04 Januari 2015

Dari Madre Sampai ke Inspirasi




Sudah cukup lama saya dan suami terpikir untuk memulai sebuah bisnis. Keinginan itu bahkan sudah ada sejak usia pernikahan kami baru menginjak sebulan. Tetapi kami selalu kebingungan tentang apa yang harus dilakukan.

Mula-mula kami sepakat untuk berternak ayam petelur. Dengan mempertimbangkan modal yang tidak sedikit dan segala resikonya kami sepakat. Berbekal uang yang cukup, Eng (panggilan untuk suami) memesan kurung ayam yang berukuran panjang untuk lima ratus ayam broiler lengkap dengan tempat pakannya. Kami sudah berencana menempatkan kandangnya di sawah belakang dapur. Sampai di sini saya membayangkan usaha ini mungkin akan mengubah kehidupan kami.

Sayangnya, setelah semuanya siap dan tingggal membeli ayam, Abah mertua saya bertandang ke rumah. Beliau mengutarakan ketidaksetujuannya pada usaha yang akan kami jalankan. Alasannya begitu sederhana, beliau tidak mau pada akhirnya kami menanggung rugi seperti famili di Ambunten yang juga rugi dalam usaha ini. Tetapi belakangan saya menyadari bahwa alasan itu sangatlah klise. Sebenarnya Abah tidak ingin terpisah dari Eng. Beliau khawatir Eng tidak punya kesempatan untuk ke rumah Ambunten jika kami terlalu sibuk.

Saya maklum karena Eng adalah anak laki-laki satu-satunya di keluarga mertua saya. Kalau Abah sakit, yang paling sering disebutnya adalah nama Habibi. Bahkan semua perabotan rumah, mulai dari piring, sendok, ember tahu, sampai karung kedelai diberi nama HBB. Saya menyadari sepenuhnya bahwa dialah anak yang paling disayang. Akhirnya semua peralatan yang telah kami beli terborong dengan separuh harga pada pembisnis ayam petelur dari desa tetangga. Harapan saya tertelan. Kami balik badan.

Usai kejadian itu, kami lebih sering berada di Ambunten dari pada di Tambuko. Eng membantu usaha pabrik tahu tempe yang dirintis Abah Senin sampai Jum’at, Sabtu Minggunya kami membantu mengajar di SMP Islam swasta yang dikelola oleh Paman saya, suami dari sepupu Ibu.  Tetapi lama kelamaan kami berpikir bahwa tak nyaman rasanya bila terus bergantung pada keluarga. Tak nyaman pula bila kami harus terus bolak-balik Ambunten-Tambuko dalam waktu yang begitu sering. Maka kami memutuskan untuk memulai usaha mandiri.

Bukan kebetulan, almarhum Ayah saya meninggalkan sebuah bangunan toko yang dulu dikelola Kakak. Setelah Kakak memulai usaha di Bali, toko itu perlahan bangkrut. Toko-toko di kampung memang lebih sering dihutangi dari pada dibeli. Buktinya buku bon hutang bejibun dari nama dan angka. Walhasil toko tersebut menjadi lebih besar pasak dari pada tiang. Akhirnya kami mengalami apa yang orang-orang sebut bangkrut.

Bertahun-tahun toko itu mati, sunyi. Setiap sore, saat menghidupkan lampu, saya merasa nestapa memikirkan betapa teganya saya menelantarkan sesuatu yang Ayah tinggalkan. Kadang-kadang saya menangis dalam hati memikirkan perjuangan ayah yang saya akhiri dengan kesia-siaan. Kadang pula ada sinar terang dalam diri yang meyakinkan saya untuk membukanya kembali, suatu hari nanti. Entah kapan.

Setengah bulan yang lalu Ibu berembuk dengan Eng tentang seseorang yang akan menyewa toko. Ibu menyampaikan bahwa orang tersebut akan membuka warnet. Eng sepakat dan memasang tarif tahunan. Tetapi saya merasa ada aura kepedihan di mata Ibu. Saya yakin beliau berharap kami sendiri yang membuka toko itu kembali. Tetapi beliau juga pasti mengerti bahwa tak mudah mengumpulkan banyak biaya sebagai modal. Kami semua ada dalam lingkaran dilema. Dilema panjang yang menunjukkan jalan baru.
 
Untunglah Ibu belum menyampaikan kepada calon penyewa toko itu. Karena seminggu setelah berembuk, Eng mengajak saya ke pasar untuk belanja peralatan es krim. Ya, kami akan berjualan es krim! Tiga hari setelah mulai berjualan, kami berjumpa kendala lagi. Pintu ruang freezer kulkas keluarga kami rusak sehingga es tidak mudah membeku. Kami sudah nekat dengan usaha ini, maka selanjutnya pun harus lebih nekat. Kami butuh kulkas baru khusus freezer, tetapi dari mana uang untuk membeli? Saya akhirnya merelakan cincin pemberian Eng yang dibeli dari tabungan kami selama ini. Untuk apa memakai emas? Bukankah emas memang bentuk dari tabungan yang bisa dijual sewaktu-waktu jika ada keperluan? Walau Eng berat hati saya coba membujuknya dengan kemampuan yang saya punya.
 
Kulkas baru datang. Semangat baru semakin menggebu. Dimulai dengan basmalah, kami membuka toko kembali dengan berjualan es krim serta pentol ikan cakalan yang diracik Eng sendiri. Sebelum menuliskan catatan ini, saya selalu teringat Madrenya Dewi Lestari. Imajinasi saya menampilkan gambar Tansen yang mendapat warisan kunci saat menghadiri pemakaman seseorang yang sama sekali tidak ia kenal. Dengan kunci itu, ia mebuka sebuah toko roti “Tan de Bakker” yang mati suri selama lima tahun.  

Tansen juga mendapat kejutan dari dalam lemari pendingin!  dia mendapatkan Madre.  Madre adalah adonan putih keruh atau adonan biang hasil perkawinan dari tepung, air dan fungi bernama Saccharomyses exiguous yang lahir pada tahun 1941. Dengan bimbingan Pak Hadi, orang yang menyerahkan warisan, Tansen begitu bersemangat memulai kehidupan barunya. Tansen jua sering menulis di blog menceritakan kisah yang ia alami, mulai dari silsilah keluarga baru hingga Madre.

Saya tertegun mengingatnya. Ada banyak pelajaran yang dapat dipetik. Betapa kami harus mempelajari  berbagai hal dalam menjalani hidup dan memiliki pemikiran yang matang dalam menatap masa depan. Kisah rajutan Dee itu begitu menginspirasi bagi saya. Seakan ruh Madre mengalir dalam kehidupan kami, berdenyutan di nadi ini.


Tambuko, 03 Januari 2015

2 komentar:

Zyadah mengatakan...

wah, keren! semoga sukses ya. saya juga senang berniaga, saya terinspirasi oleh Rasulullah yang menjadi pebisnis sukses di masa mudanya. Rasulullah juga pernah bersabda bahwa seorang yang tangannya kasar karena bekerja itu lebih baik daripada seorang yang berpangku tangan.

semangat, ya!
i'll always support u... :)
kapan-kapan saya juga akan menulis kisah seperti ini juga :D

salam rindu,
Zyadah

Ummul Corn mengatakan...

Terima kasih sudah mampir untuk menyemangati saya, Ning. Ayo segera menikah. Saya tunggu ceritanya. Eheeee...