30 Mei 2020

Lebaran Pertama Tanpa Ibu

Ini adalah tahun pertamaku berlebaran tanpa ibu. Setelah ayah meninggalkan beliau tujuh tahun yang lalu, kini lengkap sudah keduanya melepaskanku. Ada kecamuk dalam diri yang tak sanggup aku pendam. Ingin kutumpahkan dalam cacatan yang mungkin juga tak hanya aku yang mengalaminya. Di luar sana pasti banyak muda-mudi atau bahkan anak kecil yang merasakan kehilangan lebih dalam. Namun pada dimensi lain aku yang sanguinis juga kadang tersudut dalam ruang melankolis.


Kepergian ibu adalah hal yang sangat memukulku lantaran beliau yang tak pernah mengeluh sedikitpun atas sakitnya kepada anak-anaknya. Ibu adalah perempuan paling tegar yang harus aku teladani. Sikap dermawan dan kasih sayang beliau pada anak-anak gadis di kampungku membuat mereka iri kepadaku dan berkata ingin punya ibu seperti ibuku.


Ibu adalah tipe orang tua yang demokratis. Termasuk soal asmara. Beliau membebaskan anak-anaknya untuk memilih pasangan hidup.


Tak pernah ibu mengungkapkan lara hatinya. Beliau selalu tersenyum menghadapi tantangan hidup sebagai orang tua tunggal selepas meninggalnya ayah. Menyekolahkanku hingga strata satu adalah sebuah kebanggaan bagi beliau. Dan yang paling aku kagumi ibu tidak mendikte hidup seperti apa yang harus aku jalani sebagai seorang sarjana. Aku membuka usaha pentol ikan, es pelangi, dan kadang juga berjualan hape bekas dengan suamiku. Ibu tidak kecewa. Karena sarjana bukan mereka yg berpangkat, tetapi yang berbudi luhur dan kepada orang tua selalu taat.


Menurutku sangat picik mengomentari status orang berpendidikan yang menganggur. Selalu muncul sentilan bahwa sekolah tidak memeberikan faedah. Namun seseorang dinilai saat terjun ke masyarakat. Pendidikan akan menunjukkan budi pekerti dan  ketidakkakuan ketika masyarakat meminta berbicara atau memimpin doa. Ibuku tidak sedih karena aku tak jadi apa-apa. 


Sikap bijak ibu membuatku terkagum-kagum. Bahkan disaat sakitnya beliau terus saja menunjukkan ketegaran dalam bahasanya. Beliau optimis bahkan beberapa menit sebelum menghembuskan nafas. Ibu meminta pindah ke rumah sakit lain saat pneumonia akibat asam lambung yang dideritanya semakin parah.


Di saat kritis, di tengah malam aku mengusap kening beliau. Meminta maaf karena belum sempat membahagiakan. Aku memberinya banyak harapan kesembuhan. Beliau mengangguk dan tersenyum di balik alat bantu oksigen. Kurengkuh jemarinya dan tak sanggup menahan air mata, malam itu, yang ternyata adalah malam terakhirku dengan ibu.


Kudirikan shalat istikharah meminta petunjuk tentang jalan kesembuhannya. Begitu kuraih Al-Quran, tepatlah pada surat Al-A'raaf yang salah satu ayatnya yang ke-34 menunjukkan ayat kematian. Lalu surat Yunus yang salah satu ayatnya juga berisi salam perpisahan. Aku menangis sejadi jadinya di keheningan malam. Memandangi ibu dalam ritme napasnya yang tersentak per detik.


Kututup Al-Qur'an dalam perasaan pasrah dan doa-doa terbaik untuk mengikhlaskan kepergian ibu jika memang telah sampai pada janjinya. Pintaku pada Tuhan adalah pengampunan untuk ibu dan lepaskan beliau dalam husnul khatimah. Meminta dimudahkan pada saat sakaratul maut dan membawa sangu islam dan iman di akhir hembusan napasnya. Dalam doa panjang itu aku masih mengungkapkan pengharapan akan kesembuhan ibu. Aku yakin kun Allah lebih ajaib dari apapun di dunia ini.


Dua perawat masuk dengan dua alat bantu pernapasan yg beragam, entah apa namanya. Saat dua alat itu dicoba satu per satu, tak ada respon baik. Dua perwat itu mengungkapkan kabar buruk. Aku menyusul ke meja resepsionis. Kepada mereka aku menegur untuk tidak menyampaikan kalimat yang mengandung keputusasaan pada pasien. Khawatir kondisi pasien menurun akibat kata-kata tak baik yang disampaikan. Mereka mafhum dan meminta maaf. Aku menggerutu dalam hati.


Pagi pagi sekali aku mengobrol dengan ibu Hajah Kom, sahabat ibu. Bu Hajah adalah ibu beng Nu yang merupakan sahabatku sejak kecil. Kami tak hanya berteman tapi masih famili. Rumah kami berdekatan. Ibu Hajah adalah ibu kedua bagiku.


Di bawah pohon yang buahnya mirip buah tin di halaman Rumah Sakit Umum, Pamekasan, tepat di belakan ruang paviliun kamar mawar, kami berbicara seputar masa lalu ibu dan kisah haru bersama ibu Hajah. Beliau sama-sama janda dan tentu saja merupakan ruang saling berbagi satu sama lain. Ibu Hajah memintaku mengikhlaskan ibu. Aku kembali menangis. Kata ikhlas mengapa begitu mudah diucapkan. Sementara pada praktiknya ikhlas adalah puncak segala kebaikan yang susah untuk dilakukan.


Usai mengobrol, aku kembali ke ruangan. Di sana tampak ibu Senni menelpon nenek di rumah dan meminta ridha untuk ibu. Begitu nenek berucap ikhlas melepas ibu, nafas ibu mulai melemah. Aku memanggil perawat dan suami.


Dua perawat datang mengontrol angka pernapasan. Alat itu tak menunjukkan angka melainkan tanda silang. mereka lalu hendak mengambil sampel darah di bagian betis. Tak ada darah keluar. Wajah ibu tampak keunguan. Napas beliau mulai hilang satu-satu. Suamiku mencium kening ibu. Kugenggam tangan ibu sambil terus berucap asma Allah. Bersama lafad Allah beliau melirik ke arah kanan dan tersenyum melepas ruh bersama malaikat yang menjemputnya. Aku melantunkan adzan di telinga kanannya seperti ayah saat membacakan kepadaku ketika aku lahir.


Ibu pergi dan aku masih tertegun tak percaya. Sakit beliau hanya sebulan. Dalam sebulan itu, karena beliau tak banyak mengeluh aku pikir sakitnya tak parah. Di situlah aku merasa menjadi orang jahat yang mengabaikan ibu. Itu adalah perasaan sedih yang bahkan jika dingat saat ini, air mata ini tak bisa kutahan-tahan.


Di dalam mobil ambulans aku teringat ibu paling takut pada mobil rumah sakit itu. Pada pembaringan terakhirnya mobil itulah yang mengantar ibu pulang bersama lantunan surat yasin dari beberapa orang yang mengiring di dalamnya.


Di halam rumah sudah banyak orang-orang kampung yang menunggu. Semua orang menangis. Terutama mereka perempuan-perempuan yang mengagumi ibu dan selalu bilang ingin punya ibu seperti ibuku. Surat yasin begitu syahdu dilanntunkan bagai irama penghantar tidur. Semua orang melihat wajah bahagia ibu usai dimandikan.


Maka ini adalah tahun pertamaku berlebaran tanpa ibu. Beliau selalu memasak hidangan terbaik. Namun saat ini sudah tidak lagi. Sekarang aku yang memasak untuk ibu. Kuhantarkan niat menyajikan masakan terbaikku untuk ayah dan ibu di alam sana.


Bagiku ibu selalu hidup. Mengawasi setiap gerakku dari dimensi lain. Ingin kuungkap terima kasih, sudah mengajariku banyak hal. Termasuk memasak ketupat di hari ketujuh setelah lebaran idul fitri. Semoga ibu selalu berbahagia.