30 Juni 2008

Kakek Rasyid
Oleh : Ummul Karimah [ Siswi SMA 3 Annuqayah]

Bukan hanya Lubang Buaya yang punya sejarah. Bagiku, gubuk reyot yang ada di hadapanku ini juga punya sejarah yang tak kalah penting bagi bangsa Indonesia yang katanya makmur, aman, dan senotsa ini. Penghuninya adalah sepasang suami istri. Usia mereka kira-kira 80 tahunan. Sebuah keluarga yang serba kekurangan. Seorang lelaki tua, tampak di depan gubuknya sedang merenungi hari-harinya.
Kuperhatikan gerak-geriknya. Wajahnya yang sudah hampir dimakan usia itu membuatku semakin miris. Kini ia telah memandangiku dengan raut muka yang kecut. Aku tidak bisa memandanginya karena ia juga telah memandangiku. Seandainya ia sampai menghembuskan napas terakhirnya karena kelaparan, maka aku tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri.
“Kakek butuh bantuanku?”
Lelaki itu memasang raut mukanya yang semakin diperkecut, lalu meludah dan berkata,
“Aku tidak butuh bantuan siapa-siapa. Aku bisa bertahan hidup walaupun dengan kemiskinan seperti ini.”
“Kakek tak perlu membohongi diri sendiri. Aku yakin kalau kakek sebenarnya sangat lapar.”
“Siapa bilang! Kamu itu tidak tahu apa-apa. Aku sudah biasa dengan hidup yang seperti ini.”
Sejak saat itulah, kali pertama aku merasakan kekecewaan yang seolah-olah mencabik harga diriku. Kemudian aku meneliti lebih lanjut dari wajahnya yang sudah keriput, rambutnya sudah rata memutih, dan dari bibirnya yang pucat pasi sudah terlihat kalau dia sudah beberapa minggu ini tidak makan. Kakek itu tampak gemetar. Entah apa penyebabnya ia bisa bernasib seperti itu. Mungkin itu sudah suratan dari yang maha kuasa.
Sebagai orang yang suka berderma, seharusnya aku membantu keluarga ini. Tapi, kalau dia tidak mau, ya, tidak apa-apa. Mungkin dia lebih senang dengan nasibnya ini. Aku juga sempat heran, karena orang yang seperti ini biasanya sangat senag jika dibantu. Kenapa kakek ini tidak mau ketika mau dibantu? Sekalipun aku telah dikecewakan dengan sikapnya, aku tetap mencoba bersikap ramah terhadapnya.
Aku sangat terkejut waktu kakek itu berkata,
“Hei, kenapa kau masih saja berada di sini anak muda? Pulanglah! Jangan memberikan seluruh keprihatinanmu padaku, karena aku tidak butuh.”
Tak lama sesudah lelaki tua itu berkata ia lalu pingsan. Aku segera mencegah ia terjatuh lalu mengangkatnya ke atas ranjang yang terbuat dari bambu yang letaknya berada di samping gubuk itu. Aku segera mengeluarkan sebotol air putih yang ada dalam tasku. Tak lama kemudian dia sadar.
“Untung saya tidak langsung pergi seperti apa yang diperitahkan kakek tadi. Kalu tidak entahlah apa yang akan terjadi.”
“Aku tak menyangka anak muda, ternyata kamu sangat baik. Kukira kau hanya ingin menghinaku karena aku sangat miskin.”
“Sudahlah kek, itu memang sudah kewajiban kita untuk saling tolong menolong.”
Ucapan terima kasih itu mambuatku semakin ingin cari tahu dan membuktikan kalau kakek ini pasti baik. Aku tidak yakin kalau dia jahat, buktinya dia masih mau bertarima kasih pada orang yang menolongnya.
“Kamu siapa? Sepertinya kau bukan penduduk sini. Kenapa kamu mau menolongku? Sudah cukup lama aku tidak percaya terhadap orang yang mendekatiku dan mau membantuku. Aku trauma terhadap kejadian-kejadian lalu yang pernah aku alami. Penderitaan selalu berpihak kepadaku. Kau mungkin tidak kan percaya kalau dulu aku pernah kehilangan harga diri.”
Aku tertegun mendengar cerita kakek. Aku segera menjawab pertanyaan- pertamanya yang diajukan kepadaku.
“Kenalkan namaku Mujibur Rahman, kakek bisa memanggilku Mujib.”
“Kalau nama kakek Rasyid, kamu bisa memanggilku kakek saja, tak perlu nama biar lebih akrab.
Entah mengapa sepertinya aku sudah kenal lama dengan kakek Rasyid. Mulai dari jabat tangan sampai perbincangan kami yang semakin luas. Aku semakin yakin pula kalau sebenarnya kakek Rasyid benar-benar orang yang baik. Aku mulai mencoba bertanya-tanya lagi.
“Boleh tidak kalau aku masuk ke dalam gubuk kakek? Sekedar ingin tahu saja seperti apa isinya di dalam.”
“Tentu saja boleh.lagi pula hari sudah semakin siang. Jadi kalau nak Mujib berada di luar akan kepanasan. Mari nak masuk!”
Aku segera memasuki gubuk itu dan aku terkejut ketika melihat pintu gubuk itu yang hampir rapuh karena dimakan rayap. Aku mendongak ke atas langit-langit gubuk itu. Kulihat gentingnya sudah banyak yang bocor. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, sedangkan kakek Rasyid hanya memandangiku dengan penuh senyum. Aku mulai lebih terkejut lagi ketika memandangi tulisan di meja tempat duduk santai kakek Rasyid. Tulisan itu adalah, JANGAN MUDAH MENERIMA PEMBERIAN ORANG LAIN. Kudengar kakek berderham ketika aku memegang tulisan itu. Aku tersentak kaget ketika mendengar derhaman kakek Rasyid.
“Kek, boleh aku tanya sesuatu?” Aku lebih memberanikan diri bertanya lagi. Tentunya dengan bekal mental kuat tanpa rasa kecewa ketika mendengar jawaban kakek Rasyid yang selalu mengecewakan.
“Tentu boleh.” Jawabnya.
“Kenapa kakek menulis seperti itu?”
“O, itu dulu ketika kakek masih muda.”
“Bisakah jika kakek menceritakan tentang masa muda yang kakek katakan tadi?” aku melanjutkan pertanyaanku semakin luas.
“Kenapa kau meminta macam-macam padahal kau masih baru kenal denganku. Aku tidak mudah percaya terhadap orang baru.”
Dugaanku tak pernah meleset. Kata-kata kakek Rasyid sangat menerkam hatiku yang terdalam. Perih…rasanya, kecewa, malu, telah menyatu berkecamuk dalam dadaku.
“Baik, tidak apa-apa jika kakek tidak mau menceritakan masalah kakek kepadaku.” Aku mencoba bersikap biasa terhadap kakek. Aku tak ingin mengungkapkan isi hatiku yang sebenarnya.
“Nak, maaf jika kata-kata kakek begitu menyingung perasaanmu tadi. Tapi kakek hanya merasa kurang percaya terhadap orang yang baru ku kenal.” Sepertinya kakek mulai ingin menyejukka hatiku yang tadi sangat panas.
Memang benar kata kakek, aku ini masih baru dikenal. Jadi sangat wajar jika kakek Rasyid tidak percaya terhadapku. Aku bisa mengambil hikmah dari pengalaman yang tak kan pernah ku lupakan ini.sebuah kekecewaan yang terus akan membekas dalam hati.tiba-tiba…kakek menepuk pundakku. Seketika aku terbuyar dari lamunanku.
“Kenapa kau melamun? Apa kamu masih dendam terhadap sikap kakek tadi?”
“Oh…tentu tidak kek, aku mengerti bahwa kakek tidak mungkin menceritakan rahasia kakek terhadap orang baru. Lagi pula kenapa aku harus bersikap dendam terhadap kakek, padahal kakek telah menghargaiku dengan menjawab pertanyaan pertamaku.”
Yang sejujurnya bekas itu akan tetap ada. Apa perbincangan kami dari tadi masih kurang untuk menumbuhkan kepercayaan terhadapku. Mulai dari tadi pagi hingga siang ini aku seperti batu yang tak kan pernah dianggap berharga. Sunguh aku benar-benar merasa tersinggung dengan apa yang telah dikatakan kakek tadi. Walau begitu tak apalah, kisah ini akan kusimpan dalam hatiku. Sendiri.
Suasana tempat hening sejenak, ketika aku dan setan-setan itu berkecamuk dalam dada tadi. Seharusnya aku tidak boleh menuduh orang sembarangan, apalagi terhadap orang yang sudah kuanggap sebagai kakekku sendiri.
Tidak terasa hari sore telah datang bertamu tapi perbincanganku denga kakek seperti hanya sekerjapan mata saja. Seperti ini bisa terjadi dalam hidupku mungkin karena rasa kprihatinanku terhadap keluarga ini sangatlah besar. Seandainya kakek Rasyid mau untuk dibantu, mungkin dari tadi aku sudah menyiapkan sesuatu yang membuatnya bahagia. Oh ya, dari tadi pagi sepertinya ada yang kurang. Ya…kakek memiliki istri, tapi di mana istrinya? Dari tadi pagi istri kakek Rasyid tak pernah muncul. Aku harus bertanya pada kakek. Aku tak peduli jika kakek menjulukiku dengan sebutan ‘Gudang Tanda Tanya.’
“Ngomong-ngomong di mana istri kakek? Kenapa dari tadi pagi tak pernah muncul.”
“Istriku membantu rumah-rumah orang yang mengadakan acara atau apalah yang semacamnya. Jika dia pulang mungkin dia akan mendapat upah atau hanya ucapan terima kasih. Aku malu terhadap istriku, dia yang menghidupiku, sedangkan aku sebagai seorang laki-laki tidak dapat melakukan apa-apa. Aku tidak bisa bekerja. Mau bekerja kemana, kalau pnduduk sini sudah tak ada yang menyukaiku lagi. Istrikupun masih untung ada yang mempercayainya.
Dalam benakku tumbuh berubu-ribu tanda tanya mengenai, kenapa kakek yang sejujur itu tak lagi diparcaya oleh penduduk kampung? Kenapa? Aku sempat tak percaya terhadap cerita kakek Rasyid. Kenapa para peduduk begitu tega terhadap orang yang sangat sekali membutuhkan bantuan mereka. Kalau aku bertanya lagi boleh atau tidak ya…? Aku harus bertanya.
“Maaf kek, aku harus bertanya lagi.”
“Ya, silakan.”
“Kenapa para penduduk begitu tega melihat nasib kakek yang seperti ini?”
“Rasa kepercayaan kakek muncul seketika. Mungki kamu memang perlu mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Juga tentang tulisan di meja kakek pula.”
“Ya kek, memang kepercayaan itulah yang sangat aku butuhkan.” Akhirnya kakek telah tergugah hatinya untuk menceritakan apa yang sebenarnya telah terjadi.
“Begini," kakek memulai ceritanya
“Dulu kakek adalah orang yang sanagat kaya raya. Tak ada seorang pun yang berani menandingi kekayaan yang kumiliki itu. Waktu itu pula kakek adalah orang yang sangat sombong, tamak, angkuh dan kikir. Bertahun-tahun kakek hidup dengan kekayaan yang terus melimpah itu. Namun di balik semuanya kakek tak pernah mendapatkan karunia yang sangat kakek inginkan. Yaitu memiliki seorang putra. Suatu ketika, orang-orang beramai-ramai menyerbu rumahku. Mereka datang dengan membawa obor.
“Oy…keluar kau bajingan!” kakek terkejut. Segera kakek bangun dari tidur. Kau tahu apa yang mereka lakukan? Mereka melempari rumahku dengan batu-batu yang sangat besar.
Setelah itu, mereka membakar rumahku. Aku hanya bisa berteriak “Hentikan…!Hentikan…!Hentikan…!mereka semua tidak menghiraukan omonganku. Untung saja kakek dan istri kakek lewat pintu belakang. Sementara rumah kakek sudah hangus dilahap oleh api. Sejak itulah kakek insaf dan tidak mudah menerima bantuan orang yang tidak jelas asal-usulnya. Itulah cerita masa lalu kakek.
“Sepertinya ada yang mengganjal dalam cerita kakek tadi. Cerita kakek tak ada sangkut pautnya dengan kepudaran kepercayaan para penduduk..”
“Ha…ha…ha..” Kakek ketawa.
“Kenapa kakek ketawa?”
“Mungkin sekaranglah pula kau mengetahui siapa aku yang sebenarnya.”
“Apa cerita kakek tadi bohong?”
“Cerita kakek tidak bohong, hanya saja ada yang kurang.”
“Apa kek? Aku bertanya dengan raut muka yang penuh rasa ingin tahu.
“Baiklah, dengarkan! Bahwa sebenarnya dulu, kakek adalah orang yang gemar sekali ngipri, bersekutu dengan setan untuk mendapatkan uang.”
Aku diam seribu bahasa. Aku menganga lalu aku menelan ludahku. Pahit.


Ummul Corn

Tidak ada komentar: