03 November 2022

Pelajaran dari Rumah Abah Ali

Berkesempatan melaksanakan ibadah umroh di usia muda tak pernah terbayangkan sebelumnya. Maklum, sifat labil dalam diri selalu mendorong untuk membelanjakan pendapatan pada jalur keinginan saja. Namun siapa sangka, meski tak ada dana, jika telah sampai pada waktunya, Allah mudahkan segalanya. 


Perasaan haru menginjakkan kaki di bandara King Abdul Aziz Jeddah seumpama gelembung kecil meletup-letup tiada henti. Seperti anak kecil menerima mainan baru, saya mampu melupakan pengalaman menegangkan dan tidak nafsu makan selama sembilan jam empat pulih lima menit di pesawat. Kota Jedah menyambut saya seperti seorang nenek memeluk cucunya. 


Jeddah memang berasal dari bahasa Arab yang berarti "nenek". Merujuk pada Siti Hawa, istri Nabi Adam AS yang dimakamkan di wilayah itu. Letaknya berada di pesisir Laut Merah, menjadikannya sebagai pusat perekonomian penting Arab Saudi. Namun sperti namanya, kesan yang pertama kali saya tangkap, Jeddah adalah kota tua dengan bangunan-bangunan yang hampir rapuh. Banyak penggusuran di kanan kiri jalan dan suasana sepi setiba saya di sana yang kebetulan malam hari, memberikan kesan menyeramkan. 


Berbeda dengan siang hari, Jeddah terlihat begitu eksotis. Pemandangan gurun pasir dan sekawanan unta menciptakan rasa takjub luar biasa. Unta adalah hewan mulia yang memiliki keunikan dan keistimewaan dibanding hewan lainnya. Unta juga beberapa kali disebut di dalam al-Qur'an sebagai bentuk renungan penciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Salah satunya adalah surat al-Ghaasiyah ayat 17-21 dan surah Yasin ayat 71-72. 


Bukan kebetulan, abah Ali dan umi Wasila, mukimin di Jeddah yang merupakan orang tua dari sahabat saya Istifadatul Qamariyah, memang mempersiapkan penyambutan untuk saya dan keluarga. Abah berangkat menjemput kami ke hotel lepas subuh dan baru tiba pada pukul 06.00 pagi. Beliau menggunakan mobil pribadi namun diparkir di batas kota Jeddah-Mekah karena sulitnya area parkiran di sekitar Harom. Bukan tidak ada, tetapi biayanya bisa lebih mahal dari ongkos PP Jedah-Mekah. Jadi kami menaiki taksi dari Harom hingga ke batas Jeddah, dan menyalin kendaraan menuju maktab abah. 


Kami disambut dengan sangat istimewa. Umi menyuguhi kami krupuk yang begitu kami rindukan. Beliau menjelaskan bahwa produk krupuk itu bukan kiriman dari Madura, melainkan bikinan sesama mukimin di Jeddah. Katanya banyak masakan Indonesia kaprah di jual di sana, seperti rujak, bakso, soto dan kawan-kawannya untuk mengobati rasa rindu terhadap kuliner tanah air. 


Umi Wasila juga memasakkan kami sate, gule, dan bakso. Betapa girangnya ipar saya, yuk Nung, yang memang tiga hari tidak makan nasi karena tidak nafsu. Yuk Nung terserang flu setiba di Mekah, jadi ia sangat menampik sajian istimewa di hotel kami. Bakso yang disuguhkan umi Wasilah menjadi secam kolam renang tempat ia menceburkan diri pada rasa nikmat. Berasa masuk warung Indonesia, kami begitu menikmati. 


Pemandangan seperti memasuki restoran tanah air juga saya rasakan ketika dalam perjalanan pulang ke Indonesia. Rombongan jamaah umroh yang diketuai Kiai Masyhudi diberi kesempatan untuk menghabiskan sisa mata uang real di pasar Balad. Sebuah pusat perbelanjaan Corniche Commercial Center yang sebenarnya saya nilai telah usang. Namun kesan istimewa saya rasakan saat memasuki warung Mang Oedin. Orang-orang Indonesia bersemangat mengantri demi semangkok bakso dan mie ayam, tak peduli harus membayar segila lima kali lipat harga Indonesia. Menyaksikan orang-orang bersantap dengan wajah puas, yang saya nilai bukan lagi soal kuliner, tetapi lebih pada kerinduan serta kecintaan terhadap rempah khas Indonesia. 


Para jamaah dari berbagai daerah di Indonesia menyesaki pasar Balad. Melakukan banyak transaksi jual beli seperti memberikan kebahagiaan bagi pedagang penuh keringat yang menawarkan parfum, tasbih, juga kentaki albaik yang tak henti berteriak dengan lantang "albaik albaik per bungkus 25 real, uang Jokowi 100 ribu rupiah".


Mengenai itu, emak mertua berkomentar bahwa orang Madura menang banyak di Negeri rantau. Berkat pelajaran bisnis dan sikap anti gengsi yang dibiasakan, orang Indonesia mampu mewujudkan usahanya sendiri. Sebuah pelajaran membanggakan bagi kaum muda untuk bangkit bersaing di Negeri sendiri dalam proses membangkitkan perekonomian mandiri.  


Saya lalu teringat lirik lagu qosidah Nasidaria berjudul Tahun 2000. Dalam penggalan lirik itu menyebut tahun 2000 tahun harapan, penuh tantangan, dan juga mencemaskan. Tak hanya itu, pekerjaan serba menggunakan mesin disebut pula, sehingga para pemuda diminta untuk menyiapkan diri, ilmu dan mempertebal iman. Kita telah sampai pada petunjuk (clue) yang disampaikan lagu itu. Maka ayo siapkan dirimu! Siiiaaappp... 


30 Oktober 2022

Tidak ada komentar: