05 Mei 2018

Mampukah Menjadi Vegetarian?

Istilah vegetarian baru saya dengar ketika  saya menginjak kelas akhir SMA 3 Annuqayah. Saat itu saya tergabung dalam komunitas peduli lingkungan yang tiap sepekan sekali mengadakan acara penguatan kapasitas tentang lingkungan. Dalam salah satu kesempatan guru pembimbing saya menjelaskan tentang sejarah dan manfaat gaya hidup vegetarian. 

Pertama kali saya memerima penjelasan, aneh rasanya menyadari di dunia ini ada sekelompok orang yang enggan makan uanggas dan bahkan ikan. Menurut pemikiran cacat saya, mereka menyia-nyiakan anugerah Tuhan. Lalu siapa yang akan menyantap miliaran ikan, mengingat potensi sumber daya di laut sangat besar. Film dokumenter Home menjawab tuntas keheranan saya.

Film bertema lingkungan yang berdurasi sekitar 93 menit ini diproduksi pada tahun 2000. Film ini menyoroti segala bentuk kerusakan lingkungan yang terjadi di bumi, sebagai dampak dari berbagai aktivitas manusia selaku spesies yang paling dominan mengubah bumi. Dalam salah satu scene film tersebut menjawab pertanyaan saya tentang siapa yang akan mengkonsumsi ikan yang terus berkembang biak di laut? Mampukah manusia menguras kekayaan laut? Ternyata saya salah. Saya tidak memahami bahwa kita telah menguras apa yang disediakan alam. Sejak tahun 1950, penangkapan ikan meningkat lima kalinya dari 18 menjadi 100 juta metrik ton per tahun. Ratusan perusahaan kapal mengosongkan lautan. Tiga perempat dari ikan di laut ditangkap habis, menyusut atau dalam bahaya karena tindakan di atas. Sebagian besar ikan besar telah ditangkap dari keberadaannya karena mereka tak punya waktu untuk berkembang biak. Kita menghancurkan siklus lingkaran hidup yang diberikan pada kita. Pada rata-rata saat ini, semua persediaan ikan terancam menyusut. Kita telah melupakan bahwa sumber daya alam itu langka.

Film tersebut menyadarkan saya bahwa kaum vegetarian khusunya tingkat lacto-ovo telah membantu penyelamatan ekosistem laut. Meski dinilai dalam skala kecil, setidaknya mereka turut berperan dalam upaya mengatasi permasalahan yang terjadi. Dan bisa dibayangkan jika semakin banyak orang yang melakukannya maka semakin banyak manfaat yang terwujud dalam skala global.

Rasanya, sangat mudah berargumen tentang manfaat pola hidup vegetarian. Namun dibutuhkan tekad yang kuat dan  prores belajar yang konsisten untuk mewujudkannya. Terlebih ketika kita harus berhadapan dengan hidangan daging yang menggoda, misalnya sate atau ikan bakar. Dua godaan terberat bagi suami saya yang mulai menerapkan pola hidup vegetarian.

Suami saya memiliki kenangan pahit dengan tulang ikan. Waktu kecil ada tulang ikan yang tersangkut di tenggorokannya ketika ia menyantap ikan tongkol. Sejak saat itu ia berhenti makan ikan, meski setiap hari Emak menghidangkan olahan ikan dengan menu variatif, suami saya tetap bersikukuh menolak makan ikan.

Mitos yang populer di masa kecil saya adalah ikan menyebabkan kebodohan. Setelah beranjak dewasa, melalui pelajaran hadist, saya paham mengenai mitos tersebut. Guru saya menjelaskan ikan-ikan di laut mendoakan orang-orang yang melakukan kebaikan. Orang yang menuntut ilmu termasuk pada orang yang melakukan kebaikan. Ketika ikan-ikan dilautan berkurang karena disantap setiap hari, maka makhluk yang mendoakan penuntut ilmu atau orang yang mengerjakan kebaikan pun berkurang. Lalu dibuatlah mitos tersebut untuk anak kecil.

Sejak mengenal istilah vegetarian, sebagai penggemar sayur-mayur sepertinya saya merasa sanggup untuk menerapkannya dalam pola hidup saya. Namun cobaan demi cobaan membuat saya belum mampu menjalaninya. Maka saya hanya berandai-andai, suatu saat, saya pasti bisa. Dan saat saya menulis ini, saya telah memantapkan tekad untuk memulai menjadi semi vegetarian.


Tidak ada komentar: