20 September 2023

Nenek Penunggu Villa

Generasi tahun 90-an pasti tidak asing dengan sinetron Gerhana. Drama serial televisi menceritakan tokoh bernama Gerhana yang lahir bertepatan dengan gerhana bulan sehingga ia memiliki keistimewaan berupa indigo. Sinetron tersebut benar-benar menginspirasi saya pada masa itu. Saya lalu berandai-andai betapa senangnya memiliki kemampuan supranatural, bisa berinteraksi dengan makhluk gaib atau bisa membaca pikiran orang lain.


Setelah dewasa dan mengenal seorang sahabat bernama Sahara, saya lalu menghapus keinginan itu, sebab akhirnya saya tahu bahwa indigo bukanlah kelebihan, melainkan kekurangan. Beban yang ia pikul justru lebih berat. Dalam hal bisa melihat makhluk halus isalnya.


Dua hari yang lalu saya diajak Faris dan Devi staycation di Batu untuk kepentingan bisnis. Villa yang mereka pilih berinisial O merupakan rekomendasi dari rekan bisnisnya. Sebuah bangunan berarsitektur tua yang direnovasi menjadi tampak modern. Memiliki ruang tamu sangat luas dengan akomodasi yang cukup lengkap. Bar dan dapur berada di ruangan utama membuat saya dan Devi berandai-andai memilikinya suatu saat nanti. Ada bonus pemandangan alam gunung Panderman dan pesona kota Batu yang bisa dinikmati dari balkon. Suasana sejuk penuh dengan aneka bunga membuat siapapun akan kagum memandangnya.


Begitu sampai, yang saya tebak adalah harganya pasti mahal. Benar saja, hampir gagal karena tarif dinilai terlalu tinggi, ternyata bapak penjaga paruh baya yang mengenakan topi rimba itu memanggil kami lagi dan mengabarkan bahwa sewa sudah dibayar oleh rekan bisnis Faris. Kami bersegera masuk untuk melepas lelah.


Ketika kembali ke mobil untuk menurunkan barang, seorang perempuan keluar dari bangunan di samping villa. Saya menebak pasti istri si bapak penjaga tadi. Bertubuh padat dengan kulit putih dan wajah bulat, membuatnya tampak seperti warga Tibet. Bibirnya memiliki lengkung yang lebih condong ke bawah sehingga ia seperti selalu bersedih.



Tiba-tiba keanehan pertama menyentak kesadaran saya. Saya sampaikan sejujurnya ke Devi bahwa saya merasa tengah berada di villa seperti dalam film horor; bangunan tua dan dua penjaga misterius. Ia buru-buru mengiyakan sebelum saya selesai berbicara. Kami bejalan dengan perasaan masih tampak wajar.


Siang itu saya tidak membuang waktu dengan berlelah-lelah, langsung membidik beberapa pemandangan yang indah berikut setiap sudut villa. Devi mengagetkan saya dengan berbisik menemukan album tua di nakas kamarnya. Aku meresponnya dengan biasa saja. Berpikir positif, mungkin itu adalah album kenangan pemilik villa.


Di dinding ruang tamu, lurus dengan tivi, saya juga memperhatikan figura dengan foto tua. Foto atas tampak kakek nenek tengah duduk mengenakan pakaian adat jawa. Di bawahnya kakek nenek itu di masa muda bersama delapan anaknya tercetak hitam putih. Anehnya bagi kami, mengapa bukan lukisan pemandangan saja yang dipajang? Mengapa harus foto tua?


Keanehan itu segera kami tepis dengan mengukus pentol ikan tuna yang sengaja kami bawa dari Madura. Kami berkumpul di balkon untuk menikmatinya selagi hangat. Sufi, adik Devi datang membawa kudapan dan minuman dingin. Kami menikmati momen itu dengan sangat puas.


Suasana tampak lebih seru saat Sofwan dan Istrinya, Mbak Sahara, datang membawa bayinya yang berusia 3 bulan. Sofwan adalah sahabat Faris yang tinggal di Malang. Mereka berteman sejak nyantri di pondok pesantren Annuqayah daerah Lubangsa Selatan. Komunikasi mereka cukup baik sehingga silaturrahmi tetap terjaga hingga kini.


Kami berkumpul di balkon menimkati guyonan dan bualan khas Sofwan. Nadanya yang menggebu ketika menceritakan sesuatu membuat apa yang ia sampaikan selalu terdengar lucu. Momen berkumpul dan membahas hal lucu inilah yang membuat liburan mahal dan bermakna.


Lepas maghrib kami memilih keluar mencari makanan menggunakan dua kendaraan. Karena Faris masih ada urusan, suami meminta kami, para perempuan pulang duluan. Kebetulan Devi dan Mbak Hara memang bisa menyetir. Bebas lah para laki-laki berkeliaran menikmati malam mingguan.


Setiba di villa kami disambut dingin yang menusuk. Maklum, kota batu memang lebih berangin pada 4,6 bulan dalam setahun, yakni awal Juni hingga akhir Oktober. Menerima sisa angin terhebat bulan Agustus membuat saya yang tak berjaket terguncang gemetaran.


Saya dan Devi memilih duduk di sofa, sementara Mbak Hara menyusui bayinya di kasur ruang tamu. Karena kunci masih menempel di pintu luar, saya meminta devi mengambilnya. Begitu ia membuka pintu saya melihat sekelebat bayangan di pintu ruang penjaga. Devi menoleh dan berteriak mendapati sosok pria tengah berdiri di balik pintu. Kami semua terperanjat tak karuan.


Dengan santainya si bapak berdiri mengenakan jumper dengan topi yang terpasang. Bukannya bereaksi lucu melihat tingkah kami yang kekanak-kanakan bapak itu malah memasang wajah datar. Ia bertanya mengenai pintu pagar apakah hendak dikunci atau masih menunggu para suami pulang.


Saya agak geram dengan tingkah aneh bapak tadi. Sangat mengganggu kondisi mental dan psikis kami. Suasana berubah menjadi mencekam. Lebih menakutkan lagi saat Mbak Sahara membuka tentang apa saja yang dia lihat sejak sore tadi.


Setiba Mbak Hara di gerbang, ia melihat sosok nenek gemuk memakai kebaya. Ia menyapa dengan santainya. Ketika menoleh lagi, sosok itu telah lenyap. Buru-buru ia bawa bayinya masuk.



Menjelang maghrib, ia melihat sosok yang sama memegang tongkat tengah berdiri memandang gunung Panderman. Sementara katanya, kami tengah asyik cekikikan menyimak cerita-cerita lucu Sofwan. Dan sempurnalah keresahan kami saat Mbak Sahara mengatakan bahwa sosok yang ia lihat itu persis seperti di dalam foto.


Kami berkumpul di atas kasur merima penjelasan tidak masuk akal dari seorang indigo. Tentang makhluk bertubuh hitam di dalam kamar mandi sebelah timur. Juga pocong yang mengambang di dekat pohon mangga tempat kami bersantai di Pujon. Semua terkuak menekan ketakutan di dalam diri saya.


Kaki saya berubah menjadi dingin. Tubuh terasa hangat terkesiap dengan denyut berpacu  kencang. Saya menggigil di pojokan. Devi pun menampakkan reaksi yang sama. Seperti mau menangis tetapi ditahan-tahan.


Terdengar bunyi di sofa pojok. Sebuah sudut yang memang tidak pernah kami duduki. Kata Mbak Hara, si nenek tengah menyaksikan ketakutan kami. Semakin tenggelam lah saya dalam kekecutan ini.


Mbak Hara mengatakan bahwa jika sampai ia terlelap, maka makhluk-makhluk di tempat itu akan mengajak berkenalan dengan mengeluarkan bunyi-bunyi. Saya dan Devi sudah tidak tahan dengan apa yang disampaikannya.


Kami tahu Mbak Hara tidak berbohong, saat tiba-tiba sebuah suara gagang pintu samar-samar terdengar. Saya pikir itu hanya efek dari ketakutan kami. Tetapi bunyi berikutnya dari jendela membuat kami percaya sepenuhnya bahwa makhluk itu tengah memperhatikan kami dari luar sana.


Saya menahan kantuk luar biasa. Antara sadar dan tidak, terndengar bunyi gesekan sofa. Persis di detik yang sama saya dan Mbak Hara bertatapan menyadari apa yang kami dengar ternyata sama. Saya menoleh ke arah Devi, dia menggeleng tak mendengar apa-apa. Mungkin karena hanya dia yg masih bertahan untuk tidak terlelap.


Di pejam berikutnya, dengan jelas saya mendengar sebuah suara. Suara perempuan tua bernada berat. Mbak Hara lebih dulu mengungkapkan kepada kami tentang suara itu. Saya yang juga mendengar membenarkannya. Kami bertiga saling pandang dalam perasaan yang sama.


Di situlah titik yang membuat kami memutuskan untuk cek out malam itu juga. Kami berencana pindah ke rumah Mbak Hara atau numpang di kosan Sufi. Maka ditelponlah pak suami yang ketika mengangkat suaranya terdengar parau. Sialan! Bisa-bisanya dia tertidur sementara kami menerima teror nenek tua.


Jam menunjukkan pukul 2 dini hari saat kami semua putus asa. Devi benar-benar bertahan untuk tidak terlelap sedetik pun. Matanya tampak merah. Kami rasa, ini bukanlah healing, melainkan ajang uji mental sebuah drama filmis. Kami hanya saling menguatkan satu sama lain. Bagaimana pun ini harus kami terima. Mengerikan memang, namanya juga gratisan, celetuk Mbak Hara membuat suasana tegang lumayan mencair.


Satu jam berikutnya kami dikagetkan dengan Mbak Hara yang tiba-tiba terjaga dari tidurnya. Katanya nenek itu membangunkannya. Ia melongo ke jendela. Membuka pintu menantang makhluk gaib itu. Hilang katanya. Tapi tiba-tiba kembali menyaksikan kami dari kejauhan.


Saya dan Devi seperti kucing sedang dimandikan. Lemah tak berdaya mendengar penjelasan demi penjelasan tentang dunia indigo. Sampai akhirnya suara mobil tiba halaman. Membebaskan selapis belenggu ketakutan.


Mereka menyimak cerita kami dengan candaan. Aura positif manusia kata Mbak Hara adalah energi negatif bagi mereka. Nenek itu lenyap dimakan keberanian sosok pelindung. Suasana berubah hangat dan kami masih mengobrol sampai jam 3.30 WIB.


Suami memberi wejangan bahwa setiap rumah pasti memiliki penjaga tak kasat mata. Memang sudah sepantasnya dikirimi fatihah. Mereka tidak mengganggu. Hanya menyaksikan manusia dari alamnya. Sementara bagi orang indigo, makhluk gaib memang cenderung ingin berkenalan.


Menjelang tidur, saya masih diteror rasa penasaran mengapa nenek itu bergentayangan? Bagaimana kisah hidupnnya?  Seperti apakah cara matinya? Apakah anak-anaknya berkirim amal saleh? Di manakah ia dikebumikan? Apa maksud kedatangannya?


Setiap nyawa akan menjumpai kematian. Waktunya sudah ditentukan. Tugas kita adalah memperindah hidup, agar mati bahagia. 

2 komentar:

M Faizi mengatakan...

Ipar saya indigo sejak lahir. Pasti dia senang kalau diajak dalam liburan horor ini, hi hi hi

Ummul Corn mengatakan...

ipar yang Manding ya,Ra? ngireng jadikan instruktur uji mental sanggar Tikar :D