02 Desember 2010

Catatan II

14:51 WIB.

Semua bayi terlahir dengan semangat. Tangis pertama pemecah keheningan, gerak enerjik lambangkan manusia dinamis, kerling mata yang cerdas, juga tawa yang dapat sejukkan jiwa-jiwa. Ke mana susutnya semangat itu saat kita beranjak dewasa? Mungkinkan ia tengah bersembunyi di sebuah tempat antah-berantah? Dan mungkin hanya kita yang dapat menemukan dan merangkulnya kembali.

Sejak kecil, aku selalu berusaha untuk membuat ayah dan ibuku tersenyum, meskipun kali itu, aku masih belum mengerti bagaimana caranya. Terkadang cara-cara yang kupraktikkan keliru dan kecerobohan alamiahku membuat kedua orang tuaku kecewa.

Suatu saat akan kuceritakan kepadamu tentang masa kecilku itu. Namun sekarang aku hanya ingin membahas tentang semangat. Itu saja.

Sampai di Sekolah Menengah Pertama, aku selalu berusaha dan berjuang untuk mengukir senyum di bibir ayah dan ibu. Usaha yang kulakukan kian hari kian kutingkatkan. Meski tak berhasil membuat mereka bangga, setidaknya aku bisa mencegah agar mereka tidak kecewa terhadap tindak-tanduk yang kulakukan. Begitulah caraku selalu menyibukkan diri untuk menegakkan eksistensiku sebagai manusia. Agar keberadaanku diakui oleh orang-orang di sekitarku.

Memasuki tingkat Sekolah Menengah Atas, semangatku kian membuncah. Niatku menjadi bercabang. Tak hanya ingin membuat kedua orang tuaku bangga, tapi juga sekolah. Mungkin ini disebabkan aku semakin mempunyai rasa kepemilikan pada Madaris III Annuqayah, lembaga tempatku mengais ilmu dan belajar tentang kehidupan.

Puncaknya adalah kelas XI SMA. Waktu itu aku benar-benar merasa sesaudara dengan teman-teman kelasku. Kami selalu kompak dalam segala hal. Termasuk menjadi polor dalam beberapa kegiatan di sekolah kami. Sungguh tak dapat kubahasakan bagaimana merahnya semangat mereka. Cukup engkau tahu saja bahwa kami benar-benar terbakar semangat nasionalisme sampai gosong!

Namun kini, aku kebingungan mencari mozaik-mozaik semangatku yang raib entah ke mana. Sejak memasuki Perguruan Tingngi, aku menjadi berubah drastis. Kurasa hal-hal yang kulakukan tak sehebat dulu. Aku mengalami kemerosotan yang luar biasa. Aku menjadi mahasiswa yang mengecewakan bagi diriku sendiri.

Aku merasa malu akan satya yang kutetiakkan dengan kawan-kawan di masa SMA dulu; menanamkan jiwa agent of change. Ternyata hal itu hanyalah bualan yang omong kosong.

Impianku menjadi aktifis kampus kian hari tambah memudar. Salah satu faktornya, aku mendengar selentingan bahwa KBM di kampusku menggunakan sistem munarkhi absolut. Menurut sebagian kakak tingkat, aku tidak boleh terlalu berharap untuk berkecimpung di dunia organisasi kampus, karena jika bukan dari daerah pondok tertentu (yang maaf, tidak dapat kusebutkan) di Annuqayah, maka tidak akan direkrut dalam kepengurusan KBM.

Setidaknya, kini, aku harus menjadi mahasiswa yang aktif di kelas saja. Selain itu, aku tidak bisa lagi membayangkan bagaimana aku harus menjadi mahasiswa yang tak berguna. Sungguh mengerikan!


Gubuk Cerita, 02 Desember 2010.

4 komentar:

Siswoyo mengatakan...

CORN.....Apa kabar?
Lama tak bersua, sekarang kamu dah kuliah, ya. Aku sangat terharu baca kisahmu. Kadangkala hidup berjalan tidak seperti yang kita harapkan. Di saat seperti itu, harapan hanyalah satu-satunya pegangan untuk menjalani hidup dengan penuh semangat.
Mampirlah ke situsku (www.saptosiswoyo.com) untuk berbagi kisah.
Sampai jumpa lagi.

Ummul Corn mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Siti Nujaimatur Ruqayyah mengatakan...

Hai... TKT (Teman Kecil Tersayang). Aku juga sedih mendengar ceritamu. Bagaimanapun dulu kita pernah bermimpi, dan berjuang bersama. Aku rindu dengan semangat kita. Be Spirit OK!!!

Ummul Corn mengatakan...

@Mas Sis: kabar Corn baik, Mas. bagaimana dengan Mas Sis sendiri?
ya, Corn sekarang sedang meniti hidup di Perguruan tinggi.

Terima kasih atas mampir dan apresiasinya di blog Corn.

Baiklah! Corn akan mampir ke blog Mas Sis. Mari kita terus berbagi...

@Mbeng Nu Jaim-ku: Terima kasih semangatnya, kawan!