26 Maret 2022

Gus Muwafiq dan Sisi Keunikannya

Kedatangan Gus Muwafiq menjadi yang paling dinanti-nanti. Maka ketika acara seremonial dimulai, petanda beliau sudah berada di lokasi. Tampak pasukan Banser dan beberapa aparat kota Mojokerto mengawal beliau memasuki pintu utama menuju panggung. Para hadirin yang masih berkeliaran di sekitar bazar serentak mengambil posisi di bawah terop. Suasana menjadi tenang. 


Ini adalah kali pertama saya berjumpa langsung dengan Gus Muwafiq. Selama ini hanya menonton ceramah beliau di youtube. Berita terakhir yang saya tonton adalah pembelaan beliau terhadap Rara si pawang hujan di acara MotoGP Mandalika yang diklaim syirik oleh beberapa ustad online berjenggot panjang. 


Pembawaan Gus Muwafiq yang tenang dan selalu santai dalam menyikapi persoalan malah semakin membuat saya kagum. Bahkan cermah beliau dalam peringatan Hari Air Sedunia kali ini sangat padat dan sarat makna. Durasi yang cukup panjang bahkan tak terasa. 


Beliau memulai dengan sentilan untuk kaum muda milenial yang mulai bangga mengidolakan dan meneladani gaya hidup orang luar negeri. Contoh yang Gus Muwafiq sebutkan adalah betapa bodohnya orang mengkonsumsi sarden layaknya orang Eropa yang harus menghadapi musim dingin panjang, sementara kita bebas memancing dan menikmati ikan segar setiap hari, di segala musim. Tanpa perlu repot mengawetkan makanan sebagai cadangan. 


Bagi beliau sangat aneh masyarakat Indonesia makan dengan sumpit, sebab budaya sumpit berangkat dari latar belakang negara yang dulu kekurangan kayu sehingga memasak makanan dengan potongan kecil-kecil agar cepat matang dan mudah dikonsumsi menggunakan bantuan dua kayu panjang. Lebih aneh lagi peringatan Hari Air Sedunia ini digelar oleh masyarakat Trawas, Mojokerto, yang jelas-jelas kaya akan air dan tidak ada tanda-tanda akan mengalami krisis air. Yang lebih pantas menggelar acara ini adalah Qatar, Israel, Libanon atau Negara lain yang sedang dan akan mengalami kelangkaan air. 


Beliau menegaskan agar kita jangan pernah berpikir untuk menyamakan gaya hidup kita dengan orang luar negeri, karena itu tidak visibel dan visioner. Yang perlu kita ciptakan adalah semangat pemuda tangguh yang siap memanajemen dan menjaga sumber mata air kehidupan Indonesia dari para penjajah yang mulai melirik dan mengancam untuk merenggutnya. Hadirin bertepuk tangan seperti teraliri semangat juang yang luar biasa membakar. 


Meski Gus Muwafiq menggunakan bahasa Jawa, sebagai orang Madura saya masih sanggup mencerna apa yang beliau sampaikan. Terutama bagian favorit yang terus saya ingat, ketika beliau mengajukan beberapa pertanyaan retoris: apakah bangsa kita akan berkiblat ke Eropa? Dijawab dengan sebuah naskah "Salah Asuhan", Apakah bangsa Indonesia akan berkiblat ke Arab? Tidak, selain shalat, ditulis dengan "Di Bawah Lindungan Kakbah", apakah kita akan meniru Belanda? Tidak sebab "Tenggelamnya Kapan van der Wijck", apakah murni Indonesia? Tidak jika itu "Siti Nur Baya".


Saya dan Dek Uus ternganga dengan model ceramah Gus Muwafiq yang luas bahkan sampai membahas banyak film Hollywood yang berkaitan dengan karakter suatu bangsa. Tak lupa juga beliau menyebutkan betapa apiknya serial drama Upin Ipin yang di dalamnya mengandung unsur pemersatuan ras dan suku bangsa. Seperti makanan ringan, materi yang beliau sampaikan renyah dan bergizi. 


Tidak banyak berbicara soal air, isi ceramah beliau lebih menitikberatkan pada cara bagaimana bangsa kembali menemukan jati diri, sebab bangsa kita saat ini mulai tidak percaya diri. Para kaum muda malah ikut-ikutan mengidolakan orang luar dan membanggakan kebudayaannya. Beliau menyarankan tentang langkah yang perlu segera dimulai dengan membangun karakter yang kuat agar benteng pertahanan tidak mudah ditembus oleh penjajah. 


Pada menit terakhir Gus Muwafiq mengenang betapa rindu di masa lalu sangat dramatis dan melankolis. Dua insan yang sedang kasmaran berjuang membeli amplop merah jambu ke pasar. Mengarang surat dengan rangkaian diksi indah. Beliau mencontohkan lirik Kiai M.Faizi yang dahsyat, "Kau tusuk di sana, berdarah di sini". Namun kini, semua itu tinggal kenangan, saat rindu menjadi tiada arti dijajah selfi dalam sekali klik sampai di tujuan dengan caption klise tak bermakna. 


Puncaknya Gus Muwafiq memanggil Kiai M.Faizi untuk mempersembahkan penampilan gitar mengiring beliau bernyanyi. Para seniman lain membujuk Kiai Faizi yang enggan untuk maju. Terlihat ada yang mendesak dengan berteriak "harus mau". Peserta ikutan-ikutan meneriakkan hal serupa. Pada akhirnya hadirin bertepuk tangan menyaksikan beliau melangkah di tengah barisan kursi penonton. 


Sebagian besar penonton berdiri berdesakan maju ke dekat panggung untuk mengambil foto dan video. Gitar dipetik, vokalis mencari nada yang pas. Mengalun lah lagu Tanah Airku ciptaan Ibu Sud bersamaan dengan gerimis. Disusul hujan deras sepaket dengan angin dan petirnya. 


Cuaca buruk dan segala cobaan hari ini berubah terasa syahdu. Nada-nada yang tersampaikan menjadi semacam penutup yang sempurna. Lamat-lamat air mata menggenang ketika samapai pada lirik, tanah ku yang kucintai, engkau kuhargai. Saya mundur, menjauh dari panggung membawa perasaan betapa beruntungnya saya hari ini. 


23 Maret 2022


24 Maret 2022

Mojokerto: Kota Kecil yang Menyimpan Surga

Kalau Anda melintas di Mojokerto dan hanya sekedar lewat saja, yang tekenang di ingatan hanyalah panas, gersang, polusi dan kota tiada kesan. Tapi siapa sangka, di balik pemandangan hambar, kota Onde-onde ini memiliki surga kecil nan menawan. Kemarin, tanggal 23 Maret 2022 saya berkesempatan membuktikannya. 


Kesempatan itu diberikan oleh guru saya, Kiai M.Faizi yang hendak menghadiri undangan peringatan Hari Air Sedunia di Trawas. Beliau mengajak rombongan terdiri dari guru dan anggota komunitas Pemulung Sampah Gaul (PSG) SMA 3 Annuqayah. Kami berangkat dengan satu kendaraan pada jam 2 dini hari. 


Rombongan kami tiba di Trawas pukul 6:30 WIB, sementara acara akan dimulai jam 10:00 WIB. Jadi kesempatan menyambangi beberapa destinasi wisata masih tersisa tiga jam-an. Sesuai petunjuk ahli, Kiai M.Faizi, kami akan ke Petirtaan Jolotundo, tempat mata air terjernih ke-2 di dunia setelah zam-zam, yang berlokasikan di gunung Penanggungan.


Di beberapa titik, pemandangan tak biasa seperti mengajak kami berhenti. Rumah-rumah berderet sesak di atas tebing terlihat sangat asri dan unik. Kami juga melewati gerbang hutan pinus, taman Ghanjaran, dan beberapa kedai kali di sepanjang jalan. Karena memang belum sarapan, kami ingin merasakan indahnya makan di atas lencak di tengah sungai seperti sering kami tonton di facebook dan youtube. 


Menepilah panther touring yang dikemudi suami dan memesan sarapan delapan porsi. Sembari menunggu, kami semua sibuk mengambil gambar. Maklum, ketidaktertarikan berfoto hanya ada di zaman Wiro Sableng karena waktu itu belum ada ponsel pintar. Saat ini media menjadi menarik hanya jika disertai gambar. 


Perjalanan dilanjutkan kembali usai pemadaman kelaparan. Saya selalu dibuat takjub dengan pemandangan kiri kanan jalan. Hampir tidak ada spot yang tidak indah di tempat ini. Suasana sejuknya pun membuat saya merasa betah. 


Tak lama berjalan, kami berjumpa dengan pertigaan dan belok kanan menuju tempat wisata Petirtaan Jolotundo. Di pos kami disodori tiket masuk dengan membayar sepuluh ribu per kepala. Meluncurlah rombongan ke atas hutan yang begitu alami dan tersembunyi. Pohon-pohon tua gendut diselimuti kain begitu dihormati. Aroma dupa menguar sangat tegas membuat kepala saya limbung. Nuansanya persis di Bali. Kemungkinan besar dipengaruhi oleh sejarah bersatunya Raja Udayana dan Putri Gunapriya Dharmapatni yang kemudian membangun Candi Jolotundo sebagai wujud rasa cinta dalam menyambut kelahiran anak mereka, Airlangga. Begitu yang saya baca lewat penelusuran mbah google. 


Beruntungnya karena kami tidak bertepatan dengan akhir pekan sehingga suasna di sekitar Petirtaan Jolotundo sangat lengang. Hanya ada satu rombongan keluarga yang lebih dulu tiba dan membasuh badan di bawah pancuran. Mereka berdiri di antara ratusan ikan besar kecil dan beragam jenis di dalam kolam. Dari tato pura di tubuh dua remaja itu meyakinkan saya bahwa mereka dari keluarga Hindu yang tengah melakukan ziarah suci.


Selanjutnya seorang ibu masuk ke pemandian bagian kiri dan melakukan ritual mandi kembang. Lalu saya mengganti posisi meminum tiga teguk air menggunakan kedua tangan. Disusul rombongan lain yang berminat, sementara yang tidak memilih mandi di toilet dan mengganti pakaian. 


Agenda Kiai Faizi selain ke acara yang sudah disebutkan juga akan bermain ke rumah teman beliau, Gus I Wayan Kanjeng Kliwon. Rumahnya memang berada di sekitar Jolotundo, tak sampai keluar dari pos penjaga. Hanya dua menit kami sudah tiba di halaman Gus Kliwon yang dikenal juga sebagai Petilasan Mahapatih Narotama. Konon Gus Kliwon terlahir dengan rambut gimbal dan sangat disegani bahkan oleh tetua umat Hindu di tempat ini, kisah Kiai Faizi. Gus Kliwon dan keluarganya sangat berpengaruh di masyarakat. Kesaktian beliau masyhur di kalangan para penakluk jin. Maka ketika saya menjumpai seseorang di acara, dengan ciri rambut gimbal sepaha dan kopiyah coklat muda saya yakin itu adalah beliau. 


Kami dipersilakan masuk oleh istri Gus Beny, menantu Gus Kliwon. Begitu masuk ke dalam ruangan, ada sekitar sepuluh gitar dan beberapa biaola berdiri di sana. Saya ingat, Kiai Faizi pernah bercerita mendapatkan hadiah gitar dari Gus Beny. Ternyata semua alat musik itu memang diperjualbelikan. Saya yakin harganya tentu tidak murah. Sengaja tidak bertanya karena saya memang tidak berniat membeli, cukup melihat-lihat saja. 


Di atas gitar-gitar dan biola itu, terpampang lukisan semar, perempuan penari kecak dan Dewi Sinta. Melihatnya, jiwa seniman saya bangkit dan ingin pula mengoleksinya. Namun keinginan itu saya pendam. Saya lebih banyak diam. 


Kiai Faizi keluar dari ruangan mengajak rombongan lanjut ke acara. Namun sebelumnya kami sempatkan berfoto bersama teman beliau Paox Iben dari NTB yang kebetulan tengah berada di sana. Paox berkeliling ke beberapa daerah di Nusantara sejak tahun 2015 dengan sepeda motor besar Kawazaki Versys 650 cc dalam misi menguatkan komunitas adat serta berkampanye tentang seni dan budaya Indonesia. 


Pada pukul sepuluh lewat sedikit, kami tiba di lokasi acara. Tampak sekelompok grup musik menghibur di atas pentas. Peserta sudah penuh tepat waktu. Bazar di gelar di atas karpet merah menawarkan produk unggulan Kota Mojokerto. Kami berkeliling mencicipi manisan belimbing wuluh, kripik tela, dan beberapa kudapan lainnya. 


Acara molor hingga pukul setengah satu siang karena sang penceramah, Gus Muwafiq, belum juga tiba. Panitia semakin getol menghibur di panggung. Sementara peserta tampak sudah tak sabar. 

Bersambung... 

(Karena tulisan berikutnya akan sangat panjang. Berisi ceramah beliau dan tampilnya Ra Faizi ke panggung untuk berduet dengan Gus Muwafiq beserta para seniman lainnya). 

20 Maret 2022

Menyibak Keelokan Hutan Semeru

Rencana liburan ke Bromo sejak bertahun lalu tak pernah terwujudkan. Terlalu banyak pertimbangan dan persiapan matang sehingga ujung-ujungnya selalu gagal. Selain itu, kendala raksasanya juga finansial dan waktu.


Pekan lalu, secara tak terduga, dalam rencana takziah ke rumah famili di Lumajang, saya berkesempatan menjajaki Bromo Tengger Semeru. Saya dan suami tandem dengan mobil Ayik dan Devi. Mereka masih akan mengurus bisnisnya di Malang. Jadi dari Madura kami akan beristirahat di kontrakan Sufi, adik Devi, sehingga kami bisa ke Lumajang di siang hari.


Tiba di Malang pada waktu subuh, dinginnya berlipat ganda. Ditambah harus bersentuhan dengan air yang ternyata menyerupai es. Namun tak bertahan lama gigil itu, usai shalat kantuk menimpa begitu akut. Kami semua tertidur dalam ruangan seperti ikan pindang tak beraturan.


Siang harinya, dengan bermodalkan pinjaman motor Sufi dan Alvin kami bersiap menuju Lumajang melewati jalur Tumpang dengan jarak tempuh kurang lebih 3jam 37menit. Sesampainya di Desa Ngadas, kami dikejutkan dengan kabut tebal hampir menutupi jalan. Pemandangan menjadi sangat terbatas dan saya merasa seperti memasuki alam lain. Ditambah lagi warga yang melintas rata-rata berselimut sarung menghalau hawa dingin. Celakanya kami semua tidak mengenakan jaket. Biarlah menjadi pemandangan anti-mainstream bagi penjaga ronda di setiap pertigaan jalan.


Di pos sentral sebelum pertigaan Jemplang, para petugas menanyakan tujuan orang-orang yang lewat. Apakah hendak berwisata ke Bromo atau cuma lewat saja. Mereka juga menawarkan sewa mobil Jeep dengan tarif enam ratus ribu. Kami menjawab bahwa akan melayat ke rumah famili di Lumajang. Jadilah kami mengakses jalan ke Bromo tanpa dipungut biaya apapun.


Lanjut kami melewati kelokan dan tanjakan curam menampilkan lembah yang sangat dalam. Tabing-tebingnya begitu indah ditanami kentang, kubis, wortel, dan bawang. Di sisi kanan kiri jalan, pohon cemara menjulang rapi terselimuti kabut seperti dalam film The Twilight Saga.


Suami membubarkan imajinasi saya tentang film vampir itu. Ternyata bensin kami hampir habis. Tepat di tengah jalan yang sepi. Suami berhenti, Devi pun mengeluh motornya menyemburkan bau hangus. Kami melanjutkan perjalanan dengan penuh cemas. Setiba di desa Jemplang tampak dari jauh toko menjual bensin eceran. Lega rasanya. Dan diketahui pula bau hangus motor Ayik akibat ujung baju Devi yang terbakar kenalpot. Syukurlah kami semua selamat dari ujian kecil di tengah perjalanan ini.


Kegalauan tadi tuntas terbayarkan ketika sampai di simpang Jemplang, yakni turunan menuju wisata gunung Bromo dan jalan ke arah Lumajang. Pemandangan Bromo Tengger Semeru dari puncak begitu megah mempesona. Memanjakan mata yang selama ini hanya menyoroti tugas dan kesibukan. Namun kami tak sempat berhenti untuk mengambil gambar, hanya merekam sekilas dalam bentuk video pendek dari atas kendaraan karena kami harus tiba di Lumajang sebelum matahari terbenam.


Ketika keluar dari Jemplang, kami masuk ke lanskap pemandangan Ranu Pane. Hijau mulai membentang. Kabut tersibak entah ke mana. Di sisi jalan bunga-bunga terompet berwarna kuning menyuguhkan keindahan eksotis. Dari ketinggian tampak danau Ranu Pane begitu tenang berada di tengah pemukiman warga suku Tengger.


Di sepanjang jalan dari desa Jemplang ke Ranu Pane saya menjumpai beberapa pure kecil di rumah warga dan di pinggir jalan. Sensasinya berasa ada di Bali. Ternyata warga suku Tengger memang mayoritas penganut agama Hindu. Belakangan saya tahu bahwa nama Tengger berasal dari cerita rakyat Roro Anteng dan Joko Seger yang dipercaya masyarakat setempat sebagai leluhurnya.


Memasuki desa Burno lagi-lagi saya dikejutkan dengan pemandangan alam yang menyihir. Banyak tanaman liar dan unik di sepanjang jalan. Pakis paku tiang tumbuh berjejer seperti payung pantai. Bahkan bunga anggrek beraneka jenis tumbuh lebat menempel pada pohon-pohon tua yang menjulang. Sungguh pemandangan ajaib! Ini adalah surga bagi pecinta tanaman hias.


Hutan lebat gunung Semeru mengingatkan saya pada cerita ekspedisi pencarian puspa karsa tim bentukan Raras Prayagung yang melibatkan Jati Wesi dan Tanya Suma di Gunung Lawu dalam novel Aroma Karsa karya Dee Lestari. Novel fantasi tersebut seperti nyata karena digarap dengan penelitian serius hingga melahirkan anak buku berjudul Di Balik Tirai Aroma Karsa berisi kiat penulisan dan proses kreatif.


Betapa tidak terkecohnya saya ketika tahu Pak Polet penjaga gunung Lawu yang diwawancarai Dee mengatakan bahwa Dworopolo benar-benar ada. Sementara Dee mengaku bahwa nama Dwarapala (desa yang tidak terlihat) hanya diambil secara acak saat mencari kosa kata sangsakerta. Dan belum pernah sebelumnya Dee menyebutkan nama desa itu kepada Pak Polet. Jelaslah novel tersebut bukan sekedar fiksi biasa, melainkan keterhubungan batin antara si penulis dengan objek yang tengah digarapnya.


Menyesal saya tidak membawa kedua buku favorit saya itu dan berfoto dengan latar hutan Semeru yang penuh aura mistis nan memikat. Tetapi sapaan seorang paruh baya berselimut sarung di belokan jalan mengejutkan saya membuat saya dan suami merasa ngeri sekaligus mengurungkan niat untuk mengambil gambar. Devi pun mengaku terkesiap melihat lambaian si bapak.


Saya percaya, setiap hutan pasti memiliki penjaga, entah manusia atau makhluk tak kasat mata. Hutan tak pernah manja, tak memerlukan pupuk dan penanggulangan hama, tapi bisa berkelanjutan dan mensuplai kebutuhan manusia. Hutan adalah rumah bagi banyak flora dan fauna. Hutan memiliki nyawa dan manusia serakah menjadi pencabutnya.

Bersambung...