10 Juni 2018

Cerita Ringan di Dapur Mertua

Sebelum nikah, wajar ya kalo para gadis belum bisa membedakan merica dengan ketumbar, atau kencur dengan jahe, karena dalam diri mereka masih belum tumbuh rasa ketertarikan akan dunia dapur. Setelah bersuami, baru deh tahu rasa! Siapa suruh pas masih remaja males banget bantu mami masak dan nyuci piring. Pas udah nikahan baru nyadar kalo bantu ortu itu berfaedah.

Nah kali ini yang harus dihadapi bukan cuma mami tapi mami mertua. Setiap kali kata mertua diucapin kenapa ya bawaannya sereeeeem gitu. Padahal mereka juga manusia biasa. Haha... Jadi ngelantur. Salah satu kriteria istri ideal, harus bisa masak (bukan cuma masak air lho ya). Bahkan dintuntut untuk menciptakan variasi dalam setiap hidangan. Nah lho... Tugasnya jadi dabel-dabel ruwetnya.

Bingung? Tentu saja. Sesuai pengalaman aku, yang waktu pas mondok lebih banyak beli ketimbang masak sendiri, galau banget karena langsung harus berhadapan dengan keluarga baru di medan dapur mertua. Butuh waktu lamaaaa syekali buat aku beradaptasi dengan gaya memasak mereka. Bumbu yang disediakan juga cukup komplet dibandingin dengan di dapur ibuku. Beda daerah, beda rempah, beda pula kulinernya.

Nah kebetulan aku nikahnya ama orang yang deket pesisir. Pesisir dari dulu dikenal dengan variasi olahan ikannya. Jika di rumahku ikan pindang cakalan yang sudah direbus (diambil petisnya) langsung digoreng, nah di rumah suamiku beda lagi. Cakalan sweger juga bisa dimasak semur, takar, panggang, atau dibungkus daun bersama bumbu lalu dibakar setelah dikukus. Demikian juga dg iwak bandeng fresh, nggak cuma digoreng, tapi bisa jadi bandeng bakar, bandeng presto atau otak otak bandeng. Ribet kan? Jadi jangan ditanya kenapa menantu yg ikut ke rumah suaminya lebih banyak yang kurus dari pada yang gendut. Nggak semata-mata karena mertua mereka galak, tapi mikirnya keras banget gimana masakan mereka bisa cocok di lidah suami, terutama mertua laki.

Kayak pas awal-awal aku nikah, masakanku asiiiin terus. Goreng tahu aja keasinan. Kata orang, lidah yang suka asin itu diistilahin lidah sapi. Kan malu disamain dengan sapi. Wes nerimoooo aja dikatain apa sesuka hati. Secara perlahan aku bisa menyesuaikan rasa dengan belajar mengukur garam melalui sendok khusus.

Bereslah masalah asin, lalu muncul pengalaman buruk lagi. Mertuaku beli ikan tengiri yang sudah dipotong-potong dari pasar. Kucuci sembarangan karena mengira ikan itu sudah pasti bersih. Aku percaya diri menyulapnya jadi kuah takar dengan bumbu bawang putih, bawang merah, kemiri, merica, cabe rawit, cabe kriting, dan sedikit kunyit (penghilang amis). Setelah diicip-icip lha kok ya kayak ada tanah yang nempel di dagingnya kerasa banget di gigi. Eh ternyata itu pasir. Kata bu mer, aku kurang bersih nyucinya. Kesalahan kecilku itu menjadikan masakanku dibuang tak bersisa. Gimana nggak kurus mikirinnya?

Dari pengalaman pahit itu aku belajar lagi tentang suci najis makanan yang kita hidangkan. Makanan nikmat tapi diolah dengan sembarangan dan tidak memenuhi standar kebersihan juga akan berdampak pada kualitas shalat dan doa kita. Kok bisa?

Coba diingat-ingat lagi, kadang pas mau goreng telur kita langsung menetasnya di atas wajan karena melihat tidak ada kotoran ayam yg nempel di sana. Padahal kita sangat paham telur itu diambil dari kandang dan langsung didistribusikan. Masuklah kotoran ayam itu dalam perut kita. Kotoran itu najis. Hal yang najis bahkan mampu membatalkan shalat karena pas shalat kan syaratnya harus bersih dari najis. Hmmm muter-muter kan penjelasannya!? Padahal poinnya, kita harus waspada pas nyuci barang yang mau kita olah. Itu nasihat mertua. Gimana ngga kurus mikirnya?

Syukurlah, saat ini berat badanku udah bertambah, eh maksudku walau belum lihai benner, tapi lumayanlah aku udah bisa masak dengan baik. Aku juga mengandalkan smart phoneku untuk mencari menu-menu baru yang meski ditolak ratusan kali oleh mertua, tapi suami lumayan suka. Kalo udah gini pengen banget cepet-cepet punya dapur sendiri dan masak sesuka hati (cieee curhat).

Aku juga berusaha membangkitkan gairah memasakku lewat film yang bertema kuliner. Film yang pertama kutonton adalah The Lunchbox. Direkomendasikan oleh guruku. Ini film Bollywood yang ceritanya berangkat dari rantang makan siang India yang dikirim oleh seorang istri kepada suaminya dan dalam proses pengirimannya tertukar. Dari rantang itulah si istri dan si penerima saling berkirim surat. Makanan lokal negara ini ditampilkan secara natural dan apa adanya. Bikin pengen nyobain masakan India deh.

Film selanjutnya, berjudul No Reservations. Kisah cinta di sebuah dapur restoran menambah keseruan film ini. Maklum banget lah tiap kali nonton film kalo nggak genre romance, males banget namatinnya. Film action aja lebih seru kalo ada latar romantisnya. Kayak Kill Bill Vol 1 dan 2 kan kisahnya emang bermula dari cinta lalu jadi dendam. Hehe... Ngomongnya ke mana-mana. Begitulah kalo urusan pelm.

Ada juga film berjudul The Hundred-Foot Journey. Film drama komedi Amerika serikat ini berkisah tentang perjalanan sebuah keluarga India yang pindah ke Prancis untuk mendirikan restoran. Hidangan Eropa dan makanan lokal dari India sangat sedap dilihat. Pokoknya hidangannya bakal bikin kamu kamu pada ngiler. Dan masih banyak film bertema kuliner lainnya seperti Tabula Rasa film produk Indonesia, Chef film keluarga yang jualan di truk, Ratatouille film animasi, dan lain lain.

Kamu juga bisa belajar dari film-film itu. Meski tidak belajar resepnya setidaknya bisa ngambil pelajaran semangatnya aja. Ibarat berada di bawah pohon mangga nih ya, nggak dapet buanya dapet udaranya segernya aja. Kalo udah ngiler kan bisa nyeret galah dan ngulek kuah petis. Artinya sukai dulu hal-hal yang bisa ngedeketin kamu ke hal yang nggak kamu suka. Ntar juga cinta. Selamat memasak. Kendalikan garam di tanganmu!

Tidak ada komentar: