Selama menikah, kejutan dari suami hampir bisa dihitung jari. Bagi saya yang memang agak sedikit cuek dengan hadiah, itu adalah hal wajar. Namun yang paling berkesan adalah saat dia menghadiahi saya tiga pohon jeruk langsung berbuah sekitar tiga tahun yang lalu. Saya bergembira karena tak perlu repot lagi membeli jeruk nipis saat membuat sambel sate, tak perlu kesulitan mencari jeruk limau, dan tak perlu merasa bahwa lemon adalah jeruk paling mahal, karena ketiganya sudah bisa saya petik secara gratis, di halaman rumah sendiri.
Bulan pertama saya masih asyik menikmati buah jeruk yang cukup lebat. Tetapi memasuki bulan ketiga, saat bertepatan dengan musim kemarau, saya menyadari betapa perawatan pada pohon jeruk tidaklah mudah. Mulai dari pemangkasan, penyiangan, pemupukan, dan belum lagi drama daunnya dipatok ayam atau dimamah ulat.
Semakin hari pohon jeruk saya tampak mengenaskan. Dipupuk tidak mempan, disemprot dengan sabun cuci piring sesuai petunjuk Mbah Google juga tetap tidak ada reaksi dan tanda tanda terselamatkan. Akhirnya saya memindahkan ketiganya ke halaman belakang dapur.
Rimbun pepohonan di halaman belakang ternyata tidak memberikan cahaya matahari yang cukup bagi tanaman jeruk saya. Keputusan memindahkan ke lokasi yang salah membuat saya pasrah. Seminggu berlalu, ketiga pohon jeruk tadi mengalami sakaratul maut.
Dengan perasaan sedih saya terduduk di dekat batang pohon jeruk lemon yang hanya tinggal sejengkal, keropos, dan berwarna abu-abu. Dua lainnya sudah tak tampak keberadaannya di muka bumi. Hampir saya menangis. Sungguh tidak berlebihan memang saya mengalami goncangan kesedihan kala itu.
Pikiran kacau mendorong saya pada sebuah inisiatif yang mustahil bagi logika tapi tidak bagi hati dan keyakinan, yaitu bernadzar. Rasa tidak rela ditinggal mati oleh tanaman kesayangan, membuat saya berani membisiki batang pohon jeruk lemon selayaknya dua insan saling mengikat janji.
"Hiduplah..! Jika kamu berbuah maka akan saya jadikan hidangan maulid Nabi Muhammad SAW. Buahmu akan saya ajak bershalawat."
Tiga tahun lamanya saya tidak pernah berani ke halaman belakang. Selain rimbun pohon yang semakin membelukar membuat saya takut ular, juga comberan dari kamar mandi melebar sehingga dihuni beberapa biawak berkurang besar. Seram sekali membayangkan jika ternyata salah satu dari biawak itu adalah bayi buaya.
Kesempatan menapaki halaman belakang baru saya dapatkan kemarin lusa, saat kakak ipar melakukan kegiatan bersih-bersih. Ia mulai menyibak tanaman liar yang tumbuh membelukar, merimbuni pohon pepaya, kersen, mangga, dan salak. Pohon kopi tanaman ibu yang buahnya lebat juga tak sengaja ditebang membuat saya sedikit kesal.
Sore hari saat suasana tenang, saya memandangi halaman belakang. Pandangan saya tertuju pada posisi di mana saya pernah menanam pohon jeruk. Betapa terkejutnya saya menyaksikan fenomena yang sukar diterima akal. Sejengkal pohon jeruk yang dulu kering dan keropos tiba-tiba berdaun segar, menampakkan cabang cabang berwarna hijau.
Saya masih tertegun menyadari betapa kisah-kisah keajaiban shalawat yang selama ini hanya saya baca dalam tulisan, kini saya alami sendiri. Di hadapan saya, sepohon tanaman perdu berjuang menggerakkan dirinya demi bisa menjadi hidangan dalam acara maulid Nabi Muhammad SAW. Saya kembali duduk seperti terakhir kali membisikkan janji seraya melafalkan ayat, "Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikatNya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya."
24 Agustus 2024