18 Maret 2010

Korket Hangat Menyambut Pagi

Pada sebuah pagi dini di bulan Maret, semerbak wewangi bunga-bunga menusuk hidung. Tambuko tampak riang menyaksikan angin yang asyik bersenda gurau bersama burung-burung. Sesekali angin yang berdesir-desir itu mengendap-endap masuk ke rumahku melewati jendela untuk meniup tubuhku yang terbungkus mukenah.

Aku merasa pagi juga ingin bermain-main denganku. Maka untuk sebuah permintaan yang tulus aku lekas membuka mukenah dan beranjak mengajak nenek untuk lari pagi. Nenek mengabulkan permintaanku.

Aku dan nenek menyusuri jalan panjang yang tak berujung. Menikmati indahnya butir-butir air yang berlindung di ujung daun padi. Sisa-sisa gerimis semalam ternyata telah menitik dalam embun tipis pada rumput-rumput hijau. Kami juga terlena oleh suara air yang mengalir dari parit di tepi jalan. Mereka terasa menyapa pagi yang bersahaja.

Rumah-rumah tampak kabur terselimuti kabut putih yang begitu tebal. Hingga orang-orang yang berlalu di kejauhan tak dapat dikenali. Setelah orang-orang itu berpapasan secara jarak dekat, barulah aku tahu kalau mereka adalah pedagang keliling di pagi hari.

Para penjual itu adalah pahlawan pagi. Mereka menawarkan dagangan berupa: kalepon cettot, peslopes, anak ayam, korket, dan leppet sebagai penawar rasa pahit mulut sisa-sisa mimpi semalam. Berpapasan dengan mereka membuatku membayangkan betapa nikmatnya korket hangat bila dicelup pada sambal pedas.

Di antara para penjual itu, ada yang ku kenal. Nyi Hatip namanya. Sejak kecil aku memang sudah terbiasa menunggunya di beranda rumah. Ketika ia datang dengan nampan di atas kepala, aku memanggilnya. Sementara ia menunggu, aku bergegas menuju ibu yang masih berada di atas sajadah. Kutengadahkan tangan. Lalu ibu memberiku uang recehan sebesar Rp 500,-. Saat itu korket seharga Rp 100,- jadi aku bisa mendapatkan lima buah korket.

Nyi Hatip memberiku 7 buah korket dibungkus plastik. Aku langsung menerimanya begitu saja karena aku belum mendengar isu tentang lingkungan. Yang sebenarnya bila kutahu dari dulu tentang bahaya sampah plastik, niscaya aku akan menerimanya menggunakan dua tanganku saja. Akhirnya aku hanya tertawa girang menerima bonus dua korket dari Nyi Hatip.

Aku menyudahi penyesalanku di masa kecil yang tak pernah dididik untuk tahu dari mana dan akan ke mana sampah-sampah itu. Kini aku sudah besar. Aku harus tanamkan tekad kuat untuk menjadi pahlawan alam.

Cukup lama aku berjalan-jalan kembali ke masa kecil. Aku sampai lupa kalau di sampingku ada nenek. Ia tampak serius. Aku menoleh dan memperhatikan bentuk wajahnya yang bulat. Beberapa garis di jidat dan satu tarikan kendor di pipi kanan dan kirinya membuatnya tampak sangat tua. Namun aku tak bisa memungkiri bahwa ia adalah gadis yang amat ayu di masa mudanya. Itu tampak dari hidung mancung dan bibirnya yang bergaris sensual.

Sayang aku tak mirip dengannya. Sementara sepupu-sepupuku banyak yang mirip. Tapi inilah takdir Tuhan: menciptakan seorang Ummul yang berwajah pas-pasan. Aku cukup bersyukur atas karunia yang amat indah ini, sebab beruntunglah aku yang tidak ditakdirkan menjadi perempuan cacat atau idiot. Aku hanya berharap semoga suatu saat nanti ada seseorang pangeran Wortel yang mencintaiku tanpa syarat. Ah! Aku jadi malu berbicara tentang cinta.

Rupanya tatapanku yang tak sebentar itu membuat nenenk tersadar. Karena aku takut ia bertanya sesuatu, maka aku berpura-pura mengambil bulu matanya yang jatuh di pipinya.
“Kakek merindukanmu di alam sana, Nek. Nih bulu mata nenek jatuh,” kataku meyakinkan.
“……”
“Nenek, sebenarnya aku ingin tahu wajah kakek.”
“Sebuah foto saja nenek tak punya. Ia sudah pergi saat kau berada dalam goa ibumu. Waktu itu umurmu baru 4 bulan,” jelas nenek.
Kini giliranku yang diam.
“Nenek juga merindukannya,” ungkap nenek, jujur.
“Aku mengerti,” sambungku pelan.

Aku berujar layaknya orang dewasa. Padaha kata orang aku masih bau kencur. Tapi untuk masalah ini aku mengerti bagaimana rindu nenek bergerak, sebab pada uratnya yang berbisik aku dapat merasakan sebuah kerinduan mendalam. Kami menunduk tanpa suara beberapa saat.

Tiba-tiba saja dari korket menuju rindu. Aku sadar sepenuhnya bahwa pagi ini aku benar-benar memanjakan lamun. Beberapa kisah tentang masa lalu telah selesai kuputar.

Perjalanku pagi ini cukup panjang. Bersama nenek telah ku habiskan embun yang mesra dan bersahaja. Nenek mengajak pulang. Kami berlalu bersama kabut yang terbunuh oleh jarum cahaya surya. Aku bersiap menyambut pagi dengan korket hangat Nyi Hatip.




Tambuko, 03 Maret 2010

1 komentar:

M. Faizi mengatakan...

kemampuan bernarasimu sangat tampak dalam cerita episode kali ini. sampai jumpa di posting berikutnya.