16 April 2012

Petualangan (Calon) Jurnalis

(Mozaik II)

“Kapten Pemabuk”

Kulirik arloji kura-kura ninja bermotif spiderman di pergelangan tangan kiriku. Jarum berukuran kecil tebal mengarah pada angka sepuluh, jarum panjang tebal di angka sembilan, sementara jarum yang panjang dan kurus terus berputar tak kuhiraukan. Seluruh kawan sigap hendak menaiki perahu.

Aku tidak tahu berapa ongkos perahu menuju sampan yang berjarak sekitar lima meter itu. Tetapi saat kuserahkan uang dua puluh ribu dan lalu bersisa dua ribu, barulah aku tahu bahwa masing-masing kepala dihitung tiga ribu. Okelah kalau begitu.

Sementara aku mengurus ongkos, ternyata kawan-kawan telah sampai di dek perahu. Tinggal aku yang harus segera melompat dari tangga dermaga menuju pinggiran perahu sebelum akhirnya bisa duduk santai di atasnya. Rasanya was-was seperti akan terpeleset lalu oleng ke laut. Tapi, hap! Sekali saja aku melompat, tangan dan tubuhku telah dikendalikan banyak kawan.

Aku ditawari duduk pada tumpukan karung berisi bawang merah oleh Bak Jan Haura. Duduk sebentar saja, aku tak kuat menahan aroma bawang dipadu dengan amis laut. Tetapi tak ada pilihan lain. Aku harus bertahan sebentar saja. Hanya sebentar saja, batiku menguatkan.

Tak sampai lima menit, telah ada aba-aba untuk siap menuju sampan dari salah seroang penumpang. Tantangan kedua ini teryata tak kalah menakutkannya. Dari perahu yang terus bergerak-gerak kami harus melompat menuju pintu sampan. Sampai di pintu sampan kami masih harus melalui lubang dan naik sekitar satu meter untuk bisa sampai di atas sampan.

Sampan itu cukup tinggi, karena ada dua bagian penumpang. Penumpang bagian bawah adalah hewan ternak berupa kambing atau sapi, sementara di atas adalah manusia. Keduanya hanya dipisahkan oleh kayu yang dilapisi karpet hitam.
Yang sampai di atas duluan menerima barang bawaan untuk ditata. Lalu kami saling pegang menguatkan hati yang tegang. Dan rampunglah kami berenam di atas sampan. Aku menarik napas lega sambil tertawa kecil memandangi muka pucat kawan-kawan.

Perlahan, mesin bergetar keras dan sampan pun melaju seperti menciptakan garis belahan kecil di lautan. Sampan yang getarnya luar biasa ini akhirnya kuketahui bermuatan dua mesin. Dari salah seorang penumpang yang berasal dari Sepudi saya memperoleh penjelasan tentang muatan dua mesin yang akan membuat sampan ini berakselerasi. Jika perjalanan biasa ditempuh selama empat jam dengan satu mesin, maka dengan menggunakan dua mesin akan mengurangi separuhnya.

Karena tak tahan pusing, sebagian dari kami ada yang berbaring berdesakan. Mayoritas dari penumpang yang berjumlah sekitar empat puluh orang juga tiduran dengan beralaskan koran. Ada pula yang asyik berbincang dengan kenalan baru dari berbagai daerah. Kulihat ada seorang bocah merengek menyuruh ibunya membuka bungkus permen. Anak itu kira-kira berusia tiga tahunan. Seharusnya ia bisa membukanya sendiri, tetapi kuperhatikan tangannya tidak sempurna. Jemarinya cacat dan hanya bersisa jari jempol dan kelingking.

Ingatanku tersangkut pada seorang anak perempuan berasal dari Korea Selatan yang cacat tetapi berbakat. He Ah Lee, namanya. Dengan jemarinya yang hanya bersisa dua di masing-masing tangannya membuatnya dijuluki sebagai gadis kepiting. Tetapi dengan kepiawaiannya bermain piano yang mampu menghipnotis penonton dengan nuansa takjub akhirnya ia memperoleh banyak penghargaan dan menghadiri banyak acara di berbagai belahan dunia.

Tentu perjuangannya tidak mudah. Semasa di sekolah ia dihina habis-habisan oleh kawan sebayanya. Bukan hanya karena jemarinya yang cacat, tetapi ia tak mampu berjalan dengan dua paha. Ia tidak memiliki lutut, betis dan kaki. Setiap kali hendak ke mana-mana ia menggunakan jasa kursi roda. Sempurnalah cacian dan makian dari orang-orang di sekitarnya. Namun mimpi membuatnya tetap teguh dan optimis. Hingga kini, dengan segala kekurangannya yang ada, ia mampu dikenal dunia.

Anak yang meminta dibukakan bungkus permennya di hadapanku ini barang kali juga bisa menjadi bintang. Sekali pun ia cacat tetapi tidak menutup kemungkinan untuk tetap bangkit menantang kerasnya dunia dan lalu menaklukkannya. Aku tersenyum menatap ke arahnya. Ia membalasku dengan senyum yang tak kalah cerianya.

Sayang sekali aku tak sempat bertanya nama dan alamatnya. Kepalaku limbung dan aku menjadi tak nafsu bicara. Aku berbaring dan memejamkan mata sebab tak kuat menahan pusing. Tapi karena tak mengantuk aku tak terlelap. Hanya pejamkan mata dengan tetap mendengar bising mesin dan suara-suara obrolan kecil para penumpang. Aku bangun lagi. Terbaring lagi. Lama-lama, karena menyaksikan kekacauan sikapku, Kak Puput mengirimiku sms yang berbunyi sebuah pertanyaan tentang keadaanku. Aku menjawab apa adanya.

Kak Puput membangunkan Bak Jan dan Bak Imla’ untuk bermain. Aku tahu tujuannya agar aku kembali ceria dan tidak murung seperti ini. Jadilah kami bermain berpasang-pasangan. Bak Jan dan Kak Puput bermain tangga ingatan menggunakan keypad ponsel. Aku dan Bak Imla’ bermain ta’lam, sebuah permainan tradisional dengan menggunakan tepukan tangan disilang-silang. Sementara dua kawan lainnya, Zie dan Kak Maida tertidur pulas berbantal tumpukan ransel.

Orang-orang yang tak tidur memandang ke arah kami. Sejenak kami menjadi tontonan gratis yang membuat mereka tertawa-tawa. Mungkin bukan kerena lucu, melainkan heran menyaksikan kami yang bukan lagi anak-anak tetapi masih bermain hal konyol seperti ini. Sadar diperhatikan oleh banyak mata, akhirnya kami menghentikan permainan.

Aku kembali berbaring, memejamkan mata, dan berkhayal. Salah seorang guruku di SMA 3 Annuqayah dulu, memberiku petunjuk melawan mabuk. Beliau berpesan agar pengendara yang rawan mabuk tidak boleh diam atau dengan memejamkan mata dan berkhayal tentang hal-hal yang menyenangkan. Ibu guruku itu bernama Aminatus Zahroh. Kalau beliau sedang mendampingi kami observasi, dan kebetulan ada yang biasa mabuk, beliau mengajak kami berkhayal sedang menikmati rujak mangga dan kedongdong dengan bumbu yang pedas dan nikmat di atas dangau pada musim padi. Alhasil di sepanjang jalan kami tak henti berbicara dan berebut saling menimpali khayalan tersebut.

Tetapi kali ini berbeda. Meski berkali-kali aku berkhayal tentang pemandangan bukit yang hijau di musim penghujan, rumput-rumput tumbuh selutut dan bergoyang diterpa angin, kupu-kupu terbang-hinggap di atas bunga-bunga pagar di sepanjang jalan, semua seolah tak berhasil. Khayalan-khayalan itu malah membuat kepalaku makin pening. Pikiran jadi kalut dan perut pun seperti terkoyak-koyak ingin mengeluarkan isinya.

Apa pun yang terjadi aku tidak boleh mabuk. Selama di dermaga, kawan-kawan siam meminum pil anti mabuk dan memasang salompas pada bagian tubuh mereka. Aku ditawari tapi menolak karena tidak biasa memakai yang begituan.
“Maaf, kapten tidak mungkin mabuk,” tantangku.

Memang benar, selama ini aku tidak pernah mabuk kendaraan. Tetapi kalau kebetulan pada kesempatan ini aku mabuk, pasti aku akan ditertawakan. Aku tidak boleh mabuk, lagi-lagi batinku meneguhkan.

Pada akhirnya, apa yang aku takutkan benar-benar terjadi. Aku melongokan kepalaku ke laut dan memuntahkan apa yang ingin keluar. Perutku semakin mual dan pikiranku melayang-layang. Beberapa kali aku menguap dengan keras. Sempurna! Seluruh isi perutku telah menyatu dengan lautan.

Aku baru sadar, bahwa sedari tadi kawan-kawan telah berada di belakangku. Memijit leherku dan menawariku minyak kapak. Aku menggeleng dan memilih air kemasan untuk berkumur-kumur. Ada yang menyuruhku menguyur muka dengan air mineral itu. Dengan segera, aku pun membasuh mukaku dengan tetap melongo ke laut.

Segala pikiran tentang malu dan segala macam perangkat-perangkatnya tak kuhiraukan. Barulah aku tersadar ketika Bak Imlak berteriak,
“Kapten pemabuk!”
Serentak seluruh kawan tertawa. Aku pun ikut terbahak menerima julukan aneh ‘pemabuk’ yang bisa berarti miring menjadi orang brutal yang sering meminum minuman keras. Apa pun yang terjadi, itulah kenyataan. Dan aku harus menerima gelar itu, betapun memalukannya bagiku yang disebut sebagai Kapten.
(Bersambung…)