22 Juni 2016

Kejujuran yang Tertunda


Suatu sore yang santai di bulan Juni 2015, saya mengajak suami ke rumah sahabat di Batuampar, Guluk-Guluk, Sumenep. Jarak dari rumah kami hanya berbatas 4 desa ke arah barat. Bermain ke rumah teman menjadi pilihan kami sebagai salah satu kegiatan positif untuk sharing dan atau mencurahkan isi hati.

Sahabat bagi saya bagaikan keluarga. Mereka adalah rumah di mana kita bisa berbagi suka dan duka. Biasanya sahabat akan semakin akrab jika memiliki kesamaan atau keberagaman yang dapat dipadukan. Kami memiliki keinginan yang sama; ingin segera dikaruniai momongan.

Berbagai masalah saling kami keluhkan mulai dari dia yang menstruasinya tidak teratur sementara saya sebaliknya, kesehariannya yang diisi dengan berlama-lama di kamar mandi dan mengetes kehamilan, sampai hal yang paling sensitif pun tak segan saling kami bagikan. Sering kami telfonan, atau sekedar BBM-an.

Kami menempuh usaha masing-masing. Dia mengkonsumsi asam folat dari susu program kehamilan, sedangkan saya berkutat dengan tablet provertil dan vitamin E. Kami saling berbagi tips dan bacaan. Intinya kami selalu kompak dalam segala hal, terlebih soal kehamilan.

Pernah saya berkhayal dia hamil duluan. Itu akan sangat menyakitkan bagi saya yang menikah satu tahun lebih dulu darinya. Tapi apa boleh buat, anak bukan dibikin dari adonan melainkan anugerah Tuhan. Tapi tidak, kami masih melalui hari-hari dengan penantian yang sama.

Sebenarnya, di kampus dia adalah kakak kelas saya. Tetapi kami mulai membangun keakraban saat sama-sama berkecimpung di organisasi kampus Lembaga Pers Mahasiswa. Keakraban semakin erat saat suami kami adalah sepasang sahabat yang soulmate. Sampai akhirnya saya menggapnya bagian dari keluarga.

Kadang-kadang saya merasa lebih dewasa darinya yang kalau berbicara lebih mirip anak-anak dengan nada yang ditarik-tarik. Dia cantik dengan tubuh pendek. Kecantikannya saya perhatikan adalah garis turunan dari paras ayu sang ibu. Saya suka ibunya. Beliau langsung akrab dalam perjumpaan pertama kami dulu.  Ya saya suka dengan orang yang ramah dan murah senyum, seperti beliau.

Tema obrolan yang membuat saya nyambung dengan ibunya adalah soal kedermawanan. Kebetulan beliau baru saja datang dari acara haul kerabatnya yang letak rumahnya terpisah sekitar lima petak sawah ke arah barat.

Ia berkisah tentang kebaikan-kebaikan yang dilakukan kerabatnya itu. Setiap kali mengadakan acara-acara sajiannya selalu spesial dan membuat para tetangga senang, kenangnya. Singkatnya orang kaya yang dermawan itu mempunyai usaha yang lancar dan tanpa ragu-ragu ia belanjakan hartanya di jalan Allah.

Memang begitu seharusnya, orang kaya. Namun saya menyanggahnya bahwa untuk menjadi dermawan tidak harus menunggu kaya. Orang kaya yang bersedekah sudah terlalu biasa. Tak ada yang mengejutkan. Tetapi jika sifat kedermawanan dimiliki orang miskin maka itu yang patut diberi penghargaan. Orang yang rajin menabung untuk masa depan dirinya sendiri dapat dikategorikan dalam golongan fixed mindset, pikiran yang buntu, yang hanya memikirkan kenyamanan diri sendiri. Sementara yang mengeluarkan hartanya untuk dibagikan kepada sesama adalah golongan growth mindset, pikiran yang tumbuh, yang selalu berempati pada sesama, begitu kira-kira kata Pak Rhenald Kasali dalam sebuah artikel harian Jawa Pos yang saya temukan sebagai pembungkus nasi.

Obrolan kami selesai saat ibu berlalu ke dapur. Saya melihat sahabat saya itu membenahi simpul sarungnya. Saya perhatikan perutnya agak besar. Mungkin dia tidak menjaga berat badannya sehingga bentuk tubuhnya tidak proporsional dengan tinggi badannya, pikir saya. Saya terus menerka-nerka tidak jelas saat dia menyusul ibu ke dapur mengambil es krim buatannya.

Kakak perempuannya datang dan menyapa kami. Saya tersenyum. Ia mengerti tentang keinginan kami. Mungkin adiknya bercerita. Ia berujar semoga dilancarkan. Saya mengamininya dengan datar.

Setelah mengobrol panjang dan tentunya sudah menghabiskan banyak makanan ringan, saya berpamitan. Ibu menyiapkan sesuatu untuk saya bawa. Saya berterima kasih dengan tak enak hati karena merepotkan.

Di pintu, kakaknya tiba-tiba mengungkapkan kalimat yang menghantam perasaan saya. Ia meminta sambung doa untuk keselamatan dan kelancaran bagi kehamilan si adik. Saya tersenyum tipis dan kaku. Mungkin tampak sekali. Saya balas dengan kata-kata manis setelah si adik berkata jujur bahwa kehamilannya sudah memasuki usia enam bulan.

Di jalan, pikiran saya gamang sembari menerawang kenangan-kenangan saya dengan sahabat saya itu. Bagaimana  kami berbagi saran dan bagaimana kini ia menjadikan saya orang nomor seribu untuk tahu yang sebenarnya.

Motor kami melaju dalam remang. Saya rebahkan kepala di punggung suami seperti membagikan lara yang mendalam. Ia pasti memahami apa yang saat itu mendera batin saya.

Malam datang memperburuk suasana. Dalam hati saya mengerti, sesuatu yang terasa sangat menyakitkan itu bukan karena kehamilannya mendahului saya, melainkan perasaan kecewa kelas profesor atas kejujurannya yang tertunda. Jujurlah mulai sekarang!


Tidak ada komentar: