30 Juni 2020

Kucing Baru di Rumahku

Setiap kali aku membuka pintu di pagi hari, seekor kucing kecil berwarna coklat datang dengan bunyi krongseng di lehernya. Kucing itu berlari cepat menuju pojok ruang depan tempat suami biasa menaruh sepiring sereal untuknya. Dengan lahap ia mengunyah makanan itu hingga tak bersisa.


Karena kecantikannya, kucing itu menarik perhatian bocah berusia tujuh tahun bernama Ezi, keponakanku. Ezi membawanya sepulang dari pasar Senin, Ganding, sekitar dua bulan yang lalu. Jelaslah kucing yang diberi nama pupus canopus itu bukan jenis kucing anggora atau persia. Oleh Yeyen, sahabatku yg rumahnya dekat dengan pasar Ganding diperkirakan kucing itu lahir dari hubungan gelap antara kucing lokal yang ditaksir kucing anggora milik keluarga Yik Amin. Pantas saja bulunya halus dan wajahnya berkombinasi.


Sejujurnya aku bukan pecinta kucing. Bayi kucing yang baru dilahirkan membuatku merinding dan bisa lari terbirit-birit. Suaranya bagai alarm gempa. Ketakutanku yang berlebihan pada bayi kucing bahkan belum sembuh hingga kini.


Jika ada kucing bertandang ke rumah, aku pasti mengusirnya. Tak lama mereka kembali lagi dengan rombongan yang lebih banyak. Ingin aku memukul mereka semua, namun nuraniku mencegahnya. Kucing kadang menjengkelkan saat numpang berak dan mencuri ikan. Tapi kadang juga menggemaskan saat bermanja-manja dengan menggosokkan badannya ke kaki dan betisku. 


Aku bukan pecinta kucing. Tapi aku juga bukan tipe pembenci yang tega menyiksa hewan seperti kasus yang dilakukan tiga wanita penginjak kucing hingga tewas sebulan yang lalu. Menonton videonya saja aku ingin menangis.


Tiga wanita itu hatinya mungkin sudah menjadi batu, tak punya empati dan prikehwanan. Mereka juga tak tahu undang-undang perlindungan satwa dan tak menyadari kekuatan netizen. Aku berasumsi mereka hanya ingin viral di media sosial hingga rela melakukan apa saja. Jiwa seperti mereka hanya numpang terkenal dengan mengumbar aib bukan lewat prestasi dan karya. Entah apa motif sebenarnya. Bisa jadi kucing itu adalah piaraan mantannya yang memutus hubungan pas lagi sayang sayangnya.


Sejak kecil aku dididik untuk menyayangi kucing sebagaimana diajarkan Rasulullah. Tapi kucing kampung nakal lebih sering membuatku lupa akan ajaran itu. Kadang-kadang aku menatap lama dengan pandangan mengancam, entah mereka mengerti atau tidak. Jika mereka punya perasaan selayaknya manusia maka berdosalah aku.


Aku bukan pecinta kucing, tapi aku tahu kucing adalah simbol peradaban. Keluarga yang memelihara kucing terlihat sangat menikmati ritme alam dalam hubungannya dengan makhluk hidup. Nilai tambahnya juga menciptakan kebahagiaan tersendiri yang hanya bisa dirasakan oleh si pemelihara.


Tahun 2011 keluargaku pernah memelihara kucing anggora bernama hengky. Kucing itu gemuk dan berbulu putih. Hengky terdidik dan sangat patuh. Kami sekeluarga menyayanginya. Namun pada suatu malam, kami lupa tak memasukkannya ke dalam kandangnya. Ia berkeliaran di tengah malam dan ada yang membawanya. Mungkin orang itu tak bermaksud mencuri, tapi kesempatanlah yang membuatnya terpaksa. Keluargaku ribut-ribut di pagi hari seperti kemalingan sapi.


Enam tahun kemudian Kak Imam membawa seekor kucing persia dari Bali. Kucing hitam itu menjadi pengganti hengky di keluarga kami. Namun usianya tak lama. Kucing itu ditemukan mati mengapung di bak kamar mandi. Kejadiannya diduga karena ingin menangkap ikan emas yang sedang asik berenang. Respon keluargaku tak seheboh saat kehilangan hengky. Mungkin karena usianya yang tak sampai setahun bersama kami.


Setelah lama tak punya hewan peliharaan, akhirnya pupus canopus menempati rumahku. Setiap pagi saat aku membuka pintu, ia berlari menghampiriku dan masuk menuju pojok ruang depan untuk menikmati sarapan. Bunyi gigi tajamnya mengunyah sereal membuatku geli. Ia menghidupkan kembali rumahku yang sunyi. Semoga kamu panjang umur, Pus.

Tidak ada komentar: