08 Juni 2022

Momentum Terbaik Bersama Abah Mertua

Siang itu aku sedang mengupas kulit ari kacang tanah untuk diolah menjadi kacang klici ketika almarhum Abah mertua memanggilku ke dekat sumur. Buru-buru aku mengelap kedua tangan dengan sarung yang aku kenakan. Harap maklum jika aku begitu bersemangat memenuhi panggilan beliau karena biasanya beliau lebih suka diam. Ucapannya sehari-hari hampir bisa dikalkulasi, jadi aku sangat penasaran tentang kepentingan di balik panggilan beliau kala itu. 


Setiba di dekat sumur, abah memintaku duduk di lincak kecil samping beliau. Sekali lagi, kami jarang sekali mengobrol sehingga aku kelihatan gugup dan salah tingkah. 


Abah adalah sosok sederhana yang tak pernah mengumbar materi yang beliau miliki. Tingkah kesederhanaan beliau biasanya dicerminkan dalam penampilan kaos putih tipis, sarung lusuh dan kopiah putih buatan orang Bugis yang beliau beli sepulang dari tanah suci. Lebih sering lagi bertelanjang dada memperlihatkan tubuh kurus ringkih beliau yang selalu membuatku rindu. 


Pernah suatu kali ada seseorang pembeli bertanya kepada Abah siapa pemilik pabrik tahu tempe yang ia kunjungi. Abah hanya tersenyun seraya menjawab bahwa orangnya ada di dalam. Dari para pekerja, pembeli itu akhirnya tahu bahwa sosok bertumbuh tinggi kurus tak mengenakan baju itulah pemilik pabrik yang ia tanyakan. 


Kekagumanku terhadap Abah justru karena beliau pendiam. Setiap kata yang terlontar dari beliau selalu tentang hal bermanfaat dan memiliki makna yang dalam. Mengenai itu aku pernah memberanikan diri bertanya, beliau menjawab dalam diamnya ada istighfar untuk almarhum kakek dan nenek. 


Kecintaan beliau terhadap orang tua dikisahkan emak saat naik pesawat dalam perjalan haji ke tanah suci tahun 2003. Abah menangis sejadi-jadinya tanpa suara karena kakek dan nenek tidak tertakdir melaksanakan rukun islam yang kelima. Alasan lebih dalamnya, hanya batin abah yang merasakan. Barangkali syukur dan cinta jika diaduk akan menjadi perasaan yang dahsyat. 


Abah memperbaiki posisi kopiah putihnya sebelum berbicara di lincak bambu dekat sumur tua di halaman rumah, siang itu. Kebetulan seluruh keluarga sedang istirahat. Pembeli tahu juga lumayan sepi. 


Mula-mula abah membuka percakapan tentang perumpaan kemurnian harta seperti mutiara di lautan, siapapun yang menginginkannya harus menyelam, berenang, dan siap bertemu dengan hiu paus. Saya menangkap, rejeki harus dijemput bukan ditunggu. Ketika rejeki itu diraih dengan kerja keras, maka hasilnya akan murni dan manis. Namun beliau menambahkan bahwa harta itu seperti hidangan yang hanya bisa kita lihat, sementara cara menikmatinya, menurut prinsip beliau adalah dengan disedekahkan dan ditunaikan jadi ongkos haji ke Baitullah. 


Aku masih berpikir ganjil benar siang itu. Tiada ombak, Abah memanggilku hanya untuk mengatakan itu? Sebelum aku terheran-heran lebih jauh, beliau lanjut memberi nasehat tentang betapa pentingnya bekerja keras untuk hidup yang lebih baik, terutama untuk mampu meletakkan posisi tangan di atas. Beliau menekankan harta menjadi penting dengan tujuan baik, bukan untuk berbangga-bangga diri. 


Dengan gaya berbicaranya yang santai, Aba meminta saya agar sering-sering mengajak suami sowan kepada guru. Kata beliau keberkahan hidup berasal dari doa guru. Beliau juga bercerita tentang kawan alumninya sewaktu nyantri di Pondok Pesantren Raudatul Ulum Sumber Wringin, Jember, yang memberikan separuh pendapatannya per bulan untuk gurunya, seperempatnya lagi untuk yatim dan fakir miskin, seperempatnya lagi untuk dirinya dan keluarganya. Benar-benar tidak masuk akal, pikir dangkalku. 


Otakku semakin berjalan ke mana-mana, mengutuk diri yang malas untuk bersedekah dan mengagumi tokoh dalam cerita Abah. Barangkali Abah juga mengerahkan rezeki yang beliau terima dalam spirit berbagi yang senada. Tebakanku bersumber dari cerita suami pernah memergoki beliau usai shalat Jum'at di masjid tengah memasukkan uang dalam jumlah yang besar ke dalam kotak amal setelah jamaah bubar. Sementara aku sudah bangga memasukkan uang dua ribuan setelah numpang wudu bahkan mandi di masjid. 


Abah adalah pribadi yang tenang dan cukup teliti dalam perhitungan zakat. Beliau begitu bersemangat mencari anak yatim serta janda lanjut usia. Terutama pada momen hari raya. 


Kedermawanan beliau aku saksikan dalam kesempatan lain ketika mendengar langsung beliau mengisahkan hikayat orang mati yang ingin bangkit dari kubur hanya untuk bersedekah, bukan beribadah. Waktu itu aku sedang mencuci piring, Abah duduk di pintu seperti pendakwah disimak saudara ipar dan ibu mertua. Beliau menjelaskan bahwa ibadah kita tidak cukup untuk membayar rahmat Tuhan. Nilai tambah yang harus dikumpulkan adalah dengan jalan sedekah. Hitung-hitungannya, usia yang batas normalnya hanya sampai di angka enam puluh, sementara yang rata-rata manusia lakukan hanya kewajiban rukun islam. Maka apa yang kelak bisa dipersembahkan kepada Tuhan? Begitulah abah mewarisi nasihat kepada anak-anaknya. 


Aku merasa beruntung ditakdirkan menjadi anak menantu di keluarga ini. Banyak pelajaran yang aku dapatkan selama sembilan tahun bersama beliau. Salah satu yang paling berharga adalah bagaimana beliau gigih dalam bekerja menjemput rezeki Tuhan sehingga mampu bersedekah gila-gilaan. Semoga amal baik beliau menjadi cahaya indah di barzakh, menjadi penuntun ke surga-Nya, serta mampu dilanjutkan oleh keturunannya.

Ganding, 08 Juni 2022