01 Desember 2016

Cincin Bertuan


Cincin ayah hilang tepat di hari kematiannya. Usai pemakaman Ibu menggeledah seisi rumah seperti orang gila. Dan suara-suara lesung menumbuk bumbu di dapur membuatnya semakin gila.

Seminggu sebelum kepergiannya, ayah sempat memotret cincin ruby kesayangannya dengan ponsel pemberian kakak yang bekerja di Bali. Ayah memang suka mengoleksi cincin sejak masih muda, kata ibu. Dengan kegemarannya itu, ia berniaga cincin untuk biaya kehidupan kami, termasuk biaya pendidikanku.

Dari semua cincin yang dikoleksinya ada satu cincin bermata merah delima yang begitu ia cintai. Kata beliau cincin itu buah tirakat. Cincin sakti dan bisa menghilang jika berada di tangan yang tidak tepat. Aku tidak percaya dan tertawa-tawa dengan celotehnya.

Tetapi Musa berhasil membangun sedikit kepercayaan dan rasa penasaran akan hal itu. Ia bersaksi pernah meminjam cincin ayah dan berjanji akan mengembalikannya dalam tiga hari. Tersebab repot ia lupa akan janjinya. Ketika berpapasan dengan ayah di jalan,  ayah menagihnya. Musa segera bergegas pulang. Betapa kagetnya setengah pingsan saat cincin ayah tidak berada di tempatnya. Sumpah-sumpah mengalir dari bibirnya yang hitam untuk membuktikan kebenaran persaksiannya. Ayah malah tersenyum dan menunjukkan cincin itu menempel di jari tengahnya. Cincin itu pulang ke rumah tuannya tanpa berpamitan dan meminta ongkos transportasi.

Aku masih belum sepenuhnya percaya dengan kisah Musa. Selain karena Musa seorang pembual di kampung kami, ia juga diisukan setengah dua belas oleh orang-orang. Mana mungkin aku mempercayai certia dari sumber yang kemiringannya seratus delapan puluh derajat?!

Diam-diam aku mencari bukti lain. Untuk memenuhi rasa penasaranku, aku mendatangi rumah Pak Ki, sahabat terbaik ayah sepanjang masa. Pak Ki sudah bagaikan keluarga bagi kami. Ia juga pernah membelikanku gelang emas dua puluh empat karat. Katanya sebagai rasa terima kasih kepada ayah karena kesuksesan yang kini diraihnya memang dirintis bersama ayah. Mulai dari berdagang tembakau, motor, sampai bahan-bahan bangunan, semua ia jalani bersama ayah. Posisi ayah hanya sebagai aistennya. Pak Ki malah menyangkal bahwa ayah adalah maskot keberhasilannya. Lebih terangnya, cincin yang menempel di jari ayah itu mengandung energi mistis, klening, dan magic.

Pak Ki meyakinkan bahwa cincin itu benar-benar keramat. Ia sering menuai kerugian berlipat-lipat saat ayah lupa memakainya, dan kembali untung berlipat-lipat saat ayah mengenakannya.

"Ah Masak, Pak Ki?"

"Mungkin kebetulan. Tapi keseringan."

Pak Ki juga menceritakan bagaimana pertemuan ayah dengan cincinya. Katanya ayah dipanggil Kiai yang alim dari pondok pesantren tempat ayah nyantri. Kiai itu bermimpi ayah tidur di samping batu nisan almarhum Kiai sepuh, ayah beliau, selama empat puluh malam. Dan muncullah cahaya maha cahaya yang menyilaukan ketajaman penglihatan. Cahaya itu berwarna merah menyala-nyala menyemburkan angin halus. Cahaya itu menembus dada ayah dan berkelit seperti ular ditubuhnya. Kiai sepuh muncul dari keheningan malam yang gelap. Beliau tidak berkata-kata. Hanya tongkatnya menyebutkan nama ayah berkali-kali, seperti orang sedang berdzikir.

Atas perintah Kiai ayah melaksanak mandat mimpi tersebut. Tanpa rasa takut seujung kuku pun ayah melalui malam demi malam yang mencekam. Di malam keempat puluh tetap tidak ada petanda apa pun. Kiai memerintahkan ayah pulang.

Pagi hari di rumah tidak ada siapa-siapa. Ibu ke pasar, mungkin aku juga ikut. Pintu rumah terbuka dengan sendirinya. Ada suara halus dengan nada yang sangat rendah serta santun membaca shalawat badar. Ayah mencari sumber suara dan ternyata berasal dari dalam kamarnya. Ketika ia membuka pintu, berhamburanlah cahaya terang seperti kunang-kunang. Ayah menduga itu mimpi, tapi bukan. Kesadarannya lamat laun muncul seiring dengan berkumpulnya cahaya-cahaya itu pada sebuah benda di atas bantal. Hari itu ayah merasa seperti melahirkan seorang bayi. Bayi yang membawa keberuntungan bagi kami sekeluarga.

Kali ini aku menikmati penuturan Pak Ki yang lebih mirip orang mendongeng. Sialnya aku tidak bisa mengakurasi cerita dengan kebenaran, sebab ayah telah tiada. Bodohnya aku yang cuek pada segala hal tentang ayah saat beliau masih ada. Yang kulakukan hanyalah menjaga agar kesenanganku tidak berlalu. Aku mengutuk masa di mana aku merasa masa bodoh dengan hal selain diriku.

Tentang cincin itu, aku hanya ingat kejadian saat paman, saudara ibu mendesak ayah agar menjual cincinnya. Dengan pendiriannya yang kokoh jelas ayah menolaknya. Sejak kejadian itu, paman tidak pernah lagi berkunjung ke rumah kami. Ibu berusaha menelponnya tapi tidak pernah berjawab. Ibu mendatangi rumahnya tapi dia mengunci pintu kamar. Kedengarannya seperti kasus anak kecil. Tapi Paman memang keras kepala. Sekali ingin sesuatu harus ia dapat dengan segala cara.

Termasuk saat ayah sakit keras, paman juga enggan membesuk. Tersebar berita tidak jelas, ayah terserang teluh. Teluh sebenarnya bisa gagal saat seseorang melihatnya berwujud panah api di langit dan mengumpatinya dengan kata-kata kotor. Tapi nasib tidak berpihak dan cara mati seseorang sudah tertera jelas di Lauhul Mahfudh. Bagaimana pun mengenaskannya kepergian ayah, aku meyakini akan diganti dengan berjuta keindahan di alam baka.

Segala kenangan tentangnya mengabadi dalam detak perjalananku menuju dewasa. Aku meneladani kesalehannya sebagai persaksi akan kebaikan ayah di dunia. Dan satu wasiat sebelum kepergiannya membuatku tersadar akan satu hal, peristiwa hilangnya cincin ayah selepas kepergiannya.

Seminggu sebelum hari kematiannya, ayah sempat memotret cincin di tangannya dengan ponsel pemberian kakak. Walau beliau sakit, tapi tetap berusaha menampilkan kesan sehat di mata anak-anaknya.

Ia terbaring di atas kasur kapuk yang diletakkan di lantai. badannya berusaha duduk sambil sedikit terbatuk. Aku pura-pura tak menghiraukannya. Kulanjutkan melihat hasil jepretan ayah di ponselnya yang berwarna kuning. Ia berujar pelan,

"Kalau ayah pergi, cincin ini milik suamimu."

"Ayah jangan pergi. Aku masih kecil. Tidak mau menikah."

"Kamu pasti menikah."

"Dengan siapa?" tanyaku, tidak menatapnya.

"Jodohmu."

Aku menganggap percakapan itu hanyalah basa-basi. Namun ingatan tentang obrolan panjang terakhir dengan ayah itu membuatku berani mengaku kepada ibu bahwa aku yang menyimpan cincinnya. Aku memohon ibu tidak bertanya di mana dan tidak menceritakan kepada siapa-siapa. Perasaanku cemas, tetapi ada keyakinan yang kuat kalau cincin itu kini hilang dan akan kembali pulang pada waktu yang dijanjikan. Entah kapan.

November 2016

Tidak ada komentar: