20 Maret 2022

Menyibak Keelokan Hutan Semeru

Rencana liburan ke Bromo sejak bertahun lalu tak pernah terwujudkan. Terlalu banyak pertimbangan dan persiapan matang sehingga ujung-ujungnya selalu gagal. Selain itu, kendala raksasanya juga finansial dan waktu.


Pekan lalu, secara tak terduga, dalam rencana takziah ke rumah famili di Lumajang, saya berkesempatan menjajaki Bromo Tengger Semeru. Saya dan suami tandem dengan mobil Ayik dan Devi. Mereka masih akan mengurus bisnisnya di Malang. Jadi dari Madura kami akan beristirahat di kontrakan Sufi, adik Devi, sehingga kami bisa ke Lumajang di siang hari.


Tiba di Malang pada waktu subuh, dinginnya berlipat ganda. Ditambah harus bersentuhan dengan air yang ternyata menyerupai es. Namun tak bertahan lama gigil itu, usai shalat kantuk menimpa begitu akut. Kami semua tertidur dalam ruangan seperti ikan pindang tak beraturan.


Siang harinya, dengan bermodalkan pinjaman motor Sufi dan Alvin kami bersiap menuju Lumajang melewati jalur Tumpang dengan jarak tempuh kurang lebih 3jam 37menit. Sesampainya di Desa Ngadas, kami dikejutkan dengan kabut tebal hampir menutupi jalan. Pemandangan menjadi sangat terbatas dan saya merasa seperti memasuki alam lain. Ditambah lagi warga yang melintas rata-rata berselimut sarung menghalau hawa dingin. Celakanya kami semua tidak mengenakan jaket. Biarlah menjadi pemandangan anti-mainstream bagi penjaga ronda di setiap pertigaan jalan.


Di pos sentral sebelum pertigaan Jemplang, para petugas menanyakan tujuan orang-orang yang lewat. Apakah hendak berwisata ke Bromo atau cuma lewat saja. Mereka juga menawarkan sewa mobil Jeep dengan tarif enam ratus ribu. Kami menjawab bahwa akan melayat ke rumah famili di Lumajang. Jadilah kami mengakses jalan ke Bromo tanpa dipungut biaya apapun.


Lanjut kami melewati kelokan dan tanjakan curam menampilkan lembah yang sangat dalam. Tabing-tebingnya begitu indah ditanami kentang, kubis, wortel, dan bawang. Di sisi kanan kiri jalan, pohon cemara menjulang rapi terselimuti kabut seperti dalam film The Twilight Saga.


Suami membubarkan imajinasi saya tentang film vampir itu. Ternyata bensin kami hampir habis. Tepat di tengah jalan yang sepi. Suami berhenti, Devi pun mengeluh motornya menyemburkan bau hangus. Kami melanjutkan perjalanan dengan penuh cemas. Setiba di desa Jemplang tampak dari jauh toko menjual bensin eceran. Lega rasanya. Dan diketahui pula bau hangus motor Ayik akibat ujung baju Devi yang terbakar kenalpot. Syukurlah kami semua selamat dari ujian kecil di tengah perjalanan ini.


Kegalauan tadi tuntas terbayarkan ketika sampai di simpang Jemplang, yakni turunan menuju wisata gunung Bromo dan jalan ke arah Lumajang. Pemandangan Bromo Tengger Semeru dari puncak begitu megah mempesona. Memanjakan mata yang selama ini hanya menyoroti tugas dan kesibukan. Namun kami tak sempat berhenti untuk mengambil gambar, hanya merekam sekilas dalam bentuk video pendek dari atas kendaraan karena kami harus tiba di Lumajang sebelum matahari terbenam.


Ketika keluar dari Jemplang, kami masuk ke lanskap pemandangan Ranu Pane. Hijau mulai membentang. Kabut tersibak entah ke mana. Di sisi jalan bunga-bunga terompet berwarna kuning menyuguhkan keindahan eksotis. Dari ketinggian tampak danau Ranu Pane begitu tenang berada di tengah pemukiman warga suku Tengger.


Di sepanjang jalan dari desa Jemplang ke Ranu Pane saya menjumpai beberapa pure kecil di rumah warga dan di pinggir jalan. Sensasinya berasa ada di Bali. Ternyata warga suku Tengger memang mayoritas penganut agama Hindu. Belakangan saya tahu bahwa nama Tengger berasal dari cerita rakyat Roro Anteng dan Joko Seger yang dipercaya masyarakat setempat sebagai leluhurnya.


Memasuki desa Burno lagi-lagi saya dikejutkan dengan pemandangan alam yang menyihir. Banyak tanaman liar dan unik di sepanjang jalan. Pakis paku tiang tumbuh berjejer seperti payung pantai. Bahkan bunga anggrek beraneka jenis tumbuh lebat menempel pada pohon-pohon tua yang menjulang. Sungguh pemandangan ajaib! Ini adalah surga bagi pecinta tanaman hias.


Hutan lebat gunung Semeru mengingatkan saya pada cerita ekspedisi pencarian puspa karsa tim bentukan Raras Prayagung yang melibatkan Jati Wesi dan Tanya Suma di Gunung Lawu dalam novel Aroma Karsa karya Dee Lestari. Novel fantasi tersebut seperti nyata karena digarap dengan penelitian serius hingga melahirkan anak buku berjudul Di Balik Tirai Aroma Karsa berisi kiat penulisan dan proses kreatif.


Betapa tidak terkecohnya saya ketika tahu Pak Polet penjaga gunung Lawu yang diwawancarai Dee mengatakan bahwa Dworopolo benar-benar ada. Sementara Dee mengaku bahwa nama Dwarapala (desa yang tidak terlihat) hanya diambil secara acak saat mencari kosa kata sangsakerta. Dan belum pernah sebelumnya Dee menyebutkan nama desa itu kepada Pak Polet. Jelaslah novel tersebut bukan sekedar fiksi biasa, melainkan keterhubungan batin antara si penulis dengan objek yang tengah digarapnya.


Menyesal saya tidak membawa kedua buku favorit saya itu dan berfoto dengan latar hutan Semeru yang penuh aura mistis nan memikat. Tetapi sapaan seorang paruh baya berselimut sarung di belokan jalan mengejutkan saya membuat saya dan suami merasa ngeri sekaligus mengurungkan niat untuk mengambil gambar. Devi pun mengaku terkesiap melihat lambaian si bapak.


Saya percaya, setiap hutan pasti memiliki penjaga, entah manusia atau makhluk tak kasat mata. Hutan tak pernah manja, tak memerlukan pupuk dan penanggulangan hama, tapi bisa berkelanjutan dan mensuplai kebutuhan manusia. Hutan adalah rumah bagi banyak flora dan fauna. Hutan memiliki nyawa dan manusia serakah menjadi pencabutnya.

Bersambung...

Tidak ada komentar: