04 Agustus 2023

Mengenang Sosok Ayah

Jika ada yang bertanya jiwa wirausahaku turun dari siapa, maka ayah adalah jawabannya. Aku mengenal beliau sebagai pejuang yang gigih. Segala upaya dalam menjemput rejeki Tuhan beliau lakukan, mulai dari berdagang tembakau, menjual alat-alat bangunan, dan membuka usaha toko sembako. Semua itu beliau tekuni dengan penuh suka cita. 


Jejak beliau memicu semangatku sejak kelas tiga SD. Beliau mengajariku berniaga kelereng, baju-bajuan dari kertas, dan gambar kolase sinetron yang sangat populer di masa kanak-kanakku. Hampir setiap hari libur beliau tekun mengantarku pada sebuah gang kecil di sebelah barat lahan parkir pasar Ganding. Kini lahan itu dibangun menjadi toko tingkat dan salah satu ruangnya aku sewa untuk membuka usaha. 


Setiap kali lewat di gang itu, saat hendak berjamaah di masjid Lagundi, yang tergambar adalah sosok anak kecil tengah diantar ayahnya menuju toko rumahan bercat hijau. Pada kaca jendela bening itu, aku melihat kenanganku dengan jelas. Proses hidup telah jauh hari ayah ajarkan sembari mempersiapkan kepulangannya menuju Tuhan. 


Sebelas tahun silam ayah telah meninggalkanku. Sebuah kehilangan yang cukup berat bagiku menghadapi kenyataan bahwa sosok pelindungku telah pergi untuk selamanya. Sebuah momentum sakaratul maut pertama yang kuhadapi langsung. 


Aku berada di sisi kirinya saat raga ayah telah melemah. Kulihat tubuhnya mulai kaku tak bergerak. Perlahan nafasnya dapat kuhitung dengan jelas. Lalu kusimpan pandangan terkahirnya sebagai simbol cinta yang agung. 


Peristiwa kepergian beliau begitu mengejutkan namun juga memberikan banyak pelajaran. Utamanya bagaimana memahami sisi lain perempuan. Sosok ibu yang dulunya bergantung sepenuhnya pada ayah kini harus kuat dan mandiri membiayai hidup serta pendidikanku. Sementara aku yang telah digembleng berwirausaha sejak dini merasa bersyukur sebab itu adalah modal besar menyongsong masa depan. 


Ayah adalah sosok guru masa lalu. Banyak guruku di Madrasah Ibtidaiyah bercerita pengalaman menjadi murid beliau. Katanya bahkan sampai ada yang kencing di celana mendengar namanya dipanggil ayah. Ada yang takut pada lirikan beliau. Ada pula yang meringis melihat pelepah kelapa yang dibawa ayah ke dalam kelas. 


Bagiku, ayah tak seseram cerita-cerita di atas. Mungkin itu hanya totalitas beliau saat berperan menjadi guru. Bahkan aku menyimpulkan barokah guru di masa lalu lebih melimpah, bagimana pun gaya mengajarnya. Buktinya tak ada murid yang menuntut gurunya saat secuil kesalahan terjadi dalam proses belajar mengajar. Tak ada murid masa lalu yang berani menatap mata gurunya. Apalagi ketika lewat di hadapan guru, mereka membungkuk atau bahkan menjadikan lutut sebagai kaki. Berikut keistimewaan lainnya hubungan antara murid dan guru masa lalu yang tentu saja tak mampu dinalar. 


Ayahku sejatinya adalah sosok yang hangat dan humoris. Beliau sangat mencintai Nabi Muhammad SAW. Kecintaannya itu dibuktikan dengan menjadi ketua hadrah di kampung kami. Pernah sekali kepergok bak Tin tengah mengigau melantunkan barzanji sampai selesai. Bak Tin hanya tertawa heran menyaksikan manusia bershalawat di dalam tidurnya. 


Kegemaran ayah pada hadrah membuatku juga menyukai Bin Ta'lab. Itu adalah musik kenangan paling indah dalam hiduku. Irama terbaik yang apabila terdengar dari corongan TOA membuat air mataku tak dapat kutahan-tahan. Ada dua kerinduan di sana: terhadap ayah, juga kepada sosok Nabi yang selalu disanjungnya.


4 Agustus 2023



Tidak ada komentar: