08 Maret 2024

Review Film Hunger; Perjalanan Menemukan Jati Diri Lewat Memasak


Film bagus menurut saya adalah yang paling banyak memberikan kesempatan untuk merenung setelah menonton. Tidak hanya berkesan secara sinematografi, akting dan scoring, namun dialog mendalam juga menjadi seni paling tinggi dalam mengaduk emosi penonton hingga merinding.


Pekan ini saya fokus menonton film-film bagus berkat link netflix berbagi dari seorang kerabat jauh di rantau. Pada mesin pencarian, iseng saya mengetik 'cooking', lalu mengantarkan saya pada saran beberapa film tentang kuliner. Film Hunger muncul di baris pertama dengan cover menarik mencuri perhatian saya.


Film ini berkisah tentang perjalanan seorang perempuan bernama Aoy (Aokbab Chutimon), koki kedai kwetiaw laris di persimpangan jalan sebuah kota di Thailand. Pada suatu hari ia menerima kartu undangan dari pembeli misterius yang mengagumi masakannya untuk bergabung ke sebuah tim di restoran fine-dining bernama Hunger.


Perjumpaan Aoy dengan Chef Paul (Peter Nopachai) sang pemilik restoran yang keras, suka berteriak, dan perfeksionis, membuatnya semakin memantaskan diri untuk bergabung dengan tim Hunger. Ia terpesona melihat sosok Chef Paul yang kemampuan memasaknya membuat orang begitu tergila-gila. Hingga ia pun mengubah standar gaya memasaknya yang dinilai kolot dan terbelakang.


Konflik disuguhkan dengan perlahan dan lembut membuat emosi saya seperti ikut berperan. Terutama saat adegan genting pemberhentian salah seorang tim chef senior yang berujung pertumpahan darah. Berikutnya sutradara juga menyelipkan pesan moral tentang konservasi satwa dilindungi dalam adegan Chef Paul dan orang kaya yang ingin menyantap burung langka. Nurani seorang Aoy tak terbendung sehingga ia pun memilih keluar dari dapur Hunger.


Berbagai pesan moral dapat tersampaikan dan memberikan ruang bagi saya untuk merenung. Film ini adalah sebuah kritik sosial yang menampilkan kesenjangan di masyarakat. Chef Paul sebenarnya gambaran kita, manusia biasa yang penuh ambisi dan keserakahan. Sementara Aoy adalah sebuah petunjuk bagi kita dalam menemukan alasan untuk kembali pulang. 



30 November 2023

Sebelas Tahun Meraih Sakinah

Aku masih duduk di sini, di dalam rumah kita. Memunguti setiap tumpukan pakaianmu di atas kasur yang enggan kau letakkan di keranjang. Aku masih menatap jendela berdebu dan rombongan semut di setiap sudut rumah kita. Hidupku masih berantakan, dan kau menerimanya dengan lapang. 


Kita memang pasangan yang aneh. Kata teman-teman seperti tidak akur. Bahkan seseorang pernah menegurku langsung tentang bagaimana harus meniru sikapmu yang tenang seperti telaga di tengah hutan rahasia. Sementara aku riuh gaduh bagai rebana yang sedang ditabuh.


Kamu suka berbicara tentang otomotif. Aku berusaha mengimbangi meski sebenarnya tidak pernah benar-benar memahaminya. Seperti kamu pura-pura menyimak saat aku berbicara tentang buku baru, film yang sedang aku tonton, ocehan kepada tetangga yang suka menyetel musik dugem di pagi hari, dan tentu saja banyak keluhan-keluhan tak penting lainnya. Terima kasih kau telah menerimaku dengan tulus selama sebelas tahun terakhir ini. 


Aku menyadari belum bisa menjadi istri terbaik seperti yang kamu harapkan, tetapi kamu tahu aku terus belajar. Aku berusaha terus berbenah. Terutama menata mental seorang istri yang hingga kini belum dikaruniai buah hati. Aku sudah mengadu kepada Rasulullah tentang masalah kita. Beliau pasti memahami posisimu seperti saat mendapingi dan mendengarkan suara hati Aisyah tentang masalah yang sama. Kita hanya perlu menunggu. Mungkin sebentar lagi. 


Semoga Allah selalu menjaga hubungan ini dan memandang dengan Rahmat-Nya. Melapangkan sabar kita untuk senantiasa ridha terhadap takdir-Nya. Sebab menikah bukan semata tentang cinta, melainkan ibadah dan bentuk penghambaan terhadap-Nya.


20 September 2023

Nenek Penunggu Villa

Generasi tahun 90-an pasti tidak asing dengan sinetron Gerhana. Drama serial televisi menceritakan tokoh bernama Gerhana yang lahir bertepatan dengan gerhana bulan sehingga ia memiliki keistimewaan berupa indigo. Sinetron tersebut benar-benar menginspirasi saya pada masa itu. Saya lalu berandai-andai betapa senangnya memiliki kemampuan supranatural, bisa berinteraksi dengan makhluk gaib atau bisa membaca pikiran orang lain.


Setelah dewasa dan mengenal seorang sahabat bernama Sahara, saya lalu menghapus keinginan itu, sebab akhirnya saya tahu bahwa indigo bukanlah kelebihan, melainkan kekurangan. Beban yang ia pikul justru lebih berat. Dalam hal bisa melihat makhluk halus isalnya.


Dua hari yang lalu saya diajak Faris dan Devi staycation di Batu untuk kepentingan bisnis. Villa yang mereka pilih berinisial O merupakan rekomendasi dari rekan bisnisnya. Sebuah bangunan berarsitektur tua yang direnovasi menjadi tampak modern. Memiliki ruang tamu sangat luas dengan akomodasi yang cukup lengkap. Bar dan dapur berada di ruangan utama membuat saya dan Devi berandai-andai memilikinya suatu saat nanti. Ada bonus pemandangan alam gunung Panderman dan pesona kota Batu yang bisa dinikmati dari balkon. Suasana sejuk penuh dengan aneka bunga membuat siapapun akan kagum memandangnya.


Begitu sampai, yang saya tebak adalah harganya pasti mahal. Benar saja, hampir gagal karena tarif dinilai terlalu tinggi, ternyata bapak penjaga paruh baya yang mengenakan topi rimba itu memanggil kami lagi dan mengabarkan bahwa sewa sudah dibayar oleh rekan bisnis Faris. Kami bersegera masuk untuk melepas lelah.


Ketika kembali ke mobil untuk menurunkan barang, seorang perempuan keluar dari bangunan di samping villa. Saya menebak pasti istri si bapak penjaga tadi. Bertubuh padat dengan kulit putih dan wajah bulat, membuatnya tampak seperti warga Tibet. Bibirnya memiliki lengkung yang lebih condong ke bawah sehingga ia seperti selalu bersedih.



Tiba-tiba keanehan pertama menyentak kesadaran saya. Saya sampaikan sejujurnya ke Devi bahwa saya merasa tengah berada di villa seperti dalam film horor; bangunan tua dan dua penjaga misterius. Ia buru-buru mengiyakan sebelum saya selesai berbicara. Kami bejalan dengan perasaan masih tampak wajar.


Siang itu saya tidak membuang waktu dengan berlelah-lelah, langsung membidik beberapa pemandangan yang indah berikut setiap sudut villa. Devi mengagetkan saya dengan berbisik menemukan album tua di nakas kamarnya. Aku meresponnya dengan biasa saja. Berpikir positif, mungkin itu adalah album kenangan pemilik villa.


Di dinding ruang tamu, lurus dengan tivi, saya juga memperhatikan figura dengan foto tua. Foto atas tampak kakek nenek tengah duduk mengenakan pakaian adat jawa. Di bawahnya kakek nenek itu di masa muda bersama delapan anaknya tercetak hitam putih. Anehnya bagi kami, mengapa bukan lukisan pemandangan saja yang dipajang? Mengapa harus foto tua?


Keanehan itu segera kami tepis dengan mengukus pentol ikan tuna yang sengaja kami bawa dari Madura. Kami berkumpul di balkon untuk menikmatinya selagi hangat. Sufi, adik Devi datang membawa kudapan dan minuman dingin. Kami menikmati momen itu dengan sangat puas.


Suasana tampak lebih seru saat Sofwan dan Istrinya, Mbak Sahara, datang membawa bayinya yang berusia 3 bulan. Sofwan adalah sahabat Faris yang tinggal di Malang. Mereka berteman sejak nyantri di pondok pesantren Annuqayah daerah Lubangsa Selatan. Komunikasi mereka cukup baik sehingga silaturrahmi tetap terjaga hingga kini.


Kami berkumpul di balkon menimkati guyonan dan bualan khas Sofwan. Nadanya yang menggebu ketika menceritakan sesuatu membuat apa yang ia sampaikan selalu terdengar lucu. Momen berkumpul dan membahas hal lucu inilah yang membuat liburan mahal dan bermakna.


Lepas maghrib kami memilih keluar mencari makanan menggunakan dua kendaraan. Karena Faris masih ada urusan, suami meminta kami, para perempuan pulang duluan. Kebetulan Devi dan Mbak Hara memang bisa menyetir. Bebas lah para laki-laki berkeliaran menikmati malam mingguan.


Setiba di villa kami disambut dingin yang menusuk. Maklum, kota batu memang lebih berangin pada 4,6 bulan dalam setahun, yakni awal Juni hingga akhir Oktober. Menerima sisa angin terhebat bulan Agustus membuat saya yang tak berjaket terguncang gemetaran.


Saya dan Devi memilih duduk di sofa, sementara Mbak Hara menyusui bayinya di kasur ruang tamu. Karena kunci masih menempel di pintu luar, saya meminta devi mengambilnya. Begitu ia membuka pintu saya melihat sekelebat bayangan di pintu ruang penjaga. Devi menoleh dan berteriak mendapati sosok pria tengah berdiri di balik pintu. Kami semua terperanjat tak karuan.


Dengan santainya si bapak berdiri mengenakan jumper dengan topi yang terpasang. Bukannya bereaksi lucu melihat tingkah kami yang kekanak-kanakan bapak itu malah memasang wajah datar. Ia bertanya mengenai pintu pagar apakah hendak dikunci atau masih menunggu para suami pulang.


Saya agak geram dengan tingkah aneh bapak tadi. Sangat mengganggu kondisi mental dan psikis kami. Suasana berubah menjadi mencekam. Lebih menakutkan lagi saat Mbak Sahara membuka tentang apa saja yang dia lihat sejak sore tadi.


Setiba Mbak Hara di gerbang, ia melihat sosok nenek gemuk memakai kebaya. Ia menyapa dengan santainya. Ketika menoleh lagi, sosok itu telah lenyap. Buru-buru ia bawa bayinya masuk.



Menjelang maghrib, ia melihat sosok yang sama memegang tongkat tengah berdiri memandang gunung Panderman. Sementara katanya, kami tengah asyik cekikikan menyimak cerita-cerita lucu Sofwan. Dan sempurnalah keresahan kami saat Mbak Sahara mengatakan bahwa sosok yang ia lihat itu persis seperti di dalam foto.


Kami berkumpul di atas kasur merima penjelasan tidak masuk akal dari seorang indigo. Tentang makhluk bertubuh hitam di dalam kamar mandi sebelah timur. Juga pocong yang mengambang di dekat pohon mangga tempat kami bersantai di Pujon. Semua terkuak menekan ketakutan di dalam diri saya.


Kaki saya berubah menjadi dingin. Tubuh terasa hangat terkesiap dengan denyut berpacu  kencang. Saya menggigil di pojokan. Devi pun menampakkan reaksi yang sama. Seperti mau menangis tetapi ditahan-tahan.


Terdengar bunyi di sofa pojok. Sebuah sudut yang memang tidak pernah kami duduki. Kata Mbak Hara, si nenek tengah menyaksikan ketakutan kami. Semakin tenggelam lah saya dalam kekecutan ini.


Mbak Hara mengatakan bahwa jika sampai ia terlelap, maka makhluk-makhluk di tempat itu akan mengajak berkenalan dengan mengeluarkan bunyi-bunyi. Saya dan Devi sudah tidak tahan dengan apa yang disampaikannya.


Kami tahu Mbak Hara tidak berbohong, saat tiba-tiba sebuah suara gagang pintu samar-samar terdengar. Saya pikir itu hanya efek dari ketakutan kami. Tetapi bunyi berikutnya dari jendela membuat kami percaya sepenuhnya bahwa makhluk itu tengah memperhatikan kami dari luar sana.


Saya menahan kantuk luar biasa. Antara sadar dan tidak, terndengar bunyi gesekan sofa. Persis di detik yang sama saya dan Mbak Hara bertatapan menyadari apa yang kami dengar ternyata sama. Saya menoleh ke arah Devi, dia menggeleng tak mendengar apa-apa. Mungkin karena hanya dia yg masih bertahan untuk tidak terlelap.


Di pejam berikutnya, dengan jelas saya mendengar sebuah suara. Suara perempuan tua bernada berat. Mbak Hara lebih dulu mengungkapkan kepada kami tentang suara itu. Saya yang juga mendengar membenarkannya. Kami bertiga saling pandang dalam perasaan yang sama.


Di situlah titik yang membuat kami memutuskan untuk cek out malam itu juga. Kami berencana pindah ke rumah Mbak Hara atau numpang di kosan Sufi. Maka ditelponlah pak suami yang ketika mengangkat suaranya terdengar parau. Sialan! Bisa-bisanya dia tertidur sementara kami menerima teror nenek tua.


Jam menunjukkan pukul 2 dini hari saat kami semua putus asa. Devi benar-benar bertahan untuk tidak terlelap sedetik pun. Matanya tampak merah. Kami rasa, ini bukanlah healing, melainkan ajang uji mental sebuah drama filmis. Kami hanya saling menguatkan satu sama lain. Bagaimana pun ini harus kami terima. Mengerikan memang, namanya juga gratisan, celetuk Mbak Hara membuat suasana tegang lumayan mencair.


Satu jam berikutnya kami dikagetkan dengan Mbak Hara yang tiba-tiba terjaga dari tidurnya. Katanya nenek itu membangunkannya. Ia melongo ke jendela. Membuka pintu menantang makhluk gaib itu. Hilang katanya. Tapi tiba-tiba kembali menyaksikan kami dari kejauhan.


Saya dan Devi seperti kucing sedang dimandikan. Lemah tak berdaya mendengar penjelasan demi penjelasan tentang dunia indigo. Sampai akhirnya suara mobil tiba halaman. Membebaskan selapis belenggu ketakutan.


Mereka menyimak cerita kami dengan candaan. Aura positif manusia kata Mbak Hara adalah energi negatif bagi mereka. Nenek itu lenyap dimakan keberanian sosok pelindung. Suasana berubah hangat dan kami masih mengobrol sampai jam 3.30 WIB.


Suami memberi wejangan bahwa setiap rumah pasti memiliki penjaga tak kasat mata. Memang sudah sepantasnya dikirimi fatihah. Mereka tidak mengganggu. Hanya menyaksikan manusia dari alamnya. Sementara bagi orang indigo, makhluk gaib memang cenderung ingin berkenalan.


Menjelang tidur, saya masih diteror rasa penasaran mengapa nenek itu bergentayangan? Bagaimana kisah hidupnnya?  Seperti apakah cara matinya? Apakah anak-anaknya berkirim amal saleh? Di manakah ia dikebumikan? Apa maksud kedatangannya?


Setiap nyawa akan menjumpai kematian. Waktunya sudah ditentukan. Tugas kita adalah memperindah hidup, agar mati bahagia. 

16 Agustus 2023

Dialog Cucian


Apa kabar kalian yang menumpuk di keranjang cucian? Jamur tumbuh memutih di antara lipatan kerah dan saku. Beberapa telah melegam menjadi sarang kutu. 


Besok aku masih sibuk. Lusa juga penuh agenda. Menjamahmu menjadi hal langka akhir-akhir ini. Sementara di kepala ada target baru tayangan lini masa yang terus menghantui. 


Para produsen berlomba menampilkan keculasan lewat model menarik dan lagu-lagu candu. Pantas saja perempuan ingin tampil seperti itu. Seperti selebgram yang jelas tak akan pernah sama bila dikenakan sendiri. Sumpah... Tidak akan pernah sama. 


Baju lama penuh kenangan merasa sayang untuk dibagikan. Baju baru calon kesayangan tidak akan pernah sudi dipinjamkan. Semua menumpuk saling tindih di dalam lemari. Menawarkan diri setiap hari. Pilih aku... Pakai aku... Hargai aku... 


Kalap namanya di antara deratan yang belum terpakai masih rapi bersama tag dan kancing cadangan. Terus dan terus saja tergoda iklan yang lewat tak ada habisnya. Itulah aku atau kamu atau dia atau siapa saja yang belum mendengar kabar bahwa di luar sana minimalisme telah dikumandangkan. 


Apa kabar kamu yang telah mendekam lama di dalam ember hitam? Aku sudah mengantuk. Tak ada lagi diksi yang bisa aku tuliskan. Sampai jumpa di kamar mandi. Jangan menangis lagi. Doakan saja bulan ini aku tak menambah calon limbah. 


14 Agustus 2023

Lahir dari Rahim Pergerakan


Niat berkunjung ke rumah Ning An sudah lama saya agendakan. Seorang teman yang saya anggap guru karena segala apa yang terucapkan dari beliau selalu menggugah. Ya, beliau memiliki pengaruh luar biasa bagi teman-teman semasa kuliah, dan kini bagi lingkungan masyarakat di sekitarnya. 


Perjalanan kali ini saya menemani Devi dan Jalal, bayinya yang berusia 8 bulan dalam agenda serabutan. Tiba di Pamekasan pada pukul 07.12 WIB dengan mendapati jalanan sesak oleh penonton karnaval tujuhbelasan, kami memilih terus berjalan ke arah Teja melewati rute sebelah utara masjid agung Asy-Syuhada. Benar saja, perjalanan yang tak memiliki tujuan, akan membawa kita pada situasi kebingungan. 


Karena dari Teja tembus ke jembatan Gurem, saya ingat itu adalah jalan menuju rumah Ning An. Ditelponlah beliau dan ternyata sedang santai di rumah. Kami berbalik arah ke barat mengikuti panduan google maps. Menyusuri jalanan yang agak sedikit menantang bagi pengemudi yang baru belajar menyetir mobil. 

 
Hanya butuh 11 menit kami telah tiba di ALAS (Al-Amien Larangan Slampar), sebuah akronim unik untuk nama kediaman beliau. Letaknya berada di tengah sawah berbandar langit yang saya kira pengairannya dari hujan saja, tetapi dugaan saya keliru ketika terlihat tiga tandon besar di sudut halamannya. Tanah di sini ternyata subur. 


Lalu saya teringat postingan-postingan Ning An seputar kegiatannya mengajari anak-anak beliau menanam sayur di samping rumahnya. Ternyata itu bukan pencitraan di sosmed saja, melainkan memang nyata. Dasar pikiran saya yang penuh drama! 


Seperti biasa, beliau menyambut kami dengan senyum dan bahasa halus namun terkesan jenaka. Sebuah sapaan khas yang hanya dipahami bagi yang mengenalnya. Bagi saya, itulah magnet yang membuat saya tak sungkan mendiskusikan apa saja tentang kehidupan. 


Di tengah gempuran fashion, beliau konsisten dengan penampilan sederhana dan apa adanya. Wajahnya tidak pernah terlihat berdandan. Tubuh yang tinggi masih dengan BB stagnan membuat saya iri. Dan satu lagi ciri beliau yang menular, yaitu mencubit atau memukul halus lawan bicaranya. 


Kami dipersilakan duduk di ruang perpustakaan pribadi yang kemudian saya tahu bahwa ruangan itu dimanfaatkan untuk anak-anak masyarakat sekitar sana. Sementara orang tuanya mengikuti pengajian, anak-anak bisa membaca dengan leluasa. Literaturnya cukup lengkap, mulai dari genre sastra anak dan dewasa, kitab klasik, juga boarbook untuk balita. 


Ning Nur Hasanatul Hafshaniyah masih seperti yang saya kenal dulu; lahir dari rahim pergerakan dan terus tumbuh memperjuangkan masyarakat. Beberapa bulan terakhir beliau menghubungi saya dalam misi membangunkan kamar mandi untuk seorang nenek sebatang kara. Beliau menggalang dana secara mandiri dan mengurus seluruh perlengkapannya bersama sang suami. 


Saya hanya geleng-geleng menyaksikan pasangan di era ini yang empatinya di luar nalar. Mereka tidak sekedar membaca buku, melainkan situasi masyarakat di sekitarnya. Dan itulah memang hakikatnya manusia; bermanfaat bagi manusia lainnya. 


Siang itu kami pamit pulang dengan perasaan puas mengantongi obrolan padat berisi. Mulai dari krisis cara pandang masyarakat saat ini dalam menilai pernikahan, sampai urusan menjamurnya pabrik rokok di Madura. Apapun obrolannya, endingnya pasti beliau memaksa makan. 🤣

07 Agustus 2023

Level Cak Isni


Siang itu, tiga tahun yang lalu, suami mengantar saya terapi ke Pak Enos di Bragung, Guluk-Guluk, Sumenep. Beliau adalah praktisi pijat refleksi di bagian kaki. Tidak hanya mengobati fisik, tetapi juga mental dan pola pikir melalui sugesti serta tausiah yang beliau sampaikan pada setiap pasiennya. 


Gaya Pak Enos yang demikian mengingatkan saya pada Patch Adam, seorang dokter pendiri Gesundheit Institute berasal dari Washington yang mengobati melalui humor, curhat, dan konseling. Saya lalu berpikir, andai setiap tenaga kesehatan punya sedikit waktu untuk mendengarkan sekelumit persoalan yang berkaitan dengan kesehatan pasiennya, tentu saja proses pengobatan tidak akan berjalan kaku seperti yang sering kita jumpai. 


Yang paling marak biasanya menjelang proses persalinan. Dokter spesialis kandungan di kota tertentu di Madura misalanya, sering kali menyikapi persalinan sebagai proses sepele. Biasanya memutuskan perkara tanpa peduli bagaimana kondisi yang sebenarnya. 


Contoh kasusnya terjadi pada teman saya. Diagnosa dokter malaporkan ketuban pecah dan menyarankan operasi caesar. Suaminya bersikeras tidak setuju karena memang berasal dari keluarga tidak mampu. Akhirnya diboyonglah sang istri. Ketika dibawa ke dokter lain di kota asalnya, ternyata air ketuban masih 90% utuh serta peluang lahir normal sangat besar. Dan banyak kasus janggal lain seputar persalinan yang seperti didorong untuk menjalani proses sesuai kehendak dokter, dengan segala kongkalikong di dalamnya. 


Dalam kasus persalinan, Pak Enos juga banyak membantu perempuan untuk berjuang lahir normal. Beliau tidak menyentuh bagian perut, melainkan hanya kaki. Beliau mengibaratkan tas yang hendak saya ambil di kursinya waktu itu. Katanya tak perlu menyentuh tasnya langsung, menyeret tali panjangnya sudah bisa menarik tasnya sekaligus. 


Hanya dengan menyentuh beberapa titik di kaki saya pada awal mula menjalani terapi, beliau sudah banyak menjabarkan detail problematika kehidupan saya. Mulai dari kondisi rahim sampai mental dan kepribadian saya. Saya percaya, karena apa yang beliau sampaikan berkenaan dengan kondisi rahim kurang lebih sama seperti hasil USG ke dokter Wongso Suhendro kala itu. 


Beberapa kebenaran mengenai kondisi hidup saya beliau baca secara gamblang. Salah satunya keruwetan hidup yang tak mau mengenal kata santai. Memang saya akui setiap kali akan menjalankan aktivitas, selalu saya pikirkan jauh sebelumnya, sekecil apapun itu. Jika ada undangan pada pukul 12 siang biasanya saya pikirkan 6 jam sebelumnya. Sama persis seperti kalimat yang disampaikan Pak Enos. 


Namun begitu, beliau bukan dukun tukang ramal. Dugaan saya, beliau pernah mengenyam pendidikan psikologi atau sesuatu yang berkaitan dengan itu sehingga tebakan-tebakan beliau untuk pasiennya hampir selalu benar. Sama seperti cerita Nyai Fairuzah ketika merekomendasikan beliau kepada saya. 


Pak Enos memandang suami yang duduk di samping saya. Beliau lalu tersenyum ke arah saya sambil berujar, "Bisa tidak Anda meniru sedikiiit saja, ketenangan seperti Mas Habibi?" Kalimat tanya retoris itu masih saya paksa jawab. Namun sanggahan demi sanggahan yang saya ucapkan rupanya semakin menunjukkan bahwa saya gegabah, bandel, dan susah mengindahkan omongan orang. 


Saya akui, ternyata memang belum mengenal suami sepenuhnya. Sisi agung tentangnya seperti disampaikan Pak Enos malah mengejutkan saya. Karakter suami yang jarang bicara dan jarang memberi perintah, saya anggap itu sekedar kebiasaan baik saja. Ternyata levelnya di atas itu. Pantasnya dia berkata, "Killing Spree!" kepada saya. 


Oke, saya setop di sini saja pembahasan tentang Cak Isni. Apapun kepribadian yang dia miliki, akan terus saya pelajari. Karena kami hanyalah dua orang dewasa yang terus belajar saling memahami. Doakan kami menjadi pasangan yang Allah ridai.


Sekumit Refleksi Hidup


Tidak ada hidup yang instan. Semua berjalan mengikuti arus perjuangan. Langkah macam apa yang kita ambil turut menentukan hasilnya di masa depan. Bemalas-malasan di masa kini, suatu kelak akan kerepotan. Sementara brepayah-payah saat ini, pasti santainya belakangan. 


Dulu, ketika ke mana-mana masih bermotor, secara getol saya berdoa kepada Tuhan untuk diberi rejeki kendaraan roda empat berpintu dua agar ketika pulang ke rumah mertua tidak kehujanan atau kepanasan. Karena dalam doa itu saya lupa menyebutkan merk Lamborghini atau Toyota Supra, Tuhan memberi kami mobil Carry keluaran tahun 2000 berwarna putih. Memang benar berpintu dua, namun jenis pickup. Dananya kami peroleh dari laba berdagang di laman jual beli hp online. Sebuah perjuangan yang tidak akan pernah kami lupakan.  


Aneka rasa dalam jual beli online kami cicipi di tahun pertama pernikahan. Menjajaki jalanan di bawah terik siang hari, atau kehujanan bersamaan dengan perasaan kecewa saat barang yang kami buru tidak sesuai harapan sudah kami alami. Ditipu sesama pedagang juga sering. Semua rentetan kejadian itu adalah proses panjang yang kemudian mengantarkan pada kehidupan kami saat ini.


Memang hidup ini tidak mudah. Ujian datang seperti perputaran siang dan malam tak ada habisnya. Yang perlu ditanamkan dalam mindset kita adalah Tuhan tak akan membiarkan kita terpuruk sepanjang tahun. Dia menyaksikan perjuangan umat manusia sembari menilai kinerjanya apakah layak naik jabatan atau malah menerima demosi. 


Dalam sebuah percakapan ringan dengan suami, saya pernah mengutarakan kegelisahan. Apakah nasib kita akan terus seperti ini? Menyambung hidup dari jalan ke jalan secara tak menentu? Jawaban suami singkat saja, bahwa suatu saat para pejuang sejati akan meraih kemenangan. Nalar saya yang dangkal hanya mengiyakan ucapannya tanpa pikir panjang. 


Pengalaman penuh tantangan mengasah saya menjadi pribadi yang lebih kuat. Sampai takdir membawa saya tinggal di rumah mertua. Membantu usaha pabrik tahu tempe yang dikelola keluarga di sana.


Hidup tiba-tiba menjadi mudah. Tiga tahun lamanya hanya menjalani aktivitas pabrik-dapur-kamar, saya nyaris tidak ke mana-mana. Tak ada kegiatan ilmiah apalagi liburan. Tetapi saat itu saya merasa nyaman dan menikmati momen di mana saya memiliki orang tua lengkap lagi, abah dan emak mertua yang menganggap saya sebagai anak kandungnya sendiri. 


Dengan penuh penerimaan, saya pun mempersembahkan pelayanan kepada abah selayaknya terhadap ayah sendiri. Waktu itu abah terserang penyakit asam lambung. Kami bawa beliau berobat ke mana-mana menggunakan pickup Carry putih milik suami. Bisa dibayangkan betapa sesaknya ruang yang hanya tersedia dua kursi memuat empat orang dewasa. Ditambah lagi tak ada AC, hanya dua bola kecil kipas angin yang dipasang di atas dashboard. 


Sepulang dari berobat, abah bertanya kepada suami tentang mobil yang layak untuk keluarga. Suami merasa heran, sebab abah adalah manusia nomor satu yang menampik membeli mobil, sejak dulu. Bukan tidak mampu, beliau memiliki alasan lain yang dirahasiakan. Pada akhirnya pertahanan beliau jebol disebabkan kebutuhan. 


Tahun 2018 Tuhan mengabulkan doa saya lagi untuk menikmati mobil keluarga lewat jalur mertua. Saya meyakini rejeki itu jalannya memang beragam, sebagai hamba yang beriman saya hanya patut mensyukurinya. Sebab saya pernah mendengar nasehat kawan tentang apa yang kita nikmati hari ini, itulah rejeki kita yang sebenarnya. 


Abah membeli Isuzu Panther LS tahun 2001 berwarna coklat muda metalik kepada orang Sumenep kota. Dibayar tunai dengan uang pecahan puluhan dan ribuan yang ketika dihitung lengket membuat penjualnya geli keheranan. Memang, beliau tidak suka menabung di bank. Beliau lebih suka menyimpan uangnya di rumah. Barangkali tempatya di dalam kain alas bantal, atau tempat-tempat yang sekiranya luput dari prediksi maling. 


Panther adalah pilihan yang tepat bagi kami. Dengan dana minim, sudah bisa menikmati mobil bertenaga besar, mudah dirawat, dan irit bahan bakar. Muatannya juga sangat cukup menampung 'orang sekampung'. Keseruannya terutama kami rasakan saat momen lebaran, silaturrahmi bisa beramai-ramai. 


Dari sekelumit cerita saya pribadi, ada refleksi yang menurut saya penting dibagikan. Bahwa berdoa untuk kepentingan diri sendiri, sudah kaprah sewajarnya sebagai hamba yang butuh pada Pencipta. Sedangkan berdoa untuk kepentingan orang banyak adalah kunci agar mudah dikabulkan. 


Dulu suami menginginkan kendaraan bermuatan besar memang untuk menampung sanak famili yang berkepentingan. Ketika dalam doa menyebutkan sebuah merk hanya untuk meingkatkan gaya hidup, Tuhan masih menunggu dan menguji. Seberapa layak menitipkan sesuatu yang diimpikan hambanya. 


Maka tak heran dengan mereka yang telah hidup dalam keberlimpahan. Barangkali ada rejeki banyak orang yang Tuhan titipkan lewatnya. Ia dinilai pantas atas karunia dunia. Sementara memantaskan diri menjadi seperti yang disenangi Tuhan adalah perkara yang sulit. Kata Andrea Hirata, Tuhan tahu, tapi menunggu.