Kubaca lagi perahu retak
Di sela-sela ritus pemujaan
Sambil mencubit senar cello
Mempersembahkan sepenggal nada rintihku
untuk Tuhan
Bayangmu hilir membara dalam mantra puja-puja
Do’a kita yang menyerupai sketsa;
susunan balok-balok kayu
menjadi memoar rindu
Perahu,
Kelam sudah bulan separuh kita
Tinggal titik-titik pasir
Gumpalkan kata di atas warna jingga
Lalu luruh bersama sore yang kehilangan rupa
Perahu,
Apakah aku harus bertahan menjadi parasit
di alam abstrakmu
sementara engkau bersekutu karang
dengan cinta pertamamu
Perahu kita retak
Lajunya tak lagi kabarkan damai bagi laut
Dalam sadar aku terus merapal mantra
Karena ini lebih mengerikan dari pada kematian.
Tambuko hijau, 19 Nopember 2010
21 November 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
-
Genap sembilan bulan sudah usia toko sembako Alfatihah yang dirintis suami atas dukungan penuh dari sahabatnya, Om Akbar. Beliau memberikan ...
-
Niat berkunjung ke rumah Ning An sudah lama saya agendakan. Seorang teman yang saya anggap guru karena segala apa yang terucapkan dari belia...
-
Tidak ada hidup yang instan. Semua berjalan mengikuti arus perjuangan. Langkah macam apa yang kita ambil turut menentukan hasilnya di masa d...
4 komentar:
Kalau saya perhatikan, kemampuanmu memulis prosa masih labih baik daripada kemampuanmu menulis puisi. Ceritamu itu mengalir, jernih, dan riang.
Terima kasih atas masukannya, Ra. saya akan benahi yang kurang, sadari yang salah, dan selanjutnya saya akan terus berusaha...
Corn
Terbakar semangat nasionalisme sampai gosong :)
Aku salut padamu kawan. Tulisanmu mempesona. Sayang aku tidak seperti kamu (Pintar menulis).Ya aku hanya bisa menikmati karyamu saja. He..He..
Saya juga tidak pintar, Beng. kau berlebihan... menjadi penikmat juga nanti' bakal bosan lho. apalagi yang dibaca karya-karya seperti punyaku. iks!
Beng, mending kamu nulis juga. bikin blog dan acurhat. sip... pis...
salam
semangat!!!
(tanda serunya ada tiga)
Posting Komentar