22 April 2016

Belajar Keselamatan untuk Masa Depan



Minggu pagi menjelang siang, sekawanan anak kecil berlarian menyusuri jalan tak beraspal yang di tengahnya tumbuh mengalir rumput semata kaki. Tampak ibu jari dan telunjuk kaki mereka mencengkeram leher sandal kuat-kuat saat tiba di tanjakan seram. Kemudian mereka melewati pematang yang mengharuskan melakukan beberapa lompatan. Di antara anak kecil itu ada saya, belasan tahun yang lampau, saat saya masih tidak sungkan menghirup ingus keluar ke dalam.

Bagi anak kecil di segala masa, hari libur adalah kesempatan berharga untuk bersuka cita. Anak-anak di kampung kami mengisi hari libur dengan membantu orang tua di sawah. Misalnya hari libur di musim tembakau, kami membantu mencabut bibit tembakau di bedengan untuk dipencar di atas lubang tanah gulud. Kala itu kami berangkat terpisah dari para orang tua karena ingin berlama-lama di sumber Bukoh. Sumber mata air satu-satunya di desa kami yang subur tak kenal musim.

Sumber Bukoh terletak di lereng gunung Pangelen, Tambuko, Guluk-Guluk, Sumenep. Tepat di selatan sumber adalah sawah milik tetangga saya, Pak Matjuher. Jarak yang harus kami tempuh untuk sampai di tempat itu kurang lebih satu setengah kilo meter. Memang tidaklah dekat, tetapi sensasi kegembiraan bermain percikan air bersama teman-teman tidak bisa dibandingkan dengan kebanggan membayar tiket masuk waterpark. Airnya asli proses alamiah mengalir di antara pohon dan bebatuan.

Dulu banyak sekali ibu rumah tangga berdatangan untuk mencuci, anak-anak menyemplungkan diri, atau laki-laki memandikan sapi. Sekali lagi itu dulu, belasan tahun lalu.

Saat ini, jelas sudah jarang orang-orang bertandang ke sana. Menghindari alasan malas berjalan, pipa air sudah banyak terpasang dari mulut sumber ke rumah penduduk. Jadi walau tak lagi disambagi, sumber itu tetaplah mencurahkan kesegaran pada tenggorokan yang kerontang, pada tubuh yang kepanasan, dan pada jiwa haus akan kesadaran.

Dari seorang kawan masa kecil yang mengomentari foto saya yang berlokasikan di sumber Bukoh, di media sosial, saya tahu saat ini banyak masalah terjadi. Bermula dari semakin kecilnya aliran sumber air, banyak warga berebut dalam urusan pengairan sawah. Beberapa warga juga mengeluh karena saluran pipa tidak lagi berfungsi. Saya terkesiap baru tahu urusan macam itu. Maklum terakhir berkunjung sekitar enam tahun lalu. Hidup lama di pesantren yang ketika pulang langsung dipersunting bindara shaleh, saya pun manut mengabdi di rumah mertua.

Sebenarnya itu hanya alasan saya. Untuk bisa menyerap informasi, bergantung pada seberapa kuat keinginan diri. Semua itu tidaklah terlalu aneh bagi saya yang lebih sering memilih bermalas-malasan. Tetapi ada yang lebih sinting lagi dari penyakit saya. Semua orang tahu bahwa air merupakan bagian terpenting dalam hidup. Tapi ironisnya hampir bisa dipastikan lebih banyak orang yang tidak tahu jika selasa, 22 Maret 2016 kemarin adalah Hari Air Sedunia.

Sebagian orang mungkin menyepelekan, tetapi sebagiannya lagi memilih berdiskusi mencari solusi menghadapi krisis air dan memperdalam wawasan tentang betapa berjasanya air bagi hidup. Misalnya tubuh yang jatuh bangun kita pelihara ini terdiri dari 55% sampai 78% air. Bumi yang kita huni, melayani dan menyuplai apa yang kita cari, menampung 71% air yang terus berputar ke atas ke bawah. Coba bayangkan jika tiba-tiba Tuhan menguji makhluk dengan fenomena sedot air sejagad raya. Apa yang terjadi? Barang kali kita tak jauh berbeda dengan bangkai ikan di pinggir lautan. Mungkin karena itulah, air kemudian diperingati setiap tahunnya, di seluruh dunia.

Namun itu semua hanyalah wacana. Sedangkan realitas yang ada justru berpunggungan. Sementara sebagian orang memilih jalan membela lingkungan, lebih banyak lagi yang memilih menghancurkan. Korbannya, sumber mata air kering karena pohonnya ditebang. Keadaan ini, bukan tidak mungkin pada akhirnya akan menjadi penyebab kelangkaan air bersih.

Belajar dari Masyarakat Bali dan Mollo

Di beberapa tempat di Indonesia, di Bali misalnya, pohon di agungkan sebagai arwah keramat. Jangan heran jika di jalanan pohon-pohon dipakaikan sarung motif kotak berwarna hitam putih. Itu semua menunjukkan rasa hormat, kepercayaan, rasa terima kasih, dan getaran ketakutan terhadap eksistensi diri.

Masyarakat Bali percaya bahwa lambang yang mereka ciptakan adalah jendela yang membuka pandangan terhadap dunia trensenden. Melalui kepercayaan tersebut mereka terus berusaha menjaga komunikasi dan keakraban dengan alam. Jadi akan sangat langka menjumpai penebangan pohon di sana, apalagi secara serampangan. Sebaliknya, tanah dan airnya subur, lingkungannya pun selalu terlihat eksotis dan menghibur.

Selain Bali ada yang lebih syakral lagi, orang-orang Mollo, Timor Tengah Selatan (TTS), Flores, Nusa Tenggara Timur, memandang alam sebagai tubuh manusia. Menurut mereka itulah kunci keselamatan hidup. Mereka melambangkan batu sebagai tulang, tanah sebagai daging, air sebagai darah, dan hutan sebagai paru-paru, kulit, dan rambut. Sebagai darah, air berfungsi untuk menyuplai oksigen dan mengembalikan karbon dioksida pada hutan atau yang dilambangkan sebagai paru-paru. Jika tak ada air, maka seperti tubuh kehilangan darah, lenyaplah kehidupan.

Lakukan dari Hal Sederhana

Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk menghadapi kondisi global yang kita bentuk sendiri? Kita coba mulai dari hal yang paling penting, yaitu membangun kesadaran bahwa kita saat ini tengah berada di ambang resiko paling berbahaya; krisis air. Aksinya, kita lakukan dari hal sederhana seperti menghemat air. Untuk berhemat, tidak perlu melakukan hal-hal sulit seperti sosialisasi, ceramah bertema lingkungan, atau memasang plakat. Kita hanya perlu mengontrol diri agar menggunakan air sesuai kebutuhan serta segera mematikan kran air supaya tidak sampai meluap dan terbuang percuma.

Sejujurnya saya tidak tahu apakah dengan cara menghemat akan punya dampak untuk melawan krisis air di masa mendatang, sementara ada lebih banyak orang yang menghambur-hamburkan. Tetapi jika ini dilakukan bersama-sama, akan lebih memungkinkan menepis nasib sengsara bagi anak cucu. Bukankah begitu?

Akhirnya untuk menutup tulisan ini saya hanya bisa mengutip ceramah mantan presiden Gorbachev dari Soviet dalam peringatan (KTT) Bumi +5 yang dilakukan oleh NGO pada tahun 1997, dalam paper yang ditulis Maria Hartiningsih untuk acara lokakarya bertema lingkungan yang diselenggarakan Satunama, Yogyakarta. Beliau mengingatkan bahwa manusia sedang menghancurkan dirinya sendiri dengan menghancurkan alam dan lingkungan. Namun alam dan lingkungan akan memperbarui dirinya sendiri secara incremental pada saat manusia tak bisa lagi bertahan.

22 April 2016.

2 komentar:

M. Faizi mengatakan...

Masih keren tulisanmu. Itu artinya bahwa alasan sibuk dan tidak bisa menulis lagi tetap tidak bisa diterima. Lanjut!

Ummul Corn mengatakan...

Horeeeee ada komentar Ra Faiziiii... :D