17 Maret 2010

Mengintip Setan Bermain

Jam 01:23 WIB.

Malam di bulan Februari, untuk alasan yang tidak diketahui, mataku sulit mengatup. Suara angin mendesau dipadu dengan suara tokek di kejauhan membuatku memeluk ibu yang pulas di samping kiriku. Kutarik selimut tebal berwarna merah hingga ujung kepala. Aku memilih berlindung di bawah naungan selimut saja dari pada membangunkan ibu.

Fikiranku bertarung dengan batin waktu itu. Saat suara cicak juga berpartisipasi megusik hening malam. Ditambah lagi dengan tabuhan gayung dan suara byar-byur air di kamar mandi. Bulu kuduku berdiri tegang. Aku merasakan mereka semua ingin lari tapi tidak bisa.

Dua menit setelah kupejamkan mata dan menekuk tubuh, akhirnya aku penasaran akan suara-suara yang bersumber dari kamar mandi itu. Benarkah setan bermain-main di malam hari? Kalau iya, aku ingin mengintip mereka malam ini. Sebelum semuanya terlambat. Sebab mungkin besok malam setan-setan itu tak nafsu untuk bermain.

Demi sebuah keinginan, akhirnya dengan terpaksa aku membangunkan ibu dengan alasan hendak buang air kecil. Ibu tak menggerutu, tapi lantas bangun dan melangkah gontai di depanku. Aku juga melangkah perlahan bersama dag-dig-dug jantung yang mengalahkan suara gendang India pada sebuah pesta pernikahan. Ibu menoleh karena aku tertinggal. Ia mengerti kalau aku ketakutan.
“Ayoh, cepat!” perintah ibu.
“Anu… sebenarnya Ummul cuma ingin tahu siapa yang bermain air di kamar mandi, Bu,” ungkapku lirih dan menunduk. Aku takut ibu marah karena aku lancang membangunkannya. Apalagi dengan alasan mengintip setan.
“Memangnya ada suara apa?”
“Suara byar-byur dan gayung dimainkan.”
“Ah kamu, Mul! Itu hanya halusinasi kamu saja. Kamu sendiri yang mengundang suara-suara itu,” tuduh ibu.
“Tapi, Bu… suara itu benar-benar ada,” kilahku.
“Ya sudah. Kalu kau memang penasaran, ayo kita intip bersama-sama.”
Aku mengangguk mantap. Rasa takutku sedikit terhapus oleh kekompakan dan semangat ibu.

Kini kami bagaikan dua sekawan yang tak gentar meski halilintar menggelegar. Tekadku makin bulat. Ibu tersenyum-senyum geli melihat diriku yang berapi-api.

Hanya 15 langkah saja kami sudah tiba di depan kamar mandi. Pintunya terkunci rapat. Sedang suara gemercik air semakin jelas dan nyaring. Oh, kini aku semakin yakin kalau ada hantu di dalam ruangan itu.

Aku dan ibu berjinjit menuju sumur di samping utara kamar mandi. Kami merapatkan tubuh di tembok untuk mendengarkan suara-suara selain percikan air. Sungguh kami amat kompak, hingga rasa takutku berganti penasaran: kapan pintu akan dibuka? Siapakah yang akan keluar?

Sesaat kemudian suara engsel pintu beradu membuat kami tak bersuara. Langkah-langkah tertatih semakin membuat mataku melebar. Kupeluk ibu dari belakang. Erat. Kurapatkan mata.

Suara seorang kakek tua terbatuk-batuk tiba-tiba membuat kami sadar kalau yang kami intip itu ternyata kakek sedang berwuduk untuk shalat malam. Beliau membetulkan lengan bajunya seraya tersenyum memandangi kami yang bertingkah serba salah.

Aku dan ibu saling lempar pandang. Ibu melotot geram ke arahku. Lalu ia menjewer telingaku dengan hangat dan penuh kasih sayang. Aku mengerti ia malu pada kakek.
“Ini akal-akalanmu saja, Mul. Ibu jadi ikut-ikutan pensaran. Kamu pintar merayu, padahal ibu tak pernah mengajarimu seperti itu.”
Aku tersenyum tak menjawab. Aku sadar bahwa aku salah. Tapi ibu tak marah. Ibu malah mengacak-acak rambutku. Aku senang.
“Kalau begitu mari kita ambil wudluk untuk sebuah shalat malam. Kita wajib minta maaf pada Tuhan karena percaya akan adanya hantu gentayangan. Habis itu kita minta maaf kepada kakek karena telah su’udzan,” ajak ibu.

Sekali lagi kupeluk ibu bersama malam yang penuh cahaya gemintang. Bulan tersenyum ke arah kami. Ia mengerti, karena sedari tadi ia memperhatikan langkah kami.




Guluk-Guluk, 25 Februari 2010

1 komentar:

M. Faizi mengatakan...

Ko' nako'en