28 Juli 2009

Sepotong Kisah Tentang Saya, Perjuangan, Tantangan, dan Nyawa

Saya tidak tahu dari mana saya harus memulai kisah ini. Yang jelas, saya ingin katakana bahwa tak ada 1 pun dari kisah saya dengan tim gula merah yang tak berkesan. Lebih-lebih saat saya merasakan indahnya kebersamaan. Serasa saya tak ingin berpisah dengan mereka. Saya selalu ingin berpegangan tangan, berjalan seiiring menendang batu kerikil tajam---para manusia yang tak bertanggungjawab dan seenaknya merusak alam demi kepentingan modal tanpa peduli nasib sahabat yang selama ini setia memberikan yang terbaik untuk kita. Alam, aku mencintaimu seperti gerimis melukis pelangi di sore hari. Aku berjanji demi sebutir air matamu yang menetes, aku akan membuatmu kembali hidup tenang.
Perjuangan dalam 1 tim begitu keras. Demi belajar tentang lingkungan untuk memperluas wawasan, mereka mengkliping data, mengadakan acara penguatan kapasitas, mengikuti berbagai acara lingkungan, membaca buku sampai larut, bahkan lewat tengah malam pun tak terasa. Inilah awal mula kami bergerak. Hingga semangat kami untuk damaikan alam juga begitu keras seperti baja.
Dalam mengikuti lomba ini, ada beberapa hal baru yang saya temukan. Di antaranya saya dapat belajar lebih dalam tengtang kepenulisan melalui acara yang diadakan oleh BPM PPA (Biro Pengabdian Masyarakat Pondok Pesantren Annuqayah) yang bertajuk “Success Story” dan dikhususkan untuk peserta tim proyek SCC. Pada awalnya saya memang sudah mengenai dunia tulis menulis, tapi dalam acara itu saya mendapatkan tambahan ilmu dan selalu berusaha untuk belajar memahami apa yang saya cerna. Ternyata akhirnya lebih bisa dari yang sebelumnya. Dari pengalaman berharga ini saya dapat merasakan bahwa kita tak boleh puas dengan hasil yang kita peroleh. Ya, kita harus selalu ingin tahu tentang hal-hal yang baru.
Perjalanan kami tak semulus kaca. Bila kaca bening dan licin, namun kisah kami penuh bercak-bercak. Salah satu bercak yang saya maksud adalah saat kami hendak mengadakan praktik pembuatan makanan dari gula merah. Kami mengalami kegagalan dalam permbuatan Jubethe yang lantas jadi dodol, juga saat ibu Mus'idah---pendamping tim dan teman-teman tim lainnya kesulitan dalam mencari pangan lokal. Mereka harus berputar-putar mengitari dua pasar. Betapa peluh gemar bersimbah di tubuh mereka. Belum lagi saat ada salah satu tim yang sakit. Berarti kami telah kehilangan beberapa urat dalam tubuh. Masalah-masalah ini bagi saya begitu menantang sekaligus memikat.
Saya hampir saja lupa menceritakan tentang kisah saya yang begitu pilu. Dari sekian banyak kisah saya, ada satu kisah yang membuat saya terpaksa menangis. Kisah ini bermula dari sebuah pertanyaan yang saya lontarkan pada bu Halik saat saya melakukan riset ke bumi Cecce', tepatnya saat belajar membuat gula merah yang prosesnya memakan waktu + 2 jam. Pertanyaan itu adalah: “Apakah hasil dari penjualan gula merah yang ibu lakukan cukup untuk mengusap keringat ibu selama 2 jam?” Kemudian ia menjawab dengan lirih: “Bila tidak pun tak kan ada lagi yang bisa saya lakukan. Kecuali pak Halik menebang pohonnya untuk dijual sebagai bangunan. Namun itu tidak ibu biarkan karena ibu takut alam semakin kehilangan rambutnya dan ibu juga khawatir tak ada lagi orang yang membuat makanan berbahan gula merah. Ini masalah nyawa, Nak!” Saya pun hanya menelan ludah kemudian mengambil kesimpulan tentang niat mulya bu Halik yang mau bertahan hidup dengan gula merah. Lalu saya mempunyai satu pertanyaan lagi untuk semua orang yang ada di muka bumi ini: “Jika bu Halik mau untuk melestarikan pohon siwalannya, mengapa kita tidak bisa menahan nafsu untuk tidak menebang pohon sembarangan?”

1 komentar:

Muhammad Izzy mengatakan...

selamat berjuang. sukses selalu.