09 Maret 2021

Bunuh Diri Gaya Milenial

Memposting status di media sosial kemudian saling bertukar komentar dengan pasangan tidak pernah menjadi cara berkomunikasi favorit kami. Awalnya saya mengeluh kepada suami karena dia tidak reaktif pada postingan saya, tidak seperti pasangan lain yang manis dan romantis. Kami berdebat dan sampailah pada pertimbangan keterbatasan karakter yang kadang kala menimbulkan salah paham. Juga guna bersama yang tak memerlukan sarana gawai untuk berkomunikasi.


Maka sebagai istri yang jaim saya pura-pura tidak kepo pada setiap aktivitas media sosialnya. Dan kami sudah membiasakan ini lebih dari tiga tahun. Awalnya memang terasa asing, tapi kemudian ketika berjumpa dengan status pasutri yang saling merayu di kolom komentar membuat kami merasa malu dan menyadari keputusan untuk cuek adalah yang terbaik.


Kebiasan model seperti ini terus meluas pada ketidaktertarikan kami untuk terlihat mesra di kehidupan nyata. Sampai teman kami mulai memberikan komentar negatif. Mempertanyakan apakah kami akur atau sedang berkonflik tersebab suami lebih banyak diam dan sekali berbicara nada kami terkesan meninggi. Seperti selalu adu debat.


Menanggapi komentar itu, membuat saya merasa geli, karena bentuk komukasi pasangan tidaklah seragam. Ada yang hanya dengan diam sudah bisa paham. Ada pula yang berkoar-koar tapi tidak sedang bertengkar. Maka saya menjawab dengan kalem, bagi saya, cara berkomunikasi unik kami semata untuk saling menyampaikan, sebab menarik kelemahan lawan hanya ada dalam arena politik.


Komunikasi dalam rumah tangga  merupakan akar. Jika akar dirawat dengan baik, maka tumbuhan akan membuahkan sesuatu yang baik dan sehat. Demikian pula kesalahpahaman dan atau ketidakberesan dalam komukasi, akan menjadi penyebab perpecahan.


Dari pengalaman, saya belajar untuk detail dan utuh dalam menyampaikan komukasi. Itu terjadi di tahun pertama usia pernikahan kami. Waktu itu kami berangkat bersepeda menghadiri acara pertemuan alumni KKN di Kasengan, Manding, Sumenep. Sementara saya mengikuti acara, suami memilih pulang ke Ambunten. 


Di tempat acara, teman-teman sudah bersiap menuju pantai Lombang. Saya berusaha menelpon suami. Karena tidak terjawab saya mencoba mengirim sms. Masuk tapi tidak berbalas.


Saya dilema antara ikut berangkat rombongan, atau menunggu jawaban suami. Yang jelas saya belum mengantongi izin. Teman-teman mendesak dengan meyakinkan bahwa tidak akan ada masalah. Bermodal keputusan bersama itu, akhirnya saya berangkat.


Sampai di Bangkal, saya ditelpon suami karena tidak ada di tempat acara. Sontak saya kaget karena dia tidak membaca sms izin yang saya kirim. Ada niatan untuk turun dan minta dijemput. Namun lagi-lagi bermodalkan keputusan dangkal saya tetap berangkat. Mengingat, waktu itu saya dan suami masih dua makhluk asing yang baru bertemu di bumi dan kami masih dalam tahap belajar mengenal.


Pulangnya saya minta dijemput ke Ganding karena mobil rombongan hanya berhenti sampai di situ. Sepanjang perjalanan Ganding-Tambuko suami memilih bisu. Dengan kecepatan laju motor yang tidak seperti biasanya saya menangkap, dia marah. Ya, dia pasti marah.


Benar saja, sampai di rumah kami mengalami adegan pertengkaran pertama kami. Suasana menjadi pecah dan meriah. Debat sahut menyahut saling melakukan pembelaan. Kosa kata sepatah sepatah dengan nada naik stim tumpang tindih tak bisa dicerna. Dalam gamang saya menyesal.


Saya sadar sayalah yang salah. Pertikaian itu terjadi hanya karena miskomunikasi. Andai saya sabar menunggu jawaban darinya, mungkin akan terang apakah saya boleh berangkat atau tidak. Andai saya tidak mengandalkan keputusan teman-teman, mungkin saya bisa memilih kembali. Namun semua terjadi di luar prediksi. Konflik yang lewat itu menjadi pelajaran paling penting di tahun pertama kami yang sampai detik ini tidak pernah terulang kembali.


Kejadian tersebut juga menggerakkan kami dalam membangun komitmen untuk tidak mempublikasikan konflik di media sosial. Sebagaimana lazimnya pasangan ketika menuai masalah, langsung meliput beritanya ke khalayak. Apakah buku harian tidaklah cukup? Dugaan saya, mungkin karena tidak menemukan sarana untuk mengungkapkan isi hati, sehingga hal yang negatif pun ikut dibagikan.


Namun setiap kepala mempunyai kebebasan eksistensial untuk menyampaikan isinya. Terutama di zaman serba digital yang menawarkan kemudahan berbagi dalam sekali tekan. Yang paling kita butuhkan saat ini adalah keterampilan memilah apakah sesuatu yang akan kita bagikan tidak merugikan untuk kita dan orang lain. Sebab jika memaksa berbagi aib, maka sama saja dengan bunuh diri gaya milenial.

01 Maret 2021

Ungkapkan Selagi Ada Waktu

Menjelang empat puluh hari wafatnya ibu, suami bersih-bersih rumah. Ia menemukan catatan harian ibu dan mengirim fotonya kepadaku yang kala itu sedang sendiri di toko. Aku kembali larut dalam sedu sedan yang dalam.


Ibu dan kakakku memang suka menulis catatan harian. Katanya untuk mengenang peristiwa penting. Aku meniru jejak mereka sejak Sekolah Dasar kelas akhir. Sampai detik ini kegiatan menulis catatan menjadi kebiasaan. Kadang juga pelarian saat ada banyak beban menumpuk di kepala.


Catatan ibu yang ditemukan suami berisi perjalanan hidup beliau, termasuk cerita kelahiranku, kakak, kepergian ayah, dan kelahiran kedua cucunya. Di akhir catatan beliau menyampaikan wasiat agar membacakan beberapa surat dalam Al-Qur'an, tahlil, dan amal jariyah.


Aku tertegun membaca berulang-ulang catatan itu. Kapankah persisnya ibu menulis risalah yang seolah berisi salam perpisahan? Sangat tegas seperti kepergian terencana. Ibu bagai tahu waktunya di dunia tak cukup panjang.


Pada alinea kedelapan ibu menuliskan betapa berat perjuangan beliau menyekolahkan anak-anaknya tanpa suami. Beliau mengurus sawah dan usaha toko kelontong dengan baik entah bagaimana repotnya. Tetapi orang-orang datang membawa barang hanya bermodalkan lidah, bukan rupiah. Sampai akhirnya ibu balik badan, toko itu gulung tikar karena banyaknya bon dalam catatan utang.


Tak kulihat ibu bersedih karena usahanya pailit. Beliau hanya mengungkapkan penyesalan karena tak dapat menjaga amanah ayah. Karenanya aku pernah membuka toko itu lagi dengan berjualan pentol ikan dan es pelangi sampai akhirnya aku diminta mertua untuk ikut suami ke Ambunten.


Ibu melepasku dengan senyuman dan kepasrahan saat seluruh famili mempertanyakan apakah ibu sanggup tinggal seorang diri. Beliau malah berucap rida aku tinggal di belahan bumi manapun dan berpesan agar aku taat pada suamiku. Aku yang kala itu terbiasa memeluk ibu rebah dalam dekapnya yang tenang. 


Mengingat itu detik ini membuat dadaku penuh dengan emosi tak terbendung. Ritme nafas tak beraturan. Hingga mata terasa hangat, menumpahkan air yang asin. Dalam pejam aku mengingat raut wajah ibu saat tersenyum, saat bersedih, dan saat-saat terakhir beliau di rumah sakit.


Cerita tentang ibu tak akan pernah ada habisnya, karena ibu adalah sosok yang sangat kompleks bagiku. Kata Nadin Amizah dalam lagunya, anak dan ibu seperti detak jantung yang bertaut. Ibu menjadi sosok paling memahami tersebab jalinan batin yang kuat. Aku mengamini lagu itu karena aku merasakan betapa kepergian ibu membuatku kehilangan banyak kepingan penting dalam hidupku.


Banyak pelayat datang bercerita tentang kebaikan-kebaikan ibu. Karena ibu memang tak hanya baik pada anaknya, melainkan kepada banyak orang di sekitar kami. Lebih gamblangnya ibu seolah menjadi pahlawan. Dan karena kepahlawanannya itu pernah suatu kali aku berdebat sengit dengan beliau.


Pernah ada selentingan ibu meminjam emas tetangga. Kabar buruk itu membuat saya segera mengklarifikasi. Ibu bersumpah tidak pernah melakukan seperti yang dituduhkan. Beliau menangis saat aku mulai merasa ragu. Ibu memohon agar aku percaya, tetapi aku masih menepis, meminta bukti.


Kami menagis sambil beradu mulut yang akhirnya dibuktikan bak Tin bahwa nama ibu hanya dimanfaatkan seseorang yang sedang butuh pinjaman. Begitu nama ibu disebut, siapapun akan berbaik hati. Karena kebaikan ibu yang terlampau luas itu, akhirnya ada yang menyalahgunakan untuk kepentingan tak bernurani.


Hingga detik ini aku menyesal karena pernah meragukan ibu. Menyesal karena tak mencoba mengenal ibu lebih dalam. Aku mengutuk diriku ketika ingat wajah merah ibu penuh air mata, kata-kata beliau saat aku bantah, dan jawaban terbata-bata yang keluar dari bibirnya. Semua terkenang begitu menyakitkan.


Tetapi aku sadar perasaan sedih adalah hal yang wajar. Kiranya setiap orang pasti merasakan kesedihan sesuai porsi ujiannya masing-masing. Hanya karena kesempatan untuk mengungkapkan penyesalan ini sudah tak ada lagi bagiku, maka perasaan sedih tadi sakitnya terasa gigantis.


Selagi ada waktu, jika ingin meminta maaf kepada orang tua sebaiknya segera ungkapkan. Rasa sayang yang begitu kuat harus ditunjukkan. Karena jika sampai batas itu tiba, maka rasa sesal tak akan ada penawarnya. Seperti aku yang berkutat dengan rasa bersalah karena kurang berlaku baik pada ibu.


Sekarang tak ada lagi yang merekahkan senyum ketika melihat kedatanganku. Tak ada lagi  yang memanggilku Mul dengan nada sejenaka ibu. Beliau tempat ternyamanku berbagi setiap inci isi hati sudah tiada dalam pandangan mata namun kekal dalam doa-doa.


9 Februari 2021