28 Januari 2018

Kenangan Paling Sedih

Kenangan paling menyedihkan di masa kecilku yang jika diingat sekarang aku masih tetap menangis adalah mendengarkan murottal syeik Abdul Rahman Al-Sudais, surat An-Naba'. Waktu itu, dalam perjalanan menuju pertunjukan gajah di Lapangan Guluk-Guluk aku numpang mobil salah satu kerabat dekat yg kebetulan memutar murottal surat-surat pendek. Kira-kira usiaku masih sembilan tahunan.

Kesedihanku bukan karena paham dengan makna surat Al-Qur'an tadi, melainkan karena tak mengantongi uang sepeserpun. Aku beragkat memenuhi ajakan teman sepulang sekolah saat ayah dan ibu sedang tidak di rumah.

Sepanjang perjalanan aku membayangkan teman-teman yang lain membawa uang jajan yang banyak dan bisa membeli apa yang mereka suka. Sementara aku tak tahu harus menjawab apa ketika mereka mengajakku belanja.

Di lokasi pertunjukan, kami berkumpul di balik pagar bambu yang disediakan panitia. Kulihat ada perempuan maju ke tengah lapangan untuk dicium sang gajah. Suasana tegang sejenak, lalu kembali ramai oleh tepuk tangan para penonton ketika sang gajah menunduk dan menciumnya seperti pangeran dalam dongen si buruk rupa. 

Dalam keseruan aku bersyukur tak ada seorang pun teman rombonganku yang pergi beli-beli. Namun ketika acara resmi bubar, mereka semua berhamburan menuju stan bazar penjual makanan dan mainan. Mereka tak menyadari aku mematung di kejauhan sembari meneteskan satu dua air mata. 

Dadaku sesak oleh perasaan ingin yang tak mampu kugapai. Tubuhku bergetar menjalarkan kekeluan. Tungkaiku seperti tak bisa digerakkan. Dengan perlahan aku berusaha menuju mobil untuk masuk duluan.

Saat paman membuka pintu, kupilih kursi pojok paling belakang untuk mengatur napas. Paman curiga mendengar suara sesenggukan. Ia bertanya mengapa aku menangis. Aku menjawab pusing dan sakit perut. Ia menyuruhku berbaring.

Kututup mataku rapat-rapat. Dalam pejamku yang paling pedih, aku mendengar lantunan surat An-Naba'. Ayat-ayat itu perlahan mengurangi beban di dadaku tapi tidak dengan air mataku.

Teman-teman kembali ke mobil dengan belanjaan yang banyak dan sebagian menikmatinya di jalan. Mereka heran melihatku. Panman menjelaskan alasanku. Aku lega mereka tak curiga. 

Mobil melaju dengan cepat. Dari kaca yang terbuka aku melihat langit suram. Udara dingin. Alam seperti kompromi mendukung kesedihanku. Juga irama Al-Qur'an yang mendayu lewat sound kecil di belakang kursi tempatku berbaring. 

28 Januari 2018

Tidak ada komentar: