04 Desember 2016

Orang Tua

Membayangkan mengurus tujuh anak yang lahir susul menyusul dengan selisih satu tahun mungkin sangat merepotkan. Tetapi ibuku bukan sekedar membayangkan, ia bahkan tidak pernah sekali pun kudapati mengeluh dalam mengurusku dan keenam saudaraku. Repot, itu pasti. Bayangkan saja, menyusui tiada henti, memasak lalu menyuapi, sampai mencuci kain belepotan berak dan bau pesing. Semua itu dilakukannya bergantian dengan ayah. Mereka tidak pernah berubah, tenang dan santai.

Seandainya keluargaku adalah orang berada, mungkin kehidupan tidak akan sesulit tukang pandai menipiskan besi menjadi celurit. Rumah yang kami huni itu, hanyalah bangunan tua peninggalan kakek atau mungkin juga buyut. Cukup luas dengan ukuran enam kali tujuh meter, namun tiada ruang tamu, apalagi kamar. Lantainya pun sudah berubah menjadi tanah.

Kami semua tidur seperti di asrama.
Hanya ada dua kelambu penyekat dari kain berwarna gelap. Pojok selatan bagian timur tempat tidur ayah dan ibu. Ada kasur kapuk tipis yang tergeletak di lantai. Beberapa paku tertancap di dinding menggaet topi dan baju yang sudah bau. Di samping kamar ibu adalah tempatku beserta ketiga saudara perempuanku. Masih untung ada ranjang besi pemberian ayah saat melamar ibu. Sisanya adalah surga milik tiga saudara lelakiku.

Lemari model yangliu mematung puluhan tahun di samping pintu menghadap selatan. Di dalamnya adalah pakaian kami yang mirip tumpukan rombengan lusuh dan murahan. Saat lebaran tiba adalah saat-saat paling menyakitkan. Saat teman seusia kami memamerkan baju baru, kami hanya terdiam lesu. Tapi kami tidak pernah meminta, meski sebenarnya sangat berharap. Pernah ayah dan ibu membelikan kami baju bekas bos yang model dan warnanya masih segar seperti baru. Kami tertawa menikmati segala karunia yang kadang-kadang lebih seperti kejuatan.
***

Hidup menyusuri rutinitasnya. Kalau kemarau tiba, kami bergantian menimba air di sumur untuk mengisi bak mandi. Kalau hujan datang, kami membuka triplek kamar mandi untuk menampung curah hujan. Piket menyapu, kerja bakti, semua diatur. Kami benar-benar seperti hidup dalam pondok pesantren.

Tak ada panggilan kakak atau adik karena selisih satu tahun menjadikan kami tumbuh seperti seumuran. Urutannya Ahmar, Yati, Kawin, Pagi, Siti, Wati, dan terakhir aku.

Kami semua bersekolah. Tetapi lebih sering ngumpet di bawah jembatan atau di atas pohon asam. Hanya aku yang merasa rajin karena setiap ingin bolos, wajah melas ayah dan ibu membentang seperti siluet kesedihan.

Ketika teman-teman sekelasku menyebutkan cita-citanya, pikiranku malah terbang ke langit-langit kelas. Karena bingung, dengan asal kujawab, penulis!

Impian juga hidup dalam kemelaratan. Ia menjadi semacam cermin keindahan, sebuah harapan. Apa lucu ketika orang yang tak beruntung bercita-cita menjadi dokter di tengah sibuknya kehidupan sogok-menyogok? Masih untung cita-citaku sangat sederhana.

Menjadi penulis adalah jawaban yang sangat tepat, kala itu. Cita-cita yang murah karena tidak berkaitan dengan hal-hal yang bersifat materi. Di tengah kesulitan tiada henti seperti kutukan ini tiada yang lebih penting dari senyuman dan keakraban.

Kami tujuh bersaudara akur, walau kadang-kadang berselisih soal makanan. Kami semua bekerja keras untuk bertahan hidup. Sebagian ikut ayah memetik kelapa di sawah untuk dijual ke pasar. Sebagian lagi ikut rombongan ibu menggiling padi dari sawah ke sawah. Pulangnya kami membawa setengah karung padi, atau apa paun itu tanaman palawija musiman.

Padi dijemur, ditumbuk, lalu dimasak bersama jagung atau singkong. Warna merahnya selalu lebih dominan. Lauknya ikan tongkol dan bayam yang ditumis dengan bawang dan garam. Kami semua berebut makanan seperti sekelompok anak ayam yang mematuk remah-remah. Makan hanya untuk mengisi perut, bukan untuk kenyang.

Pernah sekali Kawin berniat menambah nasi. Tangannya belum sampai menyentuh centong, Ahmar dan Pagi sudah memukul kepalanya sampai ia limbung dan jatuh pingsan. Kami semua tidak terkejut, bahkan tertawa-tawa seperti menonton lawak Margono dan Tomo.
***

Dalam dongeng, sekelompok kurcaci selalu bersama-sama. Aku tidak hidup dalam dongeng dan kami bukan kurcaci. Setelah beranjak dewasa keenam saudarku berpencar. Ada yang ke perantauan, menikah, lalu beranak-pinak. Siklus kehidupan di kampung tak jauh-jauh dari itu.

Yang paling beruntung adalah Wati. Ia dilamar anak juragan sapi. Itu membuatku sedih. Bukan karena iri, melainkan karena ia harus pergi dari rumah ini. Tapi sayang, keberuntungannya tak berumur panjang. Mertuanya terpeleset bangkrut saat dua puluh ekor sapinya mati diracun tetanggaya.

Kawin menurutku juga sempat beruntung, ia merantau ke Balikpapan dan bekerja sebagai sopir pribadi. Parameter keberhasilannya diukur dari banyaknya emas yang memborgol kedua lengan istrinya. Lagi-lagi sayang, istri dan mertuanya meninggal yang diduga perantara santet. Dan yang lebih mengenaskan, Kawin juga menyusul mereka dengan meninggalkan yatim piatu semata wayangnya.

Ahmar menekuni hidupnya sebagai petani. Sementara pagi kerjanya keluar masuk penjara dengan kasus bergam. Kadang-kadang carok, kadang pula dikeroyok massa saat tertangkap sedang maling sapi. Ibu menjual sawah satu-satunya yang beliau miliki untuk menebusnya sampai ia tidak bisa berbuat apa-apa.

Lain Pagi, lain pula Siti. Setelah menikah ia membuka toko kelontong dan warung kopi. Banyak pelangganya yang hanya membayar nama dalam buku catatan hutangnya. Bayangkan sendiri bagaimana jadinya. Pekerjaannya kini bukan lagi kulaan atau menumbuk kopi, tetapi menghitung jumlah bon orang yang datang dan pergi. Ia gulung tikar lalu balik badan dan pergi; merantau ke luar negeri.

Yati nasibnya lebih malang lagi. Ia selalu menerima pukulan sang suami, saban hari. Kalau saja ia mengadu mungkin ia tidak akan mati sia-sia. Kisahnya sama sekali tidak mirip dengan sinetron yang kerap kali memunculkan keajaiban-keajaiban saat dibutuhkan. Misalnya orang mati hidup lagi berkali-kali. Yati membusuk di dalam sumur karena dilempar suaminya dengan dalih cemburu. Lelaki pencemburu memang lebih sadis dari algojo. Sehabis menyakiti hati, ia juga tak segan memainkan kemapuan tangan dan kaki untuk melukai.

Dari semua saudaraku, hanya aku yang belum menikah. Di usiaku yang sudah menginjak empat setengah kepala, barangkali tak kan ada seseorang yang berminat. Mungkin Siti Khadijah beruntung diusia keempat puluhnya ia bukan saja dilamar remaja dewasa yang matang melainkan juga seorang Nabi. Aku sudah mati rasa pada apa yang disebut pernikahan. Tak usah bertanya musababnya. Biarlah ia menjadi rahasia.

Ketimbang memikirkan omongan orang tentang gelar ‘perawan tuaku’, aku lebih suka merawat ayah dan ibu yang sudah berkepala uban. Beliau seperti kulit kacang yang ditinggal isinya satu per satu. Ya, dulu dan sekarang akan selalu berbeda. Pada masa yang telah berlalu, segala hal yang dibutuhkan anak-anaknya selalu berusaha ia penuhi. Ia bagai bukan manusia lagi. Tetapi sekarang, saat mereka sudah bisa cari makan sendiri tak ada yang ingat berapa kali sehari ibu menyuapi. Setelah menikah, anak-anaknya lebih fokus pada keluarganya, kehidupan baru mereka.

Aku juga merasa sudah kadaluarsa. Karenanya aku hanya melakukan apa yang aku bisa. Misalnya menulis cerita ini. Aku ingin menjadi penulis dan menuliskan hal penting, semacam kata-kata bijak walau tak dikenal banyak orang; orang tua tak sesempurna dewa. Dalam relung terdalamnya ia juga ingin disentuh sebagai manusia.

November, 2016

Tidak ada komentar: