatan hanyalah panas, gersang, polusi dan kota tiada kesan. Tapi siapa sangka, di balik pemandangan hambar, kota Onde-onde ini memiliki surga kecil nan menawan. Kemarin, tanggal 23 Maret 2022 saya berkesempatan membuktikannya. </div><div><br></div><div><br></div><div>Kesempatan itu diberikan oleh guru saya, Kiai M.Faizi yang hendak menghadiri undangan peringatan Hari Air Sedunia di Trawas. Beliau mengajak rombongan terdiri dari guru dan anggota komunitas Pemulung Sampah Gaul (PSG) SMA 3 Annuqayah. Kami berangkat dengan satu kendaraan pada jam 2 dini hari. </div><div><br></div><div><br></div><div>Rombongan kami tiba di Trawas pukul 6:30 WIB, sementara acara akan dimulai jam 10:00 WIB. Jadi kesempatan menyambangi beberapa destinasi wisata masih tersisa tiga jam-an. Sesuai petunjuk ahli, Kiai M.Faizi, kami akan ke Petirtaan Jolotundo, tempat mata air terjernih ke-2 di dunia setelah zam-zam, yang berlokasikan di gunung Penanggungan.</div><div><br></div><div><br></div><div>Di beberapa titik, pemandangan tak biasa seperti mengajak kami berhenti. Rumah-rumah berderet sesak di atas tebing terlihat sangat asri dan unik. Kami juga melewati gerbang hutan pinus, taman Ghanjaran, dan beberapa kedai kali di sepanjang jalan. Karena memang belum sarapan, kami ingin merasakan indahnya makan di atas lencak di tengah sungai seperti sering kami tonton di facebook dan youtube. </div><div><br></div><div><br></div><div>Menepilah panther touring yang dikemudi suami dan memesan sarapan delapan porsi. Sembari menunggu, kami semua sibuk mengambil gambar. Maklum, ketidaktertarikan berfoto hanya ada di zaman Wiro Sableng karena waktu itu belum ada ponsel pintar. Saat ini media menjadi menarik hanya jika disertai gambar. </div><div><br></div><div><br></div><div>Perjalanan dilanjutkan kembali usai pemadaman kelaparan. Saya selalu dibuat takjub dengan pemandangan kiri kanan jalan. Hampir tidak ada spot yang tidak indah di tempat ini. Suasana sejuknya pun membuat saya merasa betah. </div><div><br></div><div><br></div><div>Tak lama berjalan, kami berjumpa dengan pertigaan dan belok kanan menuju tempat wisata Petirtaan Jolotundo. Di pos kami disodori tiket masuk dengan membayar sepuluh ribu per kepala. Meluncurlah rombongan ke atas hutan yang begitu alami dan tersembunyi. Pohon-pohon tua gendut diselimuti kain begitu dihormati. Aroma dupa menguar sangat tegas membuat kepala saya limbung. Nuansanya persis di Bali. Kemungkinan besar dipengaruhi oleh sejarah bersatunya Raja Udayana dan Putri Gunapriya Dharmapatni yang kemudian membangun Candi Jolotundo sebagai wujud rasa cinta dalam menyambut kelahiran anak mereka, Airlangga. Begitu yang saya baca lewat penelusuran mbah google. </div><div><br></div><div><br></div><div>Beruntungnya karena kami tidak bertepatan dengan akhir pekan sehingga suasna di sekitar Petirtaan Jolotundo sangat lengang. Hanya ada satu rombongan keluarga yang lebih dulu tiba dan membasuh badan di bawah pancuran. Mereka berdiri di antara ratusan ikan besar kecil dan beragam jenis di dalam kolam. Dari tato pura di tubuh dua remaja itu meyakinkan saya bahwa mereka dari keluarga Hindu yang tengah melakukan ziarah suci.</div><div><br></div><div><br></div><div>Selanjutnya seorang ibu masuk ke pemandian bagian kiri dan melakukan ritual mandi kembang. Lalu saya mengganti posisi meminum tiga teguk air menggunakan kedua tangan. Disusul rombongan lain yang berminat, sementara yang tidak memilih mandi di toilet dan mengganti pakaian. </div><div><br></div><div><br></div><div>Agenda Kiai Faizi selain ke acara yang sudah disebutkan juga akan bermain ke rumah teman beliau, Gus I Wayan Kanjeng Kliwon. Rumahnya memang berada di sekitar Jolotundo, tak sampai keluar dari pos penjaga. Hanya dua menit kami sudah tiba di halaman Gus Kliwon yang dikenal juga sebagai Petilasan Mahapatih Narotama. Konon Gus Kliwon terlahir dengan rambut gimbal dan sangat disegani bahkan oleh tetua umat Hindu di tempat ini, kisah Kiai Faizi. Gus Kliwon dan keluarganya sangat berpengaruh di masyarakat. Kesaktian beliau masyhur di kalangan para penakluk jin. Maka ketika saya menjumpai seseorang di acara, dengan ciri rambut gimbal sepaha dan kopiyah coklat muda saya yakin itu adalah beliau. </div><div><br></div><div><br></div><div>Kami dipersilakan masuk oleh istri Gus Beny, menantu Gus Kliwon. Begitu masuk ke dalam ruangan, ada sekitar sepuluh gitar dan beberapa biaola berdiri di sana. Saya ingat, Kiai Faizi pernah bercerita mendapatkan hadiah gitar dari Gus Beny. Ternyata semua alat musik itu memang diperjualbelikan. Saya yakin harganya tentu tidak murah. Sengaja tidak bertanya karena saya memang tidak berniat membeli, cukup melihat-lihat saja. </div><div><br></div><div><br></div><div>Di atas gitar-gitar dan biola itu, terpampang lukisan semar, perempuan penari kecak dan Dewi Sinta. Melihatnya, jiwa seniman saya bangkit dan ingin pula mengoleksinya. Namun keinginan itu saya pendam. Saya lebih banyak diam. </div><div><br></div><div><br></div><div>Kiai Faizi keluar dari ruangan mengajak rombongan lanjut ke acara. Namun sebelumnya kami sempatkan berfoto bersama teman beliau Paox Iben dari NTB yang kebetulan tengah berada di sana. Paox berkeliling ke beberapa daerah di Nusantara sejak tahun 2015 dengan sepeda motor besar Kawazaki Versys 650 cc dalam misi menguatkan komunitas adat serta berkampanye tentang seni dan budaya Indonesia. </div><div><br></div><div><br></div><div>Pada pukul sepuluh lewat sedikit, kami tiba di lokasi acara. Tampak sekelompok grup musik menghibur di atas pentas. Peserta sudah penuh tepat waktu. Bazar di gelar di atas karpet merah menawarkan produk unggulan Kota Mojokerto. Kami berkeliling mencicipi manisan belimbing wuluh, kripik tela, dan beberapa kudapan lainnya. </div><div><br></div><div><br></div><div>Acara molor hingga pukul setengah satu siang karena sang penceramah, Gus Muwafiq, belum juga tiba. Panitia semakin getol menghibur di panggung. Sementara peserta tampak sudah tak sabar. </div><div><br></div><div>Bersambung... </div><div><br></div><div>(Karena tulisan berikutnya akan sangat panjang. Berisi ceramah beliau dan tampilnya Ra Faizi ke panggung untuk berduet dengan Gus Muwafiq beserta para seniman lainnya). </div>Ummul Cornhttp://www.blogger.com/profile/06630242829034088448noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3644331111820838624.post-31122292687422660952022-03-20T20:43:00.001+07:002022-03-21T08:36:28.576+07:00Menyibak Keelokan Hutan Semeru <p dir="ltr">Rencana liburan ke Bromo sejak bertahun lalu tak pernah terwujudkan. Terlalu banyak pertimbangan dan persiapan matang sehingga ujung-ujungnya selalu gagal. Selain itu, kendala raksasanya juga finansial dan waktu. </p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Pekan lalu, secara tak terduga, dalam rencana takziah ke rumah famili di Lumajang, saya berkesempatan menjajaki Bromo Tengger Semeru. Saya dan suami tandem dengan mobil Ayik dan Devi. Mereka masih akan mengurus bisnisnya di Malang. Jadi dari Madura kami akan beristirahat di kontrakan Sufi, adik Devi, sehingga kami bisa ke Lumajang di siang hari. </p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Tiba di Malang pada waktu subuh, dinginnya berlipat ganda. Ditambah harus bersentuhan dengan air yang ternyata menyerupai es. Namun tak bertahan lama gigil itu, usai shalat kantuk menimpa begitu akut. Kami semua tertidur dalam ruangan seperti ikan pindang tak beraturan. </p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Siang harinya, dengan bermodalkan pinjaman motor Sufi dan Alvin kami bersiap menuju Lumajang melewati jalur Tumpang dengan jarak tempuh kurang lebih 3jam 37menit. Sesampainya di Desa Ngadas, kami dikejutkan dengan kabut tebal hampir menutupi jalan. Pemandangan menjadi sangat terbatas dan saya merasa seperti memasuki alam lain. Ditambah lagi warga yang melintas rata-rata berselimut sarung menghalau hawa dingin. Celakanya kami semua tidak mengenakan jaket. Biarlah menjadi pemandangan anti-mainstream bagi penjaga ronda di setiap pertigaan jalan. </p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Di pos sentral sebelum pertigaan Jemplang, para petugas menanyakan tujuan orang-orang yang lewat. Apakah hendak berwisata ke Bromo atau cuma lewat saja. Mereka juga menawarkan sewa mobil Jeep dengan tarif enam ratus ribu. Kami menjawab bahwa akan melayat ke rumah famili di Lumajang. Jadilah kami mengakses jalan ke Bromo tanpa dipungut biaya apapun. </p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Lanjut kami melewati kelokan dan tanjakan curam menampilkan lembah yang sangat dalam. Tabing-tebingnya begitu indah ditanami kentang, kubis, wortel, dan bawang. Di sisi kanan kiri jalan, pohon cemara menjulang rapi terselimuti kabut seperti dalam film The Twilight Saga. </p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Suami membubarkan imajinasi saya tentang film vampir itu. Ternyata bensin kami hampir habis. Tepat di tengah jalan yang sepi. Suami berhenti, Devi pun mengeluh motornya menyemburkan bau hangus. Kami melanjutkan perjalanan dengan penuh cemas. Setiba di desa Jemplang tampak dari jauh toko menjual bensin eceran. Lega rasanya. Dan diketahui pula bau hangus motor Ayik akibat ujung baju Devi yang terbakar kenalpot. Syukurlah kami semua selamat dari ujian kecil di tengah perjalanan ini. </p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Kegalauan tadi tuntas terbayarkan ketika sampai di simpang Jemplang, yakni turunan menuju wisata gunung Bromo dan jalan ke arah Lumajang. Pemandangan Bromo Tengger Semeru dari puncak begitu megah mempesona. Memanjakan mata yang selama ini hanya menyoroti tugas dan kesibukan. Namun kami tak sempat berhenti untuk mengambil gambar, hanya merekam sekilas dalam bentuk video pendek dari atas kendaraan karena kami harus tiba di Lumajang sebelum matahari terbenam. </p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Ketika keluar dari Jemplang, kami masuk ke lanskap pemandangan Ranu Pane. Hijau mulai membentang. Kabut tersibak entah ke mana. Di sisi jalan bunga-bunga terompet berwarna kuning menyuguhkan keindahan eksotis. Dari ketinggian tampak danau Ranu Pane begitu tenang berada di tengah pemukiman warga suku Tengger. </p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Di sepanjang jalan dari desa Jemplang ke Ranu Pane saya menjumpai beberapa pure kecil di rumah warga dan di pinggir jalan. Sensasinya berasa ada di Bali. Ternyata warga suku Tengger memang mayoritas penganut agama Hindu. Belakangan saya tahu bahwa nama Tengger berasal dari cerita rakyat Roro Anteng dan Joko Seger yang dipercaya masyarakat setempat sebagai leluhurnya. </p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Memasuki desa Burno lagi-lagi saya dikejutkan dengan pemandangan alam yang menyihir. Banyak tanaman liar dan unik di sepanjang jalan. Pakis paku tiang tumbuh berjejer seperti payung pantai. Bahkan bunga anggrek beraneka jenis tumbuh lebat menempel pada pohon-pohon tua yang menjulang. Sungguh pemandangan ajaib! Ini adalah surga bagi pecinta tanaman hias. </p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Hutan lebat gunung Semeru mengingatkan saya pada cerita ekspedisi pencarian puspa karsa tim bentukan Raras Prayagung yang melibatkan Jati Wesi dan Tanya Suma di Gunung Lawu dalam novel Aroma Karsa karya Dee Lestari. Novel fantasi tersebut seperti nyata karena digarap dengan penelitian serius hingga melahirkan anak buku berjudul Di Balik Tirai Aroma Karsa berisi kiat penulisan dan proses kreatif. </p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Betapa tidak terkecohnya saya ketika tahu Pak Polet penjaga gunung Lawu yang diwawancarai Dee mengatakan bahwa <i>Dworopolo</i> benar-benar ada. Sementara Dee mengaku bahwa nama <i>Dwarapala </i>(desa yang tidak terlihat) hanya diambil secara acak saat mencari kosa kata sangsakerta. Dan belum pernah sebelumnya Dee menyebutkan nama desa itu kepada Pak Polet. Jelaslah novel tersebut bukan sekedar fiksi biasa, melainkan keterhubungan batin antara si penulis dengan objek yang tengah digarapnya. </p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Menyesal saya tidak membawa kedua buku favorit saya itu dan berfoto dengan latar hutan Semeru yang penuh aura mistis nan memikat. Tetapi sapaan seorang paruh baya berselimut sarung di belokan jalan mengejutkan saya membuat saya dan suami merasa ngeri sekaligus mengurungkan niat untuk mengambil gambar. Devi pun mengaku terkesiap melihat lambaian si bapak. </p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Saya percaya, setiap hutan pasti memiliki penjaga, entah manusia atau makhluk tak kasat mata. Hutan tak pernah manja, tak memerlukan pupuk dan penanggulangan hama, tapi bisa berkelanjutan dan mensuplai kebutuhan manusia. Hutan adalah rumah bagi banyak flora dan fauna. Hutan memiliki nyawa dan manusia serakah menjadi pencabutnya. </p>
<p dir="ltr">Bersambung...</p>Ummul Cornhttp://www.blogger.com/profile/06630242829034088448noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3644331111820838624.post-43948392804753573462021-09-20T08:43:00.001+07:002022-02-10T07:50:17.143+07:00Pelajaran Sederhana dari Rumah Iis<p dir="ltr">Semalam saya bermain ke rumah Istifadah di Ketawang Laok, Guluk-Guluk, sembari menunggu Mas Jur menghadiri acara kompolan shalawat nariyah di Pamekasan bersama suaminya. Biasanya saya ikut ke acara itu, karena banyak istri teman suami yang juga hadir. Namun semalam saya memilih di rumah Iis saja dengan rencana yang sudah kami buat, yaitu memasak seblak sayur jeletot markopolot. </p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Di beranda rumahnya, Iis menunggu bersama kedua anaknya. Anak pertamanya bernama Lina dan yang kedua Naya. Lina sudah sangat akrab dengan saya karena perjumpaan kami yang cukup intens sejak balita. Sebaliknya, Naya yang berusia 10 bulan selalu menangis saat melihat saya, entah apa alasannya. Mungkin karena terlalu cantik sehingga sampai kelihatan jelek. </p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Usai mengobrol sejenak, Iis menyiapkan bahan-bahan yang akan kami masak berupa, sayur, mie, sosis, krupuk, bakso, berikut bumbu-bumbunya. Dapurnya seperti biasa, sangat bersih dan rapi. Namun kerapian itu menjadi bahan olok-olok bagi saya, sebab itu atas arahan umminya di tanah rantau. </p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Ummi Iis cukup ekstrem dalam kebersihan dan menurut hemat saya, sudah menerapkan gaya hidup minimalis jauh sebelum Fumio Sasaki, Francine Jay, dan Marie Kondo, menerbitkan bukunya dalam versi bahasa Indonesia. Setiap kali melakukan panggilan video, beliau selalu mengontrol kebersihan dan kerapian rumah. Bahkan selembar handuk yg bertengger di atas pintu akan menjadi perkara besar. </p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Pernah suatu kali, umminya menelpon dan ingin melihat kondisi dapur. Iis kebingungan karena waktu itu dapurnya lebih parah dari kapal pecah. Ia berinisiatif mematikan data sejenak untuk membereskan cucian kotor dan mengembalikan barang-barang ke tempat semula, lalu mengarang cerita bahwa jaringan di Madura sedang tidak stabil. Namun setelah video dilanjutkan, umminya tetap curiga, itu hanya alasan. Iis tersenyum menyadari usahanya yang konyol. </p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Iis berkisah, sudah terbiasa rapi sejak remaja. Awalnya memang karena tuntutan, namun akhirnya menajadi kebiasaan yg menurutnya sangat membantu menghilangkan kemalasan dalam berbenah. Maka beruntunglah anak yang dididik untuk disiplin dan rapi sejak dini.</p><p dir="ltr"> </p>
<p dir="ltr">Berbanding terbalik dengan hidup saya yang tak pernah didekte ibu. Ibu secara suka rela mencuci baju saya bahkan setelah saya berkeluarga. Saat saya larang, beliau mencuri waktu mengumpulkan pakaian kotor saya dan merapikan rumah tanpa lelah. Bagi sebagian anak, cara ibu saya dianggap sebuah keberuntungan. Namun ternyata malah memupuk kemalasan dan ketidakdisiplinan. Dampaknya sangat saya rasakan ketika ibu sudah tiada. Betapa ketergantungan akan sangat menyiksa. </p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Sampai akhirnya, saya diperkenalkan dengan buku Seni Hidup Minimalisnya Franchine Jay oleh Ning Cece. Saya berjanji kepada diri sendiri untuk belajar berbenah mempraktikkan streamline sebagaimana dipandu di bab dua dalam buku tersebut. Berusaha menjalani hidup dengan barang sesedikit dan sesederhana mungkin, namun dapat bermanfaat secara maksimal. Barangkali akan terasa sangat melelahkan di awal, mengubah kebiasaan lama yang sangat berantakan menjadi rapi setiap hari. </p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Niat besar di atas segala rencana ini tentunya saya berharap tidak hanya sekedar teori, tetapi harus berani memulai. Seperti kebiasaan yg sudah Iis praktikkan tanpa terkonsep selama ini. </p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Kerapian di rumah Iis juga didikung oleh usaha laundry rumahan miliknya. Saya pikir pekerjaan itulah yang juga turut andil dalam membantunya menangani kemalasannya mencuci pakaian. Ia biasa menerima jasa cuci-kering setiap hari terutama dari santri di pondok pesantren di Guluk-Guluk. Dalam penuturan ceritanya, terkadang ia dibuat kesal dengan pelanggan yang teledor mengikutkan pakaian dalamnya. Namun ia bebas membuang benda itu karena termasuk larangan dalam tata tertib usahanya. </p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Kadang-kadang ia juga mengeluh perihal proses cuci kaos kaki dengan noda membandel. Saya mengusulkan agar ia tidak menerima jasa cuci kaos kaki, mengingat bau keringat di kaki sangat menjijikkan. Iis menolak usulan itu, karena tarif kaos kaki lumayan mahal dibandingkan pakaian. </p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Katanya, ia pernah menerima pemberian kaos kaki seplastik merah besar dari pengurus pondok. Jumlahnya kira-kira empat puluh pasang. Karena kebingungan menangani kaos kaki sebanyak itu, ia bagi-bagikan pada sanak famili yang memiliki anak sekolah. Juga tetangga yang butuh untuk dipakai ke sawah. </p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Dugaan kuat kami, benda pembungkus kaki itu hanya dimanfaatkan sekali pakai. Sungguh miris anak pesantren zaman sekarang jika dibandingkan dengan hidup kami di pondok dulu yang sungguh sederhana. Kiriman uang hanya pas-pasan sampai kamis sore. Jum'at pagi sudah tak sabar menunggu kunjungan. Mana bisa membeli kaos kaki berkali-kali, bahkan baju-baju brended macam santri saat ini. Sejak saat itu, ia memutuskan untuk menerima jasa cuci kaos kaki. </p><p dir="ltr"><br></p>
<p dir="ltr">Obrolan kami terus berlanjut seputar kenangan masa lalu di pondok. Lalu kantuk menyerang dan bayangan Iis menjadi beberapa bagian. Kami terlelap cukup lama sampai Mas Jur datang membangunkan untuk pulang. Paginya saya menuliskan catatan ini dengan harapan semoga kisah hidup Iis bisa menginspirasi.<br></p><p dir="ltr"><br></p><p dir="ltr">Ganding, 19 September 2021</p>Ummul Cornhttp://www.blogger.com/profile/06630242829034088448noreply@blogger.com0