09 Desember 2009

Perjalanan Panjang Generasi Societied de Limpai

Pada saat itu (30/11/09), saya dan ketujuh teman lainnya berkesempatan untuk berpetualang ke goa Payudan. Goa yang menyimpan seribu kenangan tentang mistik, cinta dan teka-teki. Tempat para pendahulu mengukir sejarah madura.

Degan amat bangga kami mendaki gunung layaknya kelompok Laskar Pelangi yang tergabung dalam anggota Societied de Limpai. Bedanya, jika anggota de Limpai tersebut terdiri dari banyak laki-laki dan satu orang perempuan, kelompok kami sebaliknya. Banyak perempuan dan satu lelaki. Meskipun begitu saya sudah merasa cukup aman dan tenang.

Bersama terik yang lurus di atas ubun-ubun, kami berjejer rapi seperti semut melewati sawah luas yang ditumbuhi tunas-tunas jagung. Sengatan matahari yang begitu menggigit terabaikan oleh riangnya kami bersenandung bergantian. Merenungi ciptaan Tuhan yang tak tanggung-tanggung indahnya. Saya pun bernyanyi dengan volume yang amat kecil karena saya malu jika lagu yang saya senandungkan itu terdengar oleh seluruh kawan. Ssst… lagu itu berjudul: Apa Kata Bintang milik Gita Gutawa yang dirilis sekitar tahun 2008 lalu.

Tak terasa, usai saya bernyanyi peluh-peluh bercucuran dari seluruh penjuru badan. Nyeri lutut, betis, dan tumit mulai terasa. Kering kerongkongan saya. Haus. Akhirnya kami memutuskan untuk beristirahat sejanak di sebuah gubuk kecil yang terletak di pinggir sawah di dataran yang agak tinggi----tempat petani beristirahat atau menjaga tanaman dari gangguan hama.

Di sana kami hanya minum air putih. Sedangkan bekal belum kami sentuh. Kami bersepakat untuk membukanya setelah samapai di tujuan. “Sedikit saja kalau minum! Ntar yang lain gak kebagian.” Celetuk salah satu kawan. Maltufah namanya.

Persediaan air yang kami bawa memang sangat terbatas. Hanya satu muk kecil saja. Sebenarnya kami berencana membawa muk yang berukuran lebih besar, namun mengantisipasi ketidak mauan anggota untuk membawa, rencana tersebut gagal. Akhirnya dengan penuh kekompakan air yang amat sedikit tersebut kami bagi rata.

Lelah dan dahaga sudah sedikit terobati, kini kami harus melanjutkan perjalanan panjang yang baru kami tempuh ¼ saja. Saya tetap semangat, meski saya dan Ulfa sering tertinggal karena berjalan terlalu lembek. Meskipun bergitu kami berdua tetap ceria dan menyempatkan berteriak, “Tunggu, Bang!” serempak kami lantang. Ini akal-akalan kami berdua saja agar teman-teman mengunggu kami.

Setelah menempuh separuh perjalanan berliku dan rimbun oleh tumbuhan liar, akhirnya kami manemukan jalan beraspal yang lurus menuju goa. Tanjakan semakin curam. Kaki ini semakin berat rasanya untuk melangkah. Dalam diam saya bernapas panjang. Ingin rsanya berhenti di situ dan tak melanjutkan perjalanan. Namun, keinginan yang sungguh pengecut tersebut pupus oleh sorak kawan yang begitu menggebu.

Dari ketinggian kami dapat melihat sawah-sawah yang terhampar luas dengan pepohonan kelapa yang berjejer rapi. Membuat saya merasakan dejavu. Semakin tinggi saya mendaki semakin bisa saya menikamati alam yang elok di musim jagung. Rumah-rumah berpetak-petak sangat rapi seolah bukan dunia nyata. Laksana dunia khayalan yang diimpikan banyak orang. Saya hanya menggeleng dan bergumam: subhanallah. Tak salah jika Kek Lesap, Putri Kuning, Adi Poday dan yang lainnya memilih untuk bertapa di tempat yang amat indah ini.

Di sela-sela waktu saat kami menikamati keindahan alam dengan amat dalam, kami juga ditakutkan oleh suara kerosak, anjing menggonggong, atau bahkan sesekali desis ular. Mereka terasa amat dekat dengan kami. Di semak-semak pinggir jalan yang kami lewati. Kanan dan kiri. Terkadang pula kami ditakutkan oleh suara sesama teman yang pura-pura meniru bunyi hewan. Suasana jadi tambah menegangkan namun kocak.

Setelah menempuh perjalanan yang amat panjang, akhirnya kami sampai di kamar mandi terbuka tempat para petualang mencuci muka atau sekedar mengambil air. Dari situ kami sudah dapat melihat halaman goa. Kira-kira 40 meter lagi kami sudah sampai. Artinya bekal akan segera di buka. Hore!

Air sudah penuh. Selanjutnya tinggal proses terakhir yaitu menuju rumah juru kunci untuk pamit masuk goa. Saya dan bak Luf bertugas untuk menghadap. Sedangkan kelima teman yang lain menunggu di beranda.

Bak Luf dengan santai mengisi daftar tamu sebelum ia dikejutkan oleh kalimat sang juru kunci, “Masing-masing orang harus membayar uang sebesar Rp. 2.500.”
Alis bak Luf mengernyit ke arah saya. Saya mengerti apa maksudnya. Tentulah artinya ia keberatan. Untunglah bak Luf pintar bernegoisasi yang membuat kami hnya membayar Rp. 15.000,- saja.

Dengan kecepatan yang tinggi, saya melangkah dengan pasti melewati 30 anak tangga. Kemudian menatap bangga mulut goa yang menurut saya peuh teka-teki itu. Tentang batu ular yang meneteskan air, tentang cinta Putri Kuning, juga tentang si anak ajaib Adi Poday.

Pada bebatuan yang besar saya beristirahat sendiri. Sementara teman-teman yang lain sibuk memilih tempat yang berbeda. Sejenak seolah kami terpisah berkeping-keping---berpetualang dengan angan masing-masing. Saya keluarkan kertas dan balpoin dari dalam tas kesayangan saya. Saya berniat menulis sesuatu, namun rencana tersebut urung saat Titin menyuguhkan bekal di hadapan saya. Ada markisa, jambu, pisang, dan kripik kencur (dalam bahasa Madura kami bisa menyebutnya latkolat). Saya tak menyia-nyiakan waktu lagi. Saya langsung mengambil jambu masak.

Momen inilah saya dapat merasakan kebersamaan yang teramat. Sepertinya kami telah melaksanakan sistem holopis kuntul baris. Dan ini amat menyenangkan.

“Hei lihat! Ada kera di atas pohon.” Teriak si Kecil. Dengan sigap ia meminta pisang pada bak Luf. Sesaat kemuadian terjadialah suasana tegang. Saat ia menaiki pohon besar di atas jurang untuk memberikan pisang tersebut pada sang kera. Sang kera pun semakin lari ke atas. Kami kembali lega ketika ia berhasil turun dengan selamat.

Kera-kera itu…
Senang rasanya dapat melihat mereka pada kesempatan ini. Jarang-jarang mereka keluar sekedar menampakkan muka. Tapi kini ada 3 ekor kera besar dan 1 kera kecil bermain bersama kami. Rasa senang ini semakin terasa saat tiba pada giliran saya memeberikan pisang. Kera-kera itu rakus mengambil pisang yang saya lemparkan. Masih tinggal separuh pisang di tangan, mereka mangambil lagi tanpa berpikir panjang apakah teman saya dapat atau tidak. Pada adegan ini saya dapat memetik pelajaran bahwa orang rakus dan tak berperasaan itu seperti kera.

Cukup lama kami bermain-main. Kami terpana melihat lincah cerdas kera dalam memanjat pohon sampai ke ranting-ranting. Cara mereka makan dan cara mereka menatap kami.

Keasyikan bermain tidak membuat kami lupa akan acara terpenting kami. Yaitu masuk goa, bertahlil dan wawancara pada sang juru kunci. Les’s go.

Kami pun bersiap masuk goa dengan membawa dua seneter yang disediakan oleh juru kunci. Hening. Saya dapat merasakan air murni yang menetes dari batu mulut goa ke dalam gentong. Ini juga salah satu keanehan yang terjadi. Menurut saya keanehan ini merupakan teka-teki yang tidak berkesudahan. Tak ada yang tahu. Tak satu pun. Kecuali Tuhan.

Dengan tertatih kami menyusuri jalan yang amat sempit dan petang. Di dalam goa kami bertahlil dengan syakral dan penuh perasaan. Sayang, kami tak dapat masuk bersama. Salah satu teman kami tak dapat idzin masuk. Katanya selain mahrom tidak boleh masuk bersama. Dia memeilih untuk duduk di halam goa saja.

Senja masih muda. Semua kegiatan telah selesai dilaksanakan. Kami harus segera berkemas. Saat berkemas tiba-tiba saya ingat Ibu. Saya agak takut kalau-kalau Ibu mencemaskan saya. Tapi hati kecil saya berusaha menguatkan dan meyakinkan bahwa Ibu tidak sedang cemas sebab sebelumnya saya sudah pamit.

Bersama senja yang masih muda kami menyusuri jalan beraspal yang semula kami lewati. Tapi kami tidak lewat sawah lagi. Kami berniat mampir ke rumah kawan di lereng bukit.

Dalam perjalanan pulang, kami tak mengenal jeda. Kami berjalan seperti mobil tanpa kendali. Bahkan hebatnya kami mengalami akselerasi dalam melaju. Jalan yang kami tempuh seperti hanya separuh dari perjalanan berangkat.

Saya lebih takjub lagi ketika melewati sumber Beddih. Air-air mengalir ke seluruh penjuru arah. Begitu bening dan riaknya membuat saya tergoda untuk mandi. Namun hati saya sedikit miris ketika melihat sampah-sampah bertebaran di sekitar sumber bahkan tergenang di atas air. Saya jadi membayangkan nasib sumber-sumber di seluruh tanah air jika anak-anak bangsa tak dilatih agar peka dan peduli terhadap lingkungan sejak dini.

Lamunan saya menjadi buyar saat teman-teman mengajak segera berangkat ke rumah bak Vita dan bak Ana FM. Maka serempaklah kami berangkat. Seperti Maleo lari lari di jalanan saja. Hanya sejenak kami bertamu lalu kembali meneruskan perjalanan.

Seperti biasa, saya dan Ulfa selalu tertinggal. Kami berdua memang selalu berjalan lelet. Entah jalan teman-teman yang semakin cepat ataukah saya dan Ulfa yang semakin lelet. Kami jadi ketinggalan jejak. Kami dihadapkan pada dua jalan yang bercabang dan bingunglah kami harus lewat yang mana.

Kami berdua pasrah dan siap menghadapi apapun resiko terhadap jalan yang kami pilih. Sesaat kemudian, kami sadar sepenuhnya bahwa kami nyasar. Tak ada tanda-tanda teman kami di depan sana. Kini kami berdua tertawa berhadap-hadapan.

Jadilah kami berdua naik gunung lagi untuk mencara jalan yang tepat. Dari ketinggian saya dapat melihat teman-teman kebingungan mencari kami berdua. Saya memberi aba-aba bahwa kami telah kemabali ke jalan semula. Saya kira mereka akan membiarkan kami berdua tertinggal atau tersesat, namun tidak. Mereka sungguh teman-teman yang baik. Dari situ, saya dapat merasakan kebersamaan yang jika diukur, nominal pun tak bisa. Tawa kmi lepas bersama angin di sore itu.


Gubuk Karang Jati, 08 Desember 2009

13 November 2009

PANGOLADHAN EBU

E dalam kamus pekker
Nyangke' kalaban jellas
E bekto Ebu maos aksara Al-Quran
Sampe' seppo omor malam
Sampe' petteng

Pekker ta' kera loppa
E bhakto Ebu asareng pangoladhanna
Molar dha' aksara Al-Quran
E sobbu petteng
Sampe' dhateng panerrang bumi
Sampe' sa tombhak

Ebu se ampon korang bisa ngoladi
Ngajak pangoladhanna se bhenning,
Maos Al-Quran
Kalaban relere kaangguy sango ka sowarga

Ojan sang aeng mata
Nyapcap dha' ate

SERROAN BUMI

Tadha' se ngarte
Dha' serroan bumi kalaban ghuli
Se saongghuna bumi esto dha' aba'
Ta' taokor ngangguy barang
Kodhu bumi aserro kalaban aksara?
Tape nespa bumi ta' asakola
Ta' bisa nyoson aksara deddi ca' oca' se sorop
Bumi ta' a sakolaTape bellas

28 Juli 2009

AIR MATA

“Nenek ceritakanlah kepadaku tentang mengapa ayah pergi dan mengapa pula ibu sering kutemui dalam keadaan sesenggukan di kamar!” Kata Qarin pada neneknya sebelum tidur.
Di mata perempuan berumur 65 tahun itu terbentang bayang-bayang lama yang begitu pilu. Di matanya pula ada gurat lara yang mendalam hingga tetesan air suci dari kedua bola bening itu mengalir. Tik, tik, tik. Membasahi pipi Qarin yang sedang merebah di dadanya.
“Baiklah.” Kata perempuan tua itu kemudian. Wajah tegar selalu bersahabat senyum. Ia menatap bangga pada cucunya yang kini berumur 8 tahun, yang sedari dulu sulalu menjadi peraih prestasi tahunan disekolahnya. Bahkan ia merasa selalu kejatuhan bintang. Cucu yang merupakan anak dari anak pertamanya. Aini.

Siang itu, sekitar pukul 13.00 matahari benar-benar telah berhasil menggigit seorang perempuan bernama Nur. Tapi tampaknya ia riang saat berlari-lari kecil menuju gerbang rumahnya. Bahkan ia bernyanyi-nyanyi santai tak mau peduli dengan ganasnya matahari. Kemudian diselingi dengan merentangkan kedua tangannya. Wajahnya mendongak menatap langit, angkuh. Namun sesaat kemudian, tiba-tiba angin berhembus membelai rok panjangnya yang berwarna dongker dan baju putih lengan panjang ber badge warna merah di lengan kanannya. Ia tersenyum menatap ibunya yang sedari tadi mengikat pandang kepadanya dari pintu. Lurus dengan gerbang yang Nur lewati. Perempuan setengah baya itu melebarkan bibirnya---mengerti akan anaknya yang kini sedang merasakan sesuatu yang manis. Kemudian ia pun merentangkan kedua tangannya, menyambut putrinya dalam dekapan hangat.

Mendekap Nur yang merupakan impian lamanya telah tewujud, karena sejak kecil Nur menjadi perempuan yang jarang tersenyum. Ia tak suka keramaian, sedirilah yang menjadi pilihannya. Murung di kamar telah menjadi kebiasannya. Tak ada yang mengerti tentang hidup Nur. Bahkan Aini, saudara kandung selisih 3 tahun dengannya juga tak dapat menerjemah hidup Nur.
Nur adalah perempuan misterius yang bila orang ingin mendengar suaranya maka harus “membeli”. Bila ditanya oleh ayah atau ibunya ia hanya menjawab seperlunya saja. Sepatah atau dua patah kata saja. Kosa kata yang sering ia gunakan adalah: ia atau tidak. Yang lebih parah terkadang ornga yang menjadi lawan bicaranya hanya mendapat respon anggukan atau gelengan kepala. Hingga para tetangga menjulukinya dengan sebutan anak aneh. Dan sebutan itu membuat keluarga Nur merasa tak enak, namun Nur tak acuh dengan julukan yang disandangnya. Menurutnya itu hanya angin lewat.
“Nur kamu kenapa, Nak?” Tanya ayahnya suatu ketika. Nur tak menjawab. Ia hanya menatap ayahnya beku kemudian berpaling dan berlalu pelan menuju kamarnya. Letaknya di samping kamar Aini. Ayahnya hanya geleng-geleng kepala memikirkan kebiasaan Nur itu. Ia jera untuk bertanya lagi.
Konon Aini sering kali mendengar Nur berbicara sendiri di dalam kamar. Bahkan pernah pula suatu ketika Aini memberanikan diri mengintip Nur dari celah anak pintu. Katanya Nur menatap dirinya di cermin. Lama sekali. Kali itu Aini celaka. Ia tak sengaja menjatuhkan vas bunya berukuran kecil di depan kamar Nur yang berposisi di atas meja mungil. Nur marah besar. Bukan karena jatuhnya vas bunga kesayangannya, melainkan ia malu karena Aini mengintipnya. Keesokan harinya Nur tampak marah dan tak menyahut sapaan Aini. Sekitar 3 hari lamanya. Bagi Aini itu hal biasa karena keseharian Nur memang jarang menyapanya. Sampai-sampai teman-teman Aini tak percaya kalau mereka itu adalah saudara.
Sedari kecil Nur dan Aini bagai kucing dan tikus. Kadang yang mereka ributkan hanya hal-hal sepele. Berebut kue-kue basah buah tangan ibu mereka dari pasar yang tak dibagi rata dan baju lebaran yang berbeda harga. Anehnya yang sering kali mengajukan gugat adalah Nur. Ya, hanya waktu bertengkar saja ia mengeluarkan celoteh yang panjang lebar untuk kakanya. Atau barang kali sedikit menyinggung ibunya.
“Ibu memang tak pernah adil. Baju-baju kakak selalu bagus dan mahal, sedangkan untukku hanya baju murahan dan pasaran. Sebenarnya aku ini anak siapa?” Katanya pada Aini berharap ibunya mendengar perkataanya. Tak sempat ibunya menjelasakan semuanya Nur telah hilang ditelan pintu kamarnya. Nur marah tapi baju itu pasti ia pakai ketika hari raya tiba. Protes Nur hanyalah luapan emosi sementara saja.
Persaudaraan Nur dengan Aini memang tak pernah tak mengenal pertarungan, tapi masing-masing dari mereka mempunya cara tersendiri untuk mengungkapkan kasih sayang mereka. Itu terbukti saat Aini ulang tahun, Nur meletakkan selembar kertas kecil di atas meja belajar Aini. Kertas itu bertuliskan: “Selamat ulang tahun kakakku yang aku banggakan”. Aini merasa paling beruntung memiliki adik kandung seperti Nur, walaupun tak jarang mereka beradu mulut.
Hari kelahiran Nur dengan Aini bertolakbelakang. Aini hari Ahad dan Nur hari Senin. Jadi tak heran bila Nur dan Aini seringkali beradu mulut. Walau begitu Nur juga pernah membuat Nur menangis haru. Saat Nur ulang tahun, aini pun membalas surat yang pernah Nur berikan padanya. Beginilah isi suratnya:
”Maaf bila samapai detik ini aku belum bisa menjadi kakak yang baik utukmu. Tapi satu hal yang harus kamu tahu: tidak ada seorang pun di dunia ini yang tak menyayangi adiknya sendiri. Aku bangga memilikimu. Aku bangga pada semua yang ada pada dirimu. Semoga mimpi-mimpimu dipeluk oleh Tuhan.Ini adalah hari bahagiamu. Hari ini adalah milikmu. Jadi hari ini bahagiakanlah orang lain. Lebih-lebih orang yang ada di sekelilingmu. Karena kebahagiaan itu seperti sebuah kecupan. Kamu harus membaginya jika ingin menikmatinya.Kita seperti anjing dan kucing. Tak pernah akur dalam jangka yang lama, tapi kita sama-sama tahu bahwa sebenarnya kita saling menyayangi. Cuma, kita memiliki cara tersendiri untuk mengungkapkannya. Aku akan menyayangimu dengan caraku sendiri.
Kuharap kamu dapat menerima ini semua, karena mungkin kita ditakdirkan menjadi sepasang saudara yang unik oleh Tuhan. Adikku, sekali lagi aku menyayangimu”.
Begitulah isi suratnya. Nur membacanya sambil sesenggukan. Aini pun mengahampirinya dan memeluknya erat-erat.

Betapa tidak terkejutnya ibu Nur melihat putrinya berubah siang itu. Putri yang selalu memonyongkan bibir itu kini menebar senyum dalam dekapannya.
“Anakku yang ibu cintai, kuharap kamu dapat memilih sikap seperti ini untuk hari-hari selanjutnya. Buanglah hari kemarin yang ibu anggap lelucon aneh.” Kata ibu Nur dengan memegang kedua pipi putrinya. Nur mengangguk tersenyum pasti. Ubun-ubun seorang ibu akan sejuk bila anaknya menjadi penurut dan solehah.

Seminggu setelah hari itu, Aini dipinang oleh seseorang yang memiliki rupa tak tampan dan tak jelek. Lelaki itu adalah tetangganya yang dua minggu lalu datang dari tanah Jawa, Bondowoso.Namun justru pertunangan Aini membuat Nur menekuni ritualnya yang dulu lagi. Besemedi di kamar tanpa senyum, tanpa mengeluarkan ucap. Nur telah menjemput hidupnya yang dulu. Bapak dan ibu Nur tak tahu mengapa anaknya berubah lagi. Mereka juga tak tahu apa yang harus mereka lakukan. Nur sering mereka temui dalam keadaan muka memerah dan mata bengkak.
“Mengapa sekarang anak kita tambah parah, Pak?” Kata ibu Nur lirih.
“Entahlah, Bu. Bapak juga tak mengerti apa maunya. Tapi bukankah ia anak kita? Dan pasti ia memiliki sifat seperti masa remaja kita? Mungkin…”
“Mungkin sama seperti ibu? Begitu kata bapak? Potongnya. Kemudian suaminya menggeleng.

Pertunangan Aini tak berlangsung lama karena Fayat---calon suaminya telah mengajukan permohonan segera kawin. Bapak dan ibu Aini tak mempunyai alasan lain untuk menolak lamaran lelaki yang terkenal mandiri itu.
Acara pernikahan berlangsung, namun Nur masih mengunci pintu juga mengunci mulut. Ia meletakkan sepucuk surat lagi di kamar Aini: “Kak, hari ini milikmu. Namun aku sakit. Tak dapat keluar kamar”.
Aini tak tahu Nur sakit apa. Yang jelas Aini tak dapat masuk ke kamarnya untuk menanyakan keadaan saudaranya. Aini hanya mengintip Nur yang sedang terbaring dalam isakan.

Tupai memang pandai melompat, tapi ia tak kuasa bila ia tersandung. Ia akan terjatuh jua. Ibu Nur menemukan 3 foto Nur bersama seorang lelaki didalam guci hias yang besar saat ia membersihkan ruang tamu. Ia membaca kata-kata mesra di balik foto itu. Ternyata hari itu Tuhan memberi tahu padanya tentang mengapa Nur bahagia kemudian murung kembali.

“Qarin, kau pasti masih tak mengerti tentang foto-foto itu.” Kata nenek Qarin dengan membiarkan jari-jarinya menari di sela-sela rambut Qarin.
“Maka lanjutkanlah ceritamu, Nek!”
“Untuk cucuku tersayang.” Perempuan tua itu tersenyum.

“Ternyata foto-foto laknat itu yang membuat nenek menderita karena rindu pada senyum tante Nurmu. Sebab foto-foto itu pula ibumu dengan ayahmu sering kali memecahkan gelas di dapur. Kemudian ayahmu pergi dari rumah ini. Meninggalkanmu saat usiamu lima tahun.”
“Lalu kenapa hanya gara-gara tiga foto itu? Aku makin bingung saja, Nek?” Tanya Qarin sambil menguap.
Angin semakin merayu mata untuk terpejam. Perempuan itu berat menjawab pertanyaan cucunya. Dan…
“Entah percaya atau tidak bahwa foto lelaki yang bersama tantemu itu adalah seorang yang pernah meminang ibumu. Lelaki itu papamu, sayang.”

Malam semakin menua. Anginpun berhasil menyelimuti rumah-rumah. Qarin terlelap dalam pangkuan neneknya. Neneknya pun tak tahu apa ia mendengar ending cerita itu atau tidak. Yang jelas perempuan keriput yang mempunyai tahi lalat di tengah-tengah dagu itu takut bila besok pagi Qarin meminta agar ia menceritakan tentang foto-foto itu lagi.*)


Guluk-Guluk, 23 Juni 2009
*) Ummul Corn adalah santri PP.Annuqayah
Daerah Karang Jati Assaudah Putri.

Sepotong Kisah Tentang Saya, Perjuangan, Tantangan, dan Nyawa

Saya tidak tahu dari mana saya harus memulai kisah ini. Yang jelas, saya ingin katakana bahwa tak ada 1 pun dari kisah saya dengan tim gula merah yang tak berkesan. Lebih-lebih saat saya merasakan indahnya kebersamaan. Serasa saya tak ingin berpisah dengan mereka. Saya selalu ingin berpegangan tangan, berjalan seiiring menendang batu kerikil tajam---para manusia yang tak bertanggungjawab dan seenaknya merusak alam demi kepentingan modal tanpa peduli nasib sahabat yang selama ini setia memberikan yang terbaik untuk kita. Alam, aku mencintaimu seperti gerimis melukis pelangi di sore hari. Aku berjanji demi sebutir air matamu yang menetes, aku akan membuatmu kembali hidup tenang.
Perjuangan dalam 1 tim begitu keras. Demi belajar tentang lingkungan untuk memperluas wawasan, mereka mengkliping data, mengadakan acara penguatan kapasitas, mengikuti berbagai acara lingkungan, membaca buku sampai larut, bahkan lewat tengah malam pun tak terasa. Inilah awal mula kami bergerak. Hingga semangat kami untuk damaikan alam juga begitu keras seperti baja.
Dalam mengikuti lomba ini, ada beberapa hal baru yang saya temukan. Di antaranya saya dapat belajar lebih dalam tengtang kepenulisan melalui acara yang diadakan oleh BPM PPA (Biro Pengabdian Masyarakat Pondok Pesantren Annuqayah) yang bertajuk “Success Story” dan dikhususkan untuk peserta tim proyek SCC. Pada awalnya saya memang sudah mengenai dunia tulis menulis, tapi dalam acara itu saya mendapatkan tambahan ilmu dan selalu berusaha untuk belajar memahami apa yang saya cerna. Ternyata akhirnya lebih bisa dari yang sebelumnya. Dari pengalaman berharga ini saya dapat merasakan bahwa kita tak boleh puas dengan hasil yang kita peroleh. Ya, kita harus selalu ingin tahu tentang hal-hal yang baru.
Perjalanan kami tak semulus kaca. Bila kaca bening dan licin, namun kisah kami penuh bercak-bercak. Salah satu bercak yang saya maksud adalah saat kami hendak mengadakan praktik pembuatan makanan dari gula merah. Kami mengalami kegagalan dalam permbuatan Jubethe yang lantas jadi dodol, juga saat ibu Mus'idah---pendamping tim dan teman-teman tim lainnya kesulitan dalam mencari pangan lokal. Mereka harus berputar-putar mengitari dua pasar. Betapa peluh gemar bersimbah di tubuh mereka. Belum lagi saat ada salah satu tim yang sakit. Berarti kami telah kehilangan beberapa urat dalam tubuh. Masalah-masalah ini bagi saya begitu menantang sekaligus memikat.
Saya hampir saja lupa menceritakan tentang kisah saya yang begitu pilu. Dari sekian banyak kisah saya, ada satu kisah yang membuat saya terpaksa menangis. Kisah ini bermula dari sebuah pertanyaan yang saya lontarkan pada bu Halik saat saya melakukan riset ke bumi Cecce', tepatnya saat belajar membuat gula merah yang prosesnya memakan waktu + 2 jam. Pertanyaan itu adalah: “Apakah hasil dari penjualan gula merah yang ibu lakukan cukup untuk mengusap keringat ibu selama 2 jam?” Kemudian ia menjawab dengan lirih: “Bila tidak pun tak kan ada lagi yang bisa saya lakukan. Kecuali pak Halik menebang pohonnya untuk dijual sebagai bangunan. Namun itu tidak ibu biarkan karena ibu takut alam semakin kehilangan rambutnya dan ibu juga khawatir tak ada lagi orang yang membuat makanan berbahan gula merah. Ini masalah nyawa, Nak!” Saya pun hanya menelan ludah kemudian mengambil kesimpulan tentang niat mulya bu Halik yang mau bertahan hidup dengan gula merah. Lalu saya mempunyai satu pertanyaan lagi untuk semua orang yang ada di muka bumi ini: “Jika bu Halik mau untuk melestarikan pohon siwalannya, mengapa kita tidak bisa menahan nafsu untuk tidak menebang pohon sembarangan?”

18 April 2009

Sajak Lara Untuk Nenek

Nenek
saat lirik dongengmu kau dendangkan
sebelum tidur,
mataku gerimis melihat harap yang begitu bercit-cita

Nenek
kutahu inginmu hijaukan kota
tapi kini kota kita telah terbakar
oleh asap pabrik
dan asap yang keluar dari kenalpot para pejabat laknat

Nenek
jangan menangis lagi
sebab setiap tetesan itu
semakin membuat kota kita luka

Nenek
bila dulu kau bangga pada lentera merah
karyamu yang bertahta
maka sekarang maaf dariku
karena tak bisa berantas lampu-lampu neon
yang berdiri sombong di pinggir jalan

Nenek
harapmu begitu harap
tapi di kota kita
aku hanya sebongkah batu
yang tak punya teman tuk damaikan alam

Nenek
andai engkau belum terburu-buru pulang
tentu aku tak sebatang kara
merehab kota kita yang semakin edan




Guluk-Guluk, 16 April 2009
Gubuk Kantor Karang jati

SWEET 17

HAPPY B' DAY TO YOU
12 April 2009

selamat hari ulang tahun kawan. selamat menempuh masa yang selama ini kamu impikan. semoga panjang umur dan selalu berada dalam lindungan-Nya. semoga di hari jadimu ini,
hari sejak kamu menginjak 17 tahun, Tuhan selalu mendekap dirimu, menjagamu, dan 1 lagi
selalu memeluk mimpi-mimpimu.

aku harap kamu akan selalu tetap memancarkan pesona semangat yang selalu tersirat di wajahmu. begitu pula dalam meraih harapanmu. karena aku yakin apa yang kamu harapkan jika kamu percaya maka akan terkabul. percayalah suatu hari pelangimu akan tercipta manis.

maaf ya Moy, jika pemberianmu ini tidak bisa menjadi kejutan bagimu. ya, memang hanya ini yang bisa aku berikan. meskipun demikian pemberianku ini harus kamu jaga paling tidak kamu sering memakainya.

semoga barang yang tak cukup berharga ini dapat berarti bagimu, sebab sandal ini akan setia mendampingi atau menemani aktivitasmu.

sekali lagi
selamat
semoga.....


dari

Nuno Bintang Kecil



*surat ini dari Beng Nuku. ia adalah sahabat terbaikku. kami sering bersama dalam 1 organisasi. Beng, terimakasih..l

07 April 2009

SURAT DARI SAUDARAKU

12 April 2007

HAPPY BIRTH DAY BINTANG SENJAKU

Aleeq...
Semoga panjang umur, murah rizki, sehat dan selalu dalam lindungan-Nya. Amin.

Aleeq...
Maaf jika sampai detik ini aku belum bisa menjadi kakak yang baik buatmu. Tapi satu hal yang harus kamu tahu: "TIDAK ADA SEORANG PUN DI DUNIA INI YANG TIDAK MENYAYANGI SAUDARA KANDUNGNYA SENDIRI. TIDAK ADA".

Aleeq...
Aku bangga memilikimu. Aku bangga pada semua yang ada pada dirimu. Semoga mimpi-mimpimu dipeluk oleh Tuhan.

Aleeq...
Ini adalah hari bahagiamu. Hari ini adalah milikmu. Jadi hari ini bahagiakanlah orang lain. Lebih-lebih orang yang ada di sekelilingmu. Karena kebahagiaan itu seperti sebuah kecupan. Kamu harus membaginya jika ingin menikmatinya.

Aleeq...
Kita seperti anjing dan kucing. Tak pernah akur dalam jangka yang lama, tapi kita sama-sama tahu bahwa sebenarnya kita saling menyayangi. Cuma, kita memiliki cara tersendiri untuk mengungkapkannya. Aku akan menyayangimu dengan caramu sendiri.

Aleeq...
Hadiah ini bukan sepenuhnya bentuk kasih sayangku, ini hanya sebagian, karena kasih sayang itu tak dapat diukur dengan materi. Kamu tak perlu ragu untuk menerimanya, karena ini halal. Ini kudapat dari uang saku yang aku sisihkan hanya untuk menebus kesalahanku tahun lalu karena telah melupakan hari ultahmu. Maaf.

Aleeq...
I do love you.


Kakakmu

Nafis Aja


#surat ini dari kakak kandungku yang diberikan pada hari ulang tahunku tahun 2007 lalu.
"kakak, aku juga menyayangimu"

31 Maret 2009

RASA YANG BERBEDA

Hari ini kepala saya pening. Seluruh badan saya nyeri. Saluran pernafasan saya tersumbat. Ada gangguan di pita suara sehingga membuat saya serak. Panas rasanya. Mungkin ini gejala dari seringnya saya tidur terlalu larut. Ditambah lagi, tadi malam saya dan teman-teman sanggar Al-Faidah Karang Jati tampil dalam acara perayaan maulid Nabi Muhammad di Karang Jati Assaudah putri. Perlu menguras tenaga untuk berjingkrak-jingkrak di penampilan teater. Meski demikian, saya begitu menikmati dunia saya yang menurut saya sangat mengasikkan.
Tapi, kini saya sakit.
Padahal masih banyak hal yang harus saya lakukan: tugas proyek tim konservasi gula merah untuk lomba School Climate Challange, mengurus kegiatan OSIS, baca, dan menulis. Belum lagi memikirkan masalah pentas seni yang harus saya kordiner di pondok saya. Karang Jati.
Kini saya tak dapat melakukan apa-apa...
Saya benar-benar lemah. Hanya terbaring tak berdaya guna. Saya hanya ingat mati.
Tuhan, kenapa saya baru ingat engkau ketika saya sakit. Ketika saya sehat, saya lupa akan nikmat sehat-Mu yang begitu berharga. Padahal saya bisa melakukan apa saya yang saya mau. Makan rasanya enak, ngemil asyik, 'calmancal' ke sana ke mari. Benar-benar nikmat.
Sekarang, saat saya dalam keaadaan terbaring, semua berubah. Beda. Seluruh makanan rasanya pahit. Saya tak dapat calmancal lagi. Parahnya saya baru sadar secara benar-benar kalau sehat itu anugrah, sehat itu berkah. Mengapa saya tak pernah memikirkan itu? Mengapa saya jarang bersyukur kepada engkau, Tuhan...

Hanya engkau yang dapat menyembuhkan saya. Tak ada obat yang lebih mujarab, kecuali 'kunfayakun-Mu' yang maha ajaib. Hanya Engkau yang dapat membantu saya untuk bangkit dari tempat tidur ini. Tiada yang lain.

Saya berjanji, ketika saya sembuh nanti saya akan menjaga kesehatan yang telah engakau anugrahkan. Saya akan selau ingat bahwa sehat-Mu adalah sesuatu yang tak dapat diukur nilainya denan materi.

Tetapi, karena hamba-hambaa-Mu---termasuk saya memiliki sifat lupa, saya mohon ingatkan selalu saya pada-Mu. Saya akan menjalani hari-hari saya dengan stok semangat yang penuh. Saya akan selalu menyertai langkah dengan senantiasa mengingat bahwa saya hanyalah makhluk tak berdaya yang dapat rapuh kapan saja bila engkau mau. Tanpa kekuatan yang engkau berikan saya musnah.



Guluk-Guluk,31 Maret 2009
di gubuk/kantor PPA. Karang Jati

29 Maret 2009

CERITA SINGKAT TENTANG SEBUAH RASA

Selama ini, seingatku, aku tidak pernah satu kali pun menulis kata-kata tentang cinta. Tak pernah membahas apa itu cinta dan aku memang tak mau untuk membahasnya. Selalu saja terdengar bisikan-bisikan kawan bahwa insan itu memiliki rasa yang indah---cinta namanya. Ya, katanya cinta pada lain jenis. Bila tidak, berarti ia tidak normal. Dan itu masih kata kawanku.
Bila kawan-kawan sekelasku---XI IPA SMA Langgar Asem* bertanya tentang siapakah orang yang aku cintai, aku hanya beku seperti es bahkan seperti batu karang yang sama sekali tak mau mencair. Sejujurnya aku takut bila aku diberi julukan ‘abdi penyimpangan seksual’. Ngeri.
Namun pada suatu hari, tepatnya hari Jumat, dipertengahan jalan simpang tiga desa Langgar Asem, saat aku hendak menyebrangi jalan sepulang dari rumah paman, Tuhan telah menamatkan kisah itu. Tuhan telah mengubah semuanya. Mengubah matahari menjadi gumpalan es dan sinarnya dingin. Tiba-tiba seperti ada rasa masis di ragaku yang dapat kurasa tapi ketika ingin kucicipi tak bisa. Aku hanya bergumam, ada apa denganku?
Sepasang mata elang tajam lengkap dengan sayapnya dari tadi menatapku. Aku diam menyaksikan langit yang tak bertepi. Rumah, pohon, rumput bahkan semuanya telah menghilang. Dunia ini kosong tinggal aku, lelaki si mata elang, dan pecahan-pecahan gunung yang membentuk gumpalan-gumpalan batu lambang cinta.

Tuhan…inikah cinta?
Seperti inikah rasanya orang yang sedang jatuh cinta?

Rasanya jantungku mau berlari kemudian ngumpet di semak-semak. Malu, karena tatapan itu terikat padaku. Aku menjadi tak menentu, menjadi salah tingkah. Aku tak tahu apa yang harus kuperbuat. Cinta benar-benar indah sekaligus menyiksa.
Akhirnya kuputuskan untuk juga mengikat pandang padanya. Walau aku tahu resikonya akan kutanggung sendirian. Entah setelah ini aku menjadi sinting, bisu, buta, atau bahkan gila. Kami bertatap. Tak ada kata atau pun kalimat. Kami berdua seperti dikutuk menjadi bisu oleh Tuhan.
Sesaat suara asam lepas dari tangkainya menjadi musik latar drama cintaku. Pohon asam yang menjulang tinggi dipinggir jalan, tertawa menyaksikan kisah indah cinta pada pandangan pertamaku. Aku dan dia bagaikan terbingkai figura dari bahan pohon asam. Sungguh indah. Percayalah padaku kawan.
Ia memandangiku lagi kemudian berkata,
“Kasian bila asam-asam ini tidak dipungut,” katanya sambil tersenyum-senyum.
Setelah itu, yang terjadi adalah acara pemungutan asam-asam terlantar. Ia memungut satu kemudian kembali menatapku tanpa mempedulikan kendaraan yang melaju. Tanpa mempedulikan yang lain.
Tak sadar seperti ada magnet yang menarikku untuk ikut-ikutan memungut asam-asam tak berdaya itu. Aku pun telah terhipnotis. Lebih parahnya, aku tak mau mengalihkan pandanganku darinya.
“Asam ini manis,” sambungnya saat kami bersama-sama menghisap kemudian mengunyahnya.
Aku ingin sekali mengatakan ia, namun mulutku serasa tersumbat batu. Aku memilih diam saja.
Asam di Langgar Asem memang kesohor manisnya. Apalagi yang memakannya orang yang sedang jatuh cinta, meski asam tak seluruhnya manis pasti rasanya melebihi manisnya tebu. Tak kenal kecut.
Oke kawan! Agar cerita ini tidak berputar-putar masalah asam saja mari kulanjutkan ceritaku.
Terus terang, aku merasa menjadi orang yang paling beruntung hari itu. Dan rasa indah di hari itu kubawa, kurasa, kurindu sampai saat ini. Hari-hariku menjadi tak menentu. Aku menjadi setengah gila. Dan sebelumnya aku mendengar dari kawan sekelasku yang sedang jatuh cinta, bahwa perbedaan cinta dengan gila itu sangat tipis. Sekarang aku bisa merasakannya sendiri di mana rasa cintaku dan di mana letak rasa gilaku.
***
Setiap hari setelah hari itu, aku selalu dirundung tanya mengenai: sipa orang itu? Orang yang telah berani mencuri hatiku. Dari mana ia? Apa ia orang asli Langgar Asem? Atau hanya kebetulan lewat? Bisakah aku bertemu dengannya lagi?
Semua pertanyaan ini tak dapat kujawab. Karena aku tidak bisa menjawab, maka cita-citaku berubah menjadi detektif. Aneh! Cinta juga bisa mengubah cita-cita. Cita-cita kawan! Bukan main.
Setelah kejadian itu pula, aku berani menulis puisi, kata-kata cinta, dan bercerita seputar cinta pada teman sebangkuku. Atul namanya.
“Kalau kuperhatikan, sebenarnya kamu ini lagi jatuh cinta kan?!” atul mulai curiga. Ia menonjok-nonjokkan telunjuknya tepat di depan mukaku. Aku berusaha mengelak. Seperti maling tertangkap basah yang ketinggalan rombongan.
“Qarin…Qarin. Dari matamu saja tidak bisa bohong. Kenapa matamu kau paksa bohong dengan melarikan pandangan.
Aku benar-benar seperti buronan tertangkap basah. Tapi senang rasanya bila Atul tahu kalau aku ini normal dan aku bisa menceritakan tentang sejarah hari itu. Hari yang membuatku menjadi lebih hidup.
“Ayolah kawan! Cetitakan kepadaku tentang hari bahagiamu, agar aku ikut merasakan bahagia seperti yang kau rasa saat ini.” Atul memang pintar memaksa. Ia merengek dengan nada bijaksana. Alhasil aku menceritakan tentang hari berarti itu. Tentang sepasang mata elang itu.
“Kau tahu Atul, aku merasa dewasa. Merasa telah menemukan arti hidup yang kucari selama ini. Aku merasa telah menemukan separuh nafasku. Lebih-lebih aku merasa perjalananku hampir menginjak sempurna. Pecahan mozaik yang kucari selama ini telah banyak kutemukan.”
Kuceritakan semua. Kubahas satu per satu ciri-ciri lelaki itu. Kisah ini itu kubagi dengan Atul. Berharap ia tahu tentang mahluk yang kuceritakan, karena teman sebangkuku itu orang asli langgar asem.
Atul diam sejenak, menarik nafas panjang dan ia mulai merespon kisahku. Mataku berbinar-binar. Merasakan bunga seroja sedang mengelilingiku.
“Qarin, ketahuilah bahwa aku berasal dari kebobrokan. Kawanmu ini sudah pernah merasakan asam-manisnya cinta. Aku merasa semua lelaki itu sama. Ya...walau pun masih ada juga yang setia. Tapi menurutku sebagian besar mereka tak dapat dipercaya. Bila kuserahkan separuh hatiku, mereka permainkan dengan berbagi ke lain hati. Bila aku memberi sesuatu dengan ikhlas, mereka ketagihan. Aku tak mengerti apa mau mereka.”
“Apa maksudmu, Tul?” mataku menyala-nyala. Seperti dikerumuni kunang-kunang.
“Kita tak pernah sadar bahwa kita hanyalah setitik sperma yang berhasil bertarung dengan ribuan sperma lainnya. Dulu di alam rahim, kita berjuang untuk hidup. Sekarang kita adalah pemenangnya. Kitalah juara nyawa yang berhasil bertarung untuk memperjuangkan hidup di dunia.” Kata-kata Atul seperti berkhotbah. Nadanya serius.
“Jelaskan yang sebenarnya padaku,” mataku semakin berkobar-kobar.
“Bersyukurlah karena kitalah yang ditakdirkan menang oleh Tuhan. Jangan sia-siakan hidup kita. Jangan kau berikan hatimu pada lelaki brengsek yang kau maksud si mata elang itu. Jangan!”
“Katakan padaku siapa orang itu sebenarnya!” kuturunkan volume suaraku. Datar. Aku tertunduk.
“Maaf kawan. Aku ingin melihatmu seperti Qarin yang kukenal dulu. Qarin yang selalu riang dan penebar kedamaian. Bukan Qarin si pemurung dan penebar cinta palsu akibat sakit hati.”
Aku semakin tersesat dalam setiap kata, dalam setiap kalimat yang diucapkan Atul.
“Lelaki yang kau maksud si mata elang itu adalah Afiq. Dia sudah pernah menggilir semua gadis-gadis desa Langgar Asem. Termasuk aku.”
Aku merasa dijebloskan ke dalam jeruji. Aku benar-benar maling. Aku tak mau berontak. Inilah takdir Tuahan. Tuhan mengerti keaadaanku. Aku tahu Tuhan itu adil. Dan aku percaya sepenuhnya apa yang dikatakan Atul, tapi entahlah apa aku bisa menepis rasa itu?


The End

* Langgar Asem adalah nama kampung di kecamatan Ganding yang berkabupaten Sumenep, tapi karena namanya bagus dan berkaitan dengan tulisan saya, maka saya jadikan nama desa.

21 Maret 2009

SESOBEK CATATAN TENTANG SAYA, SAMPAH PLASTIK DAN ARTI PERSAHABATAN


Kemarin siang (20/03/2009) adalah hari menyenangkan sekaligus melelahkan. Saya bersama teman-teman PSG mulung sampah di TPA Annuqayah umum dan TPA Al-Amir. Sungguh begitu indah kebersamaan. Mengingatkan saya pada tahun lalu 22 April 2008. hari itu saya dengan teman-teman PSG juga aksi seperti sekarang. Bedanya hanya dulu kami dibagi menjadi 4 kelompok, sedangkan sekarang karena anggotanya hanya berjumlah 32 maka dibagi menjadi 2 kelompok.
Kami datang untuk menyelamatkan alam. bila difikir memang amat kecil sesuatu yang kami lakukan, tapi bila saya harus memberi harga maka tak dapat saya tentukan nominal karena yang besar berasal dari yang kecil. Suatu yang kami lakukan itu dapat membantu alam yang sekarang sedang menjerit kepanasan.
Ketika sampah yang kami kumpulkan sudah banyak dan kelompok Al-Amir telah datang bergabung ke TPA umum, tentunya kami juga sudah lelah, lalu kami berpose besama dengan 4 pembimbing. Tempatnya di tengah-tengah lokasi TPA. Momen ini adalah momen yang dapat membuat saya mengenang kisah PSG apabila kelak ketika saya tua saya dapat memandangi hasil cetakan fotonya. Momen yang memang cocok untuk diabadikan. Pemulung gaul yang berdiri di atas sampah dan mendongak menghadap langit. Begitu gagah dan penuh harap akan kedamaian alam yang benar-benar tentram. Bila diumpamakan seperti hari nyepi. Tak ada polusi. Pohon menghirup CO2 dan manusia menghirup O2. Proses valid yang justru kini terbalik karena ulah manusia.
Dalam perjalanan pulang kami melewati batu-batu licin tanjakan curam di sebelah timur TPA. Ada yang menjerit hampir jatuh, ada yang tertawa, dan ada pula yang melinangkan air mata haru akan kisah alam yang begitu mengenaskan. Seharusnya memang haru karena alam adalah sahabat dalam suka duka kita.
Sejenak kami beristirahat melepas lelah.menghilangkan dahaga dengan meminum es gulah merah campur kacang ijo. Bersama kami kembali tertawa saling pandang.
Setelah penat berhasil kami usir, maka kami kembali aksi mencuci tumpukan sampah-sampah plastik itu ke kali. Dekat dengan sekolah kami. Rasa lelah yang saya rasa telah hilang mengalir bersama arus di kali itu. Suasana menjadi ramai seperti pasar. Kami main percik-percikan air. Menyenangkan. Seperti kembali pada masa ‘Taman Kanak-Kanak’ lagi. Sekaranglah kesempatan saya untuk kembali bermain-main melepas semua permasalahan hidup.
Acara ini benar-benar melahirkan berjuta manfaat.
Sesuatu yang kami lakukan setelah itu adalah memenuhi panggilan jiwa yaitu makan bersama. Dari tadi pagi perut saya terus mendengdangkan lagu bersyair lapar. Ya, karena paginya saya hanya sarapan mi instant.
Kebersamaan pada saat acara makan bersama berlangsung membuat hati saya tersentuh. Lalu bisikan-bisikan halus mengatakan bahwa saya tak rela jika harus berpisah dengan mereka. Mata yang bening dan indah memancarkan arti persahabatan yang tulus. Tawa yang menggemaskan menumbuhkan inspirasi baru. Merekalah sumber inspirasi saya. Bagaimana bila saya harus berpisah dengan mereka.
Ah. Saya tak boleh hanya memikirkan ini saja.
Karena tenaga telah kembali penuh, maka kami bergegas melanjutkan pekerjaan selanjutnya, yaitu proses penjemuran. Sampah plastik yang sudah kami cuci tadi kini akan dijemur dengan dijahit menggunakan benang. Dalam proses ini saya bersama kawan bernyanyi-nyanyi santai sambil membunuh sepi. Hampir tuntaslah pekerjaan kami, namun kisah ini akan saya abadikan dalam setiap goresan pena perjalanan hidup saya. Selamanya.




Oleh: Ummul Karimah
PP. Annuqayah daerah Karang Jati Assaudah Putri



05 Maret 2009

PELANGI UNTUK IBU


Ibu,

aku mencintaimu

seperti gerimis

hendak melukis pelangi


Ibu,

aku merindumu

seperti malam

menanti matahari


Ibu,

untukmu

akan kupetik pelangi

22 Februari 2009

TERJEMAHAN GERIMIS

Dalam pekat petang suram
Halilintar terjemahan para dewa
Menggelegar hujan belati
Malas aku beranjak
Pasrah diri ditikam badai
Saat kukatakan cinta
Belati berubah gerimis gumpalan hati
Aku tersesat di rimba asmara
Sempat kuambil kamus
Geramku pada halilintar pupus
Saat kutahu arti gerimis adalah romantis

KACAMATA EMAK

Dalam memori ingatanku
Terekam jelas
Saat Emak menyusuri
aksara Al-Quran
hingga larut

Dalam ingat masih lekat
Saat Emak dengan kacamatanya
Menangisi kalimat Al-Quran
Hingga terbit fajar
Hingga sepenggal tombak

Emak yang sudah tidak jelas
melihat Al-Quran,
dengan kacamatanya yang bening
Tertatih lirih mengumpulkan uang saku
ke Surga

Air mataku gerimis