25 Januari 2018

Sahabat Bukan Cuma Dia

Delapan tahun yang lalu ia berkunjung ke rumahku. Kedatangannya sangat tidak tepat karena waktu itu aku sedang tak enak badan. Aku tak bermaksud mengacuhkannya dengan terus berbaring dan merespon ceritanya hanya dengan senyum ringan. Tetapi memang sudah tiga hari badanku terasa lemas.

Dia paham aku periang dan cerewet. Namun saat itu kepalaku yg limbung seperti korban gempa tak bisa ditahan-tahan untuk sekedar duduk. Maka berbaringlah aku di sampingnya. Aku sangat menyayangkan keadaanku karena itu adalah kunjungan pertamanya ke rumahku.

Dalam salah satu obrolan kami di sekolah, ia pernah memberitahuku kalau telor mata sapi adalah makanan kesukaannya. Aneh sih. Setahuku sapi tak pernah bertelur. Bagaimana mungkin telur dikaitkan dengan mata sapi. Soal kuning telur yg bulat menyerupai mata sapi bagiku masih tidak masuk akal. Kuda, zebra, keledai dan banyak hewan lainnya juga punya mata bulat. Badut juga demikian. Kenapa tidak disebut telur mata badut?

Ia terkekeh mendengar ocehanku. Aku semakin memperpanjang urusan itu. Termasuk bertanya siapa orang yg pertama kali mengenalkan istilah mata sapi bagi telor ceplok.

Saat itu orang tuaku berternak bebek. Hampir setiap hari menu di rumah kami tak lepas dari telur. Telur asin, telur dadar, telur gulung, telur rebus, telur kuah santan, dan telur mata badut, eh sapi.

Maka ketika ia hadir di rumahku, mama menyajikan menu telur kesukaannya. Ia menikmatinya sendirian karena aku sariawan, bibir pecah-pecah, dan kata mama aku tidak harus minum larutan penyegar seperti yang nyanyikan Joshua dalam iklan masa lalu.

Aku merasa ia pulang dengan perasaan kecewa. Perjumpaan kami di hari libur tidak seperti yg ia duga. Tetapi aku tidak sengaja. Apa yang lebih menyiksa dari rasa sakit? Badan panas dingin, makanan terasa pahit, kepala nyut-nyutan, mata berkunang-kunang dan perasaan sedih sepanjang hari.

Berbeda dengan anak yang tak mau sekolah dan pura-pura sakit. Bagaimana orang tuanya tak percaya, panas badannya direkayasa dengan mengapit bawang putih di ketiak selama berjam-jam sampai menimbulkan demam. Sama juga saat aku tak mau ke surau dan mengarang sakit-sakitan menjelang sore. Mama sampai tak percaya karena rutinitas sakitku hanya ketika sore.  Karenanya aku rela memasukkan jari telunjuk ke mulut dalam-dalam untuk memuntahkan isi perut. Barulah aku dikerok seperti sakit parah.

Teman-teman di surau kalau mengaji kadang arisan bekal makanan. Padahal jarak antara surau dan rumah kami tidaklah jauh. Fitri membawa petis, Devi membawa ikan pindang, Nujai tahu tempe, Sipur telor dadar,  Sauki kerupuk, Hozai nasi jagung dan aku tukang numpang makan. Maka ketika aku dimusuhi ramai-ramai surau bagiku seperti penjara para blater.

Lalu kami tepecah menjadi dua kubu. Waktu itu kami saingan menanam pohon rambutan. Ketertarikan kami dimulai dari kejadian menakjubkan ketika dari sebuah biji menyembul batang dan daun. Kami rajin mengumpulkan biji buah-buahan untuk di tanam dan dilombakan antar kubu. Sauki, Devi dan Fitri di kubu barat, Nujai, Hozai, Sipur dan aku di kubu timur.

Di malam hari diam-diam aku mencuri tanaman milik musuh. Paginya kubu barat panik memeriksa tanaman kelompokku. Dan terjadilah ribut-ribut adu mulut. Karena dulu hanya Sauki yang punya teve, maka kubu timur dilarang keras nonton teve di rumahnya.

Kelucuan masa-masa itu sangat berkesan. Segala tingkah nakal tak pernah menjadi kisah yg memberatkan, bahkan asik untuk dikisahkan lagi. Tidak seperti saat aku dewasa. Segalanya berubah serius dan menegangkan. Satu tindakan salah kadang menjadi beban sepanjang hidup. Seperti kenangan saat sahabatku berkunjung ke rumahku ketika aku sakit.

Sekilas pintas, aku mengira dia akan memaafkanku. Namun sebaliknya, sejak kejadian itu ia mulai mengambail jarak dalam komunikasi kami. Aku maklum dan mulai membuka diri secara total pada keberadaan teman-teman lain yg juga tak kalah penting untuk diperhatikan. Artinya, sahabat tak hanya satu orang yg mengerti kita, tetapi mereka yg memberikan cinta dan perhatian pun dapat dianggap sebagai sahabat.

Saat pikiran dan batinku terkuras untuk memikirkan kesalahan-kesalahanku, ada banyak kawan yg peduli dan siaga di sampingku. Karenanya, bukan hanya kebahagiaan yg kurasakan, melainkan juga keharuan, merasa dicintai, dan dianggap sebagai salah satu bagian dari mereka. 

Ada banyak kawan yang bersedia mengubah telinganya menjadi telinga gajah untuk mendengarkan curhat sampah batin kita. Maka jika seorang kawan meninggalkanmu karena kesalahan kecil, jangan pernah takut. Ia khilaf dan suatu saat akan menyadari betapa persahabatan terlalu berharga untuk dihancurkan oleh rasa benci.

25 Januari 2018


Tidak ada komentar: