26 Maret 2010

Martabak Rindu di Malam Bercakap

Sekiranya kau menyimak kembali catatan tercecer dalam kerlip lampu pasar malam lalu. Enam sekawan menukar uang dengan karcis untuk masuk rumah hantu tak berhantu. Lalu tawa, lalu canda, lalu kuda-kudaan berputar-putar.

Setidaknya kau bisa melanjutkan percakapan, kalau saja tidak kau lupakan malam itu. Dering handpone, panggilan tak terjawab, SMS masuk, dan pulsa-pulsa yang berdansa. Kalau saja. Tapi mungkin kau lupa. Ah! Sudahlah.

Sepertinya malam itu kau tahu betapa mudahnya martabak itu dibuat. Pijat-pijat bola pimpong tepung, pecahkan telur dalam gelas karet berisi bawang, kocok-kocok, goreng dalam genangan minyak yang meletik-letik. Lalu kau gigit pinggir martabak dalam lumatan rindu. Sendiri.

Semestinya kau mengajak kami untuk makan bersama-sama. Bernyanyi di beranda, melihat bintang-bintang, tertawa, atau mungkin puisi. Sementara kau tak pernah tahu bagaimana persahabatan itu seharusnya dinikmati seperti mengunyah sepotong martabak sambil menggigit cabai.



Guluk-Guluk, 25 Maret 2010

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Hehe...memuji yang baik bukan dengan sanjungan, tapi dengan memberitahukan mana yang salah!

Anonim Keyah Pole

Titosdupolo (Colt T120) mengatakan...

Mantap yang Nabrak

Anonim mengatakan...

Setidaknya kau bisa melanjutkan percakapan, kalau saja tidak kau lupakan malam itu. Dering handpone, panggilan tak terjawab, SMS masuk, dan pulsa-pulsa yang berdansa. Kalau saja. Tapi mungkin kau lupa. Ah! Sudahlah.


Anonim Keyah Pole 2