04 November 2022

Menonton Film Perjalanan Agung

Setelah satu bulan tidak aktif mengajar, pagi tadi saya mengajak siswa saya di SMA 3 Annuqayah menonton film dokumenter dengan tema spritualitas bejudul Le Grand Voyage yang disutradarai oleh Ismael Ferroukhi. Sebelumnya saya memang berjanji untuk mengajak mereka menonton sepulang dari tanah suci. Saat masuk kelas, mereka menagih dan minta langsung ke perpustakaan. 


Diputarlah film produksi Prancis tahun 2004 tersebut, yang mengangkat kisah sederhana tentang hubungan ayah dan anak dalam sebuah perjalanan suci menunaikan ibadah haji. Uniknya, sang ayah Mohamed Majd, malah menggunakan kendaraan Peugeot seri 306 dengan jarak tempuh 4.828 km dari Provence, Prancis Selatan menuju Mekah. 


Tokoh anak bernama Reda, lulusan SMA dengan latar pergaulan Eropa, dibesarkan oleh sekularisme, dan cenderung menganut nilai-nilai yang lebih modern mempertanyakan mengapa ayahnya menggunakan mobil tua dan bukan mengudara saja. Jawaban sang ayah, menggunakan pepatah Arab-Maroko begitu dalam,

“Ketika air samudera menguap menuju langit, rasa asinnya hilang dan air tersebut murni kembali. Air samudera menguap naiknya ke kawanan awan. Saat mereka menguap, air akan menjadi tawar, murni kembali. Itulah sebabnya, lebih baik berangkat haji dengan berjalan kaki dari pada menaiki kuda, lebih baik menaiki kuda dari pada menggunakan mobil, lebih baik menggunakan mobil dari pada menaiki kapal, dan lebih baik menaiki kapal dari pada berkendara dengan pesawat”.


Jawaban tersebut cukup membuat hati Reda tergugah. Namun hubungan menegangkan di antara keduanya bukan lantas mencair dengan mudah. Konflik-konflik kecil ditampilkan dengan sangat sopan sehingga pesannya pun dapat tersampaikan dengan baik. Salah satunya, saat mereka dirampok seorang pemuda Turki berkedok penolong, uang mereka habis menciptakan kecemasan di tengah perjalanan. Sang ayah dengan tingkah ketuannya, penuh kehati-hatian, dan konservatif, mengeluarkan tabungan lain dalam sabuk kain yang ia buat. 


Kreativitas yang ditampilkan dalam film ini bisa menjadi pelajaran bagi kita dalam menempuh perjalanan jauh. Pesan moralnya, jangan langsung percaya pada orang baru, jangan menyimpan uang dalam satu tempat, dan berkaryalah tanpa memandang usia. 


Film favorit saya itu memang sarat akan pesan moral. Sudah lama saya ingin menampilkannya di kelas. Tetapi saya mencari momen yang tepat. Tenyata, baru di tahun ini, saat saya pulang umroh, saya berkesempatan membawanya ke sekolah. Itu seperti menjadi oleh-oleh paling berharga untuk siswa. 


Respon mereka cukup memuaskan. Mereka semua larut dalam tangis saat film telah usai. Saya biarkan dulu ruangan hening. Mereka masih butuh waktu untuk memenangkan hati sebelum melakukan presentasi. 


Memang benar apa yang dikatakan Goleman dalam laman The Conversation, bahwa Menangis dalam menanggapi film mengungkapkan empati yang tinggi, kesadaran sosial, dan koneksi semua aspek kecerdasan emosional. Dengan demikian, ini merupakan indikator kekuatan pribadi alih-alih kelemahan. Saya pun tak sungkan menunjukkan bahwa saya juga bersedih seperti mereka. Saya ikut menangis, bahkan meraung sejadi-jadinya. Biar mereka juga tak sungkan menumpahkan reaksi emosionalnya. Kelas ditutup dengan khidmat, dengan penuh harapan suatu kelak mereka semua berkesempatan untuk berziarah ke Raudah dan Baitullah. 


03 November 2022

Tidak ada komentar: