21 November 2010

Perahu Retak

Kubaca lagi perahu retak
Di sela-sela ritus pemujaan
Sambil mencubit senar cello
Mempersembahkan sepenggal nada rintihku
untuk Tuhan

Bayangmu hilir membara dalam mantra puja-puja
Do’a kita yang menyerupai sketsa;
susunan balok-balok kayu
menjadi memoar rindu

Perahu,
Kelam sudah bulan separuh kita
Tinggal titik-titik pasir
Gumpalkan kata di atas warna jingga
Lalu luruh bersama sore yang kehilangan rupa

Perahu,
Apakah aku harus bertahan menjadi parasit
di alam abstrakmu
sementara engkau bersekutu karang
dengan cinta pertamamu

Perahu kita retak
Lajunya tak lagi kabarkan damai bagi laut

Dalam sadar aku terus merapal mantra
Karena ini lebih mengerikan dari pada kematian.



Tambuko hijau, 19 Nopember 2010

4 komentar:

M. Faizi mengatakan...

Kalau saya perhatikan, kemampuanmu memulis prosa masih labih baik daripada kemampuanmu menulis puisi. Ceritamu itu mengalir, jernih, dan riang.

Ummul Corn mengatakan...

Terima kasih atas masukannya, Ra. saya akan benahi yang kurang, sadari yang salah, dan selanjutnya saya akan terus berusaha...

Corn

Terbakar semangat nasionalisme sampai gosong :)

Siti Nujaimatur Ruqayyah mengatakan...

Aku salut padamu kawan. Tulisanmu mempesona. Sayang aku tidak seperti kamu (Pintar menulis).Ya aku hanya bisa menikmati karyamu saja. He..He..

Ummul Corn mengatakan...

Saya juga tidak pintar, Beng. kau berlebihan... menjadi penikmat juga nanti' bakal bosan lho. apalagi yang dibaca karya-karya seperti punyaku. iks!

Beng, mending kamu nulis juga. bikin blog dan acurhat. sip... pis...

salam

semangat!!!
(tanda serunya ada tiga)