07 Agustus 2023

Level Cak Isni


Siang itu, tiga tahun yang lalu, suami mengantar saya terapi ke Pak Enos di Bragung, Guluk-Guluk, Sumenep. Beliau adalah praktisi pijat refleksi di bagian kaki. Tidak hanya mengobati fisik, tetapi juga mental dan pola pikir melalui sugesti serta tausiah yang beliau sampaikan pada setiap pasiennya. 


Gaya Pak Enos yang demikian mengingatkan saya pada Patch Adam, seorang dokter pendiri Gesundheit Institute berasal dari Washington yang mengobati melalui humor, curhat, dan konseling. Saya lalu berpikir, andai setiap tenaga kesehatan punya sedikit waktu untuk mendengarkan sekelumit persoalan yang berkaitan dengan kesehatan pasiennya, tentu saja proses pengobatan tidak akan berjalan kaku seperti yang sering kita jumpai. 


Yang paling marak biasanya menjelang proses persalinan. Dokter spesialis kandungan di kota tertentu di Madura misalanya, sering kali menyikapi persalinan sebagai proses sepele. Biasanya memutuskan perkara tanpa peduli bagaimana kondisi yang sebenarnya. 


Contoh kasusnya terjadi pada teman saya. Diagnosa dokter malaporkan ketuban pecah dan menyarankan operasi caesar. Suaminya bersikeras tidak setuju karena memang berasal dari keluarga tidak mampu. Akhirnya diboyonglah sang istri. Ketika dibawa ke dokter lain di kota asalnya, ternyata air ketuban masih 90% utuh serta peluang lahir normal sangat besar. Dan banyak kasus janggal lain seputar persalinan yang seperti didorong untuk menjalani proses sesuai kehendak dokter, dengan segala kongkalikong di dalamnya. 


Dalam kasus persalinan, Pak Enos juga banyak membantu perempuan untuk berjuang lahir normal. Beliau tidak menyentuh bagian perut, melainkan hanya kaki. Beliau mengibaratkan tas yang hendak saya ambil di kursinya waktu itu. Katanya tak perlu menyentuh tasnya langsung, menyeret tali panjangnya sudah bisa menarik tasnya sekaligus. 


Hanya dengan menyentuh beberapa titik di kaki saya pada awal mula menjalani terapi, beliau sudah banyak menjabarkan detail problematika kehidupan saya. Mulai dari kondisi rahim sampai mental dan kepribadian saya. Saya percaya, karena apa yang beliau sampaikan berkenaan dengan kondisi rahim kurang lebih sama seperti hasil USG ke dokter Wongso Suhendro kala itu. 


Beberapa kebenaran mengenai kondisi hidup saya beliau baca secara gamblang. Salah satunya keruwetan hidup yang tak mau mengenal kata santai. Memang saya akui setiap kali akan menjalankan aktivitas, selalu saya pikirkan jauh sebelumnya, sekecil apapun itu. Jika ada undangan pada pukul 12 siang biasanya saya pikirkan 6 jam sebelumnya. Sama persis seperti kalimat yang disampaikan Pak Enos. 


Namun begitu, beliau bukan dukun tukang ramal. Dugaan saya, beliau pernah mengenyam pendidikan psikologi atau sesuatu yang berkaitan dengan itu sehingga tebakan-tebakan beliau untuk pasiennya hampir selalu benar. Sama seperti cerita Nyai Fairuzah ketika merekomendasikan beliau kepada saya. 


Pak Enos memandang suami yang duduk di samping saya. Beliau lalu tersenyum ke arah saya sambil berujar, "Bisa tidak Anda meniru sedikiiit saja, ketenangan seperti Mas Habibi?" Kalimat tanya retoris itu masih saya paksa jawab. Namun sanggahan demi sanggahan yang saya ucapkan rupanya semakin menunjukkan bahwa saya gegabah, bandel, dan susah mengindahkan omongan orang. 


Saya akui, ternyata memang belum mengenal suami sepenuhnya. Sisi agung tentangnya seperti disampaikan Pak Enos malah mengejutkan saya. Karakter suami yang jarang bicara dan jarang memberi perintah, saya anggap itu sekedar kebiasaan baik saja. Ternyata levelnya di atas itu. Pantasnya dia berkata, "Killing Spree!" kepada saya. 


Oke, saya setop di sini saja pembahasan tentang Cak Isni. Apapun kepribadian yang dia miliki, akan terus saya pelajari. Karena kami hanyalah dua orang dewasa yang terus belajar saling memahami. Doakan kami menjadi pasangan yang Allah ridai.


Tidak ada komentar: