24 Maret 2022

Mojokerto: Kota Kecil yang Menyimpan Surga

Kalau Anda melintas di Mojokerto dan hanya sekedar lewat saja, yang tekenang di ingatan hanyalah panas, gersang, polusi dan kota tiada kesan. Tapi siapa sangka, di balik pemandangan hambar, kota Onde-onde ini memiliki surga kecil nan menawan. Kemarin, tanggal 23 Maret 2022 saya berkesempatan membuktikannya. 


Kesempatan itu diberikan oleh guru saya, Kiai M.Faizi yang hendak menghadiri undangan peringatan Hari Air Sedunia di Trawas. Beliau mengajak rombongan terdiri dari guru dan anggota komunitas Pemulung Sampah Gaul (PSG) SMA 3 Annuqayah. Kami berangkat dengan satu kendaraan pada jam 2 dini hari. 


Rombongan kami tiba di Trawas pukul 6:30 WIB, sementara acara akan dimulai jam 10:00 WIB. Jadi kesempatan menyambangi beberapa destinasi wisata masih tersisa tiga jam-an. Sesuai petunjuk ahli, Kiai M.Faizi, kami akan ke Petirtaan Jolotundo, tempat mata air terjernih ke-2 di dunia setelah zam-zam, yang berlokasikan di gunung Penanggungan.


Di beberapa titik, pemandangan tak biasa seperti mengajak kami berhenti. Rumah-rumah berderet sesak di atas tebing terlihat sangat asri dan unik. Kami juga melewati gerbang hutan pinus, taman Ghanjaran, dan beberapa kedai kali di sepanjang jalan. Karena memang belum sarapan, kami ingin merasakan indahnya makan di atas lencak di tengah sungai seperti sering kami tonton di facebook dan youtube. 


Menepilah panther touring yang dikemudi suami dan memesan sarapan delapan porsi. Sembari menunggu, kami semua sibuk mengambil gambar. Maklum, ketidaktertarikan berfoto hanya ada di zaman Wiro Sableng karena waktu itu belum ada ponsel pintar. Saat ini media menjadi menarik hanya jika disertai gambar. 


Perjalanan dilanjutkan kembali usai pemadaman kelaparan. Saya selalu dibuat takjub dengan pemandangan kiri kanan jalan. Hampir tidak ada spot yang tidak indah di tempat ini. Suasana sejuknya pun membuat saya merasa betah. 


Tak lama berjalan, kami berjumpa dengan pertigaan dan belok kanan menuju tempat wisata Petirtaan Jolotundo. Di pos kami disodori tiket masuk dengan membayar sepuluh ribu per kepala. Meluncurlah rombongan ke atas hutan yang begitu alami dan tersembunyi. Pohon-pohon tua gendut diselimuti kain begitu dihormati. Aroma dupa menguar sangat tegas membuat kepala saya limbung. Nuansanya persis di Bali. Kemungkinan besar dipengaruhi oleh sejarah bersatunya Raja Udayana dan Putri Gunapriya Dharmapatni yang kemudian membangun Candi Jolotundo sebagai wujud rasa cinta dalam menyambut kelahiran anak mereka, Airlangga. Begitu yang saya baca lewat penelusuran mbah google. 


Beruntungnya karena kami tidak bertepatan dengan akhir pekan sehingga suasna di sekitar Petirtaan Jolotundo sangat lengang. Hanya ada satu rombongan keluarga yang lebih dulu tiba dan membasuh badan di bawah pancuran. Mereka berdiri di antara ratusan ikan besar kecil dan beragam jenis di dalam kolam. Dari tato pura di tubuh dua remaja itu meyakinkan saya bahwa mereka dari keluarga Hindu yang tengah melakukan ziarah suci.


Selanjutnya seorang ibu masuk ke pemandian bagian kiri dan melakukan ritual mandi kembang. Lalu saya mengganti posisi meminum tiga teguk air menggunakan kedua tangan. Disusul rombongan lain yang berminat, sementara yang tidak memilih mandi di toilet dan mengganti pakaian. 


Agenda Kiai Faizi selain ke acara yang sudah disebutkan juga akan bermain ke rumah teman beliau, Gus I Wayan Kanjeng Kliwon. Rumahnya memang berada di sekitar Jolotundo, tak sampai keluar dari pos penjaga. Hanya dua menit kami sudah tiba di halaman Gus Kliwon yang dikenal juga sebagai Petilasan Mahapatih Narotama. Konon Gus Kliwon terlahir dengan rambut gimbal dan sangat disegani bahkan oleh tetua umat Hindu di tempat ini, kisah Kiai Faizi. Gus Kliwon dan keluarganya sangat berpengaruh di masyarakat. Kesaktian beliau masyhur di kalangan para penakluk jin. Maka ketika saya menjumpai seseorang di acara, dengan ciri rambut gimbal sepaha dan kopiyah coklat muda saya yakin itu adalah beliau. 


Kami dipersilakan masuk oleh istri Gus Beny, menantu Gus Kliwon. Begitu masuk ke dalam ruangan, ada sekitar sepuluh gitar dan beberapa biaola berdiri di sana. Saya ingat, Kiai Faizi pernah bercerita mendapatkan hadiah gitar dari Gus Beny. Ternyata semua alat musik itu memang diperjualbelikan. Saya yakin harganya tentu tidak murah. Sengaja tidak bertanya karena saya memang tidak berniat membeli, cukup melihat-lihat saja. 


Di atas gitar-gitar dan biola itu, terpampang lukisan semar, perempuan penari kecak dan Dewi Sinta. Melihatnya, jiwa seniman saya bangkit dan ingin pula mengoleksinya. Namun keinginan itu saya pendam. Saya lebih banyak diam. 


Kiai Faizi keluar dari ruangan mengajak rombongan lanjut ke acara. Namun sebelumnya kami sempatkan berfoto bersama teman beliau Paox Iben dari NTB yang kebetulan tengah berada di sana. Paox berkeliling ke beberapa daerah di Nusantara sejak tahun 2015 dengan sepeda motor besar Kawazaki Versys 650 cc dalam misi menguatkan komunitas adat serta berkampanye tentang seni dan budaya Indonesia. 


Pada pukul sepuluh lewat sedikit, kami tiba di lokasi acara. Tampak sekelompok grup musik menghibur di atas pentas. Peserta sudah penuh tepat waktu. Bazar di gelar di atas karpet merah menawarkan produk unggulan Kota Mojokerto. Kami berkeliling mencicipi manisan belimbing wuluh, kripik tela, dan beberapa kudapan lainnya. 


Acara molor hingga pukul setengah satu siang karena sang penceramah, Gus Muwafiq, belum juga tiba. Panitia semakin getol menghibur di panggung. Sementara peserta tampak sudah tak sabar. 

Bersambung... 

(Karena tulisan berikutnya akan sangat panjang. Berisi ceramah beliau dan tampilnya Ra Faizi ke panggung untuk berduet dengan Gus Muwafiq beserta para seniman lainnya). 

1 komentar:

M. Faizi mengatakan...

Kok gak dipasangi foto sama sekali? Emang-emang, biar makin seru mingin-mingininya